Satu gambar sejuta makna: sebuah disket
tua dan sebuah memori card mungil berdiri berdampingan. Keduanya tergambar
layaknya seorang ayah dan anak yang sedang bergandengan tangan. Di bawahnya
tertulis kalimat yang sangat mendalam: “Build a world where your children
are stronger than you ever were.” Sebuah harapan universal yang dititipkan
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Gambar itu mengingatkan saya pada
sebuah dialog singkat yang terjadi beberapa tahun silam. Sebuah kenangan manis
bersama anak laki-laki saya, Muhammad Sa’id As-Tsaqif. Keberadaan namanya
adalah untain doa untuknya. Muhammad berarti orang yang terpuji, Sa’id berarti
bahagia dan ceria, sementara As-Tsaqif merujuk pada seseorang yang cerdas,
pandai, dan terdidik. Doa yang saya sematkan dalam nama itu adalah sebuah harapan
panjang, agar dia tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya baik akhlaknya, tapi
juga cerdas dan membahagiakan bagi sekelilingnya.
Pada suatu pagi, saya sempat berdialog
singkat denganya yang saat itu baru berusia 2,5 tahun, dalam keisengan seorang
ayah:
“Nak,...entah suatu saat nanti engkau menjadi Ulama' kah, menjadi ilmuwan kah, atau menjadi pengusaha yang sukses kah? Abi berharap,...suatu saat nanti, kamu bisa lebih hebat dari abi saat ini
Tanggapannya? Sebuah tawa kecil
& polos: “Heh...??? heh... ??? Abi... endong...”
Seketika imajinasi saya terhenti
oleh kepolosannya. Ia hanya ingin digendong. Ia belum memahami dunia yang ingin
saya wariskan padanya. Tapi justru dari jawaban itu, saya belajar bahwa cinta,
perhatian, dan kehadiran adalah hal pertama yang dibutuhkan anak-anak sebelum
mereka bisa menggapai bintang.
Waktu berjalan begitu cepat. Kini,
Sa’id sudah tumbuh lebih besar. Ia belajar mandiri di Pondok Tsanawiyah ICBB.
Ia telah hafal lima juz Al-Qur'an, sebuah pencapaian yang jujur saja, tak mampu
saya capai di usia yang sama. Saya tertegun, merasa takjub, dan di saat yang
sama juga merasa malu pada diri sendiri. Ia telah menapak lebih jauh dari jejak
yang dulu pernah saya buat.
Saya sadar bahwa mungkin bukan kita
yang akan memperbaiki kondisi bangsa, menyembuhkan luka umat, atau
mengembalikan kejayaan peradaban. Mungkin bukan kita. Tapi bisa jadi, merekalah,
anak-anak kita, cucu-cucu kita, para junior kita dan para santri kecil yang
hari ini belajar mengeja huruf dan menghafal ayat demi ayat yang akan menjadi
jawabannya.
Saya hanyalah disket tua dalam
gambar itu: besar, lambat, terbatas kapasitasnya. Tapi saya menggandeng erat Sa’id,
sang memori card kecil yang lincah itu. Yang kapasitasnya jauh lebih besar,
kecepatannya jauh melampaui saya, dan potensinya menembus batas zaman. Itulah
makna warisan sejati: bukan harta, bukan jabatan, tapi visi dan nilai yang
melampaui usia.
Kepada anakku, Muhammad Sa’id
As-Tsaqif: My dearest son, you are my joy, and in you, I find my endless pride.
Dan jika suatu hari nanti engkau menjadi lebih besar, lebih kuat, lebih saleh,
dan lebih cerdas dari Abi, maka itulah kemenangan yang paling hakiki dalam
hidup Abi.
Mari kita semua membangun dunia di
mana anak-anak kita bisa tumbuh lebih kuat dari diri kita sendiri. Di mana kita
menjadi tanah yang subur, agar mereka bisa menjadi pohon yang rindang. Di mana
kita menjadi disket tua yang mampu menggandeng memori card kecil untuk masa
depan.