Skema T+2 dalam Transaksi Jual Beli Saham di Bursa Efek, Bagaimana Pandangan Syariat?

Dalam era digital dan kecepatan transaksi yang terus meningkat, penyederhanaan dan efisiensi dalam sistem keuangan menjadi sebuah keniscayaan. Salah satu bentuk transformasi tersebut adalah implementasi sistem penyelesaian transaksi T+2 di Bursa Efek Indonesia (BEI). Skema ini mempercepat proses penyelesaian dari sebelumnya T+3 menjadi hanya dua hari kerja setelah tanggal transaksi (T+2). Tujuannya adalah untuk meningkatkan likuiditas pasar, mengurangi risiko kredit, dan mempercepat perputaran modal. Namun, di balik kepraktisan tersebut, muncul pula sebuah pertanyaan, bagaimana hukum transaksi ini dalam perspektif syariat Islam?

Secara teknis, sistem ini bekerja dengan cara menempatkan nasabah sebagai pihak yang menginstruksikan order jual atau beli kepada anggota bursa. Pada hari transaksi (T+0), terjadi proses pemadanan order jual dan beli melalui mekanisme pasar yang diatur oleh Bursa Efek Indonesia (IDX). Namun, serah terima dana dan efek baru dilakukan pada hari kedua setelah transaksi (T+2) oleh KPEI dan KSEI selaku lembaga kliring dan penyimpanan. Dengan demikian, pada hari dilakukannya akad jual beli, para pihak belum menerima maupun menyerahkan barang secara langsung. Lantas apakah ini sesuai dengan kaidah jual beli dalam dalam syariat Islam?

Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ menjelaskan bahwa syarat sahnya jual beli adalah barang yang diperjualbelikan harus telah dimiliki dan dapat diserahterimakan oleh penjual. Pendapat ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad -shollallahu alaih wasallam-:
"Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak kamu miliki." (HR. Abu Dawud, no. 3503)
Hadits ini menjadi rujukan utama dalam larangan menjual barang yang belum berada dalam kepemilikan atau kontrol pembeli atau penjual secara sah. Dalam konteks T+2, ketika investor retail menjual saham, dalam banyak kasus mereka tidak benar-benar telah menerima efek tersebut secara sah di rekening efek mereka hingga dua hari kemudian. Maka timbul risiko adanya transaksi fiktif atau spekulatif yang sebenarnya belum memenuhi rukun dan syarat jual beli menurut syariat.

Sebagian ulama kontemporer seperti Syaikh Dr. Muhammad ibn Sa'ad al-'Ushaimi juga menyoroti praktik perdagangan saham dalam transaksi digital ini. Menurut beliau, jual beli saham diperbolehkan selama memenuhi beberapa syarat: saham adalah milik sah penjual, bukan saham haram (misalnya perusahaan riba), dan tidak mengandung unsur spekulasi berlebihan. Bila jual beli dilakukan tanpa kepemilikan riil, maka menurutnya itu termasuk bai' ma la yamlik, jual beli atas sesuatu yang belum dimiliki, yang jelas dilarang.

Namun, di sisi lain, terdapat pendapat/ ijtihad lain dalam kalangan ulama fikih muamalah kontemporer. Dewan Syariah Nasional-MUI dalam fatwanya tentang jual beli saham memberikan ruang atas kebolehan selama transaksi tersebut memenuhi prinsip syariah: tidak mengandung gharar (ketidakjelasan), maisir (judi), dan riba. Dengan catatan, jika investor menjual saham yang memang sudah menjadi miliknya dan tercatat dalam rekening efek atas namanya, meskipun serah terima fisik efek terjadi dua hari kemudian, maka akad jual belinya masih dianggap sah.

Inilah wilayah abu-abu yang perlu dikaji lebih dalam. Secara sistem, penyelesaian T+2 adalah adaptasi terhadap kebutuhan efisiensi pasar. Tetapi sebagai Muslim yang terlibat dalam pasar modal, kewaspadaan terhadap aspek kehalalan transaksi tetap menjadi prioritas. Solusi jangka panjangnya adalah dengan mengedepankan edukasi kepada investor retail mengenai pentingnya menjual efek yang sudah sah dimiliki secara penuh, serta mendorong regulator agar menyediakan skema transaksi yang lebih akomodatif terhadap prinsip-prinsip syariah.

Dengan demikian, kemajuan dalam sistem keuangan tidak semestinya bertentangan dengan prinsip keadilan dan kejelasan dalam syariat Islam. Justru harus menjadi momentum untuk melahirkan inovasi keuangan yang inklusif, efisien, dan tetap berlandaskan etika serta nilai-nilai keadilan yang diajarkan oleh agama.
Artikel Selengkapnya...

Indonesia Negeri Paling Dermawan, Perlukah Tata Kelola Pengumpulan Donasi?

Baru-baru ini, Charities Aid Foundation (CAF) kembali menempatkan Indonesia di peringkat nomor satu dalam World Giving Index (WGI) 2024. Prestasi ini tentu membanggakan. Indonesia tercatat sebagai “negara paling dermawan di dunia”, mengungguli negara-negara maju dan kaya seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Emirat Arab, hingga Arab Saudi.

Namun, ketika euforia ini menyeruak, muncul juga pertanyaan kritis: kok bisa? Bukankah ekonomi Indonesia belum sekuat negara-negara Barat atau Timur Tengah? Apakah dermawan kita benar-benar setulus itu, atau ada sisi lain yang perlu dicermati?

Dermawan karena Partisipasi, Bukan Jumlah

Perlu diketahui, bahwa variable WGI tak mengukur seberapa besar total donasi yang terkumpul di sebuah negara. Indeks ini menilai dari tingkat partisipasi masyarakat dalam aksi memberi: membantu orang asing, berdonasi uang, dan menjadi relawan.

Di Indonesia, partisipasi itu sangat tinggi:
·         9 dari 10 orang dewasa pernah berdonasi.
·         Hampir 7 dari 10 orang membantu orang asing.
·         Sekitar 6 dari 10 orang terlibat dalam kegiatan sukarela.

Inilah wajah Indonesia yang penuh empati. Budaya gotong royong dan solidaritas memang telah mendarah daging dalam kehidupan kita.

Sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya berbagi, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 261)
Dan sabda Rasulullah -Shallallahu ’alaihi wasallam-:
"Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah yang memberi, dan tangan di bawah adalah yang meminta." (HR. Bukhari dan Muslim)
Celah Penyelewengan di Era Sosial Media

Namun, fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa kedermawanan tanpa sistem pengawasan yang kuat bisa menjadi ladang subur bagi penipuan berkedok donasi. Di banyak negara maju, setiap lembaga penggalang dana wajib terdaftar resmi, laporan keuangannya diaudit, dan diawasi ketat untuk mencegah penyalahgunaan. Di Indonesia, pengawasan semacam ini masih lemah. Siapa saja bisa dengan mudah menggalang dana, bahkan hanya bermodal media sosial.

Kasus pasangan selebgram muslim mualaf di Inggris beberapa tahun silam menjadi contoh nyata, bagaimana kedermawanan publik bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Pasangan ini tampil seolah pasangan muslim yang taat: sang wanita berhijab, sang pria bersorban dan berjenggot, dan keduanya rajin mempublikasikan aktivitas keagamaan mereka, mulai dari sholat jamaah bersama keluarga hingga kegiatan pengajian bersama. Dengan citra islami yang mereka publikasikan, mereka berhasil menggaet banyak pengikut dari kalangan muslim semi-liberal di Inggris.

Dari ketenaran itu, mereka menggalang donasi hingga ratusan ribu poundsterling, yang konon diperuntukkan untuk muslim Rohingya, korban banjir di India, dan lainnya. Namun, dugaan kehidupan ganda mereka terbongkar saat netizen menemukan foto-foto yang menunjukkan gaya hidup mewah mereka di “second account” Instagram mereka. Tak hanya itu, muncul pula dugaan penyalahgunaan dana donasi yang berbuntut pembekuan dana tersebut oleh pihak berwenang.

Pelajaran penting dari kasus ini: bukan atribut agamanya yang salah, bukan hijabnya, bukan sorban atau jenggotnya. Yang keliru adalah orang-orang yang menjadikan agama sebagai komoditas dagangan untuk meraih keuntungan pribadi. Sosial media menjadi wahana subur untuk itu. Karena itulah kita, sebagai masyarakat, perlu lebih waspada dan menggunakan akal sehat dalam setiap interaksi digital kita.

Di sinilah pentingnya kita mengingat peringatan Nabi -Shallallahu ’alaihi wasallam-:
"Barang siapa menipu, maka ia bukan termasuk golonganku." (HR. Muslim)
Sungguh celaka orang yang menjadikan agama sebagai komoditas untuk meraih keuntungan pribadi.

Saatnya Tata Kelola Donasi Lebih Baik

Prestasi Indonesia di WGI 2024 sepatutnya menjadi momen refleksi: budaya berbagi harus diimbangi dengan budaya akuntabilitas. Pemerintah bersama lembaga-lembaga seperti BAZNAS, Kemenag, OJK, dan aparat penegak hukum harus memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap aktivitas penggalangan dana. Laporan keuangan harus transparan, audit wajib dilakukan, dan masyarakat harus lebih kritis sebelum menyalurkan donasi.

Sesuai dengan perintah Allah -Subhanahu wa ta'ala-agar amanah dijaga dengan baik:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil..." (QS. An-Nisa: 58)
Jangan sampai, karena ulah segelintir oknum, kepercayaan masyarakat pada aksi sosial justru runtuh. Jangan pula semangat berbagi kita tercoreng hanya karena kita lengah membedakan mana derma sejati dan mana tipu daya berkedok amal.

Kedermawanan adalah aset moral bangsa. Agar tetap mulia, ia harus dilandasi kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab. Di era digital, di mana penggalangan dana begitu mudah dilakukan, mari kita saling mengingatkan untuk berbagi dengan hati bersih dan akal yang sehat.
Artikel Selengkapnya...

Halal Haram Investasi Saham: Menakar Etika dan Hukum dalam Perspektif Syariah

Investasi saham merupakan salah satu bentuk pengembangan harta yang semakin populer saat ini. Namun bagi seorang Muslim, pertanyaan besar yang sering mengemuka adalah: Apakah investasi saham itu halal? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara sederhana karena investasi saham melibatkan banyak aspek yang harus ditinjau dari perspektif syariah. Dalam pandangan Islam, kehalalan suatu bentuk muamalah -termasuk di dalamnya investasi-sangat ditentukan oleh objek, sumber, dan cara transaksi yang digunakan.

Dalam konteks ini, para ulama kontemporer telah menetapkan sejumlah syarat agar suatu investasi saham dapat dinyatakan halal, yang secara garis besar dapat dikategorikan dalam empat poin utama:

1. Emiten Bergerak di Sektor yang Halal dan Memproduksi Barang atau Jasa yang Halal

Hal pertama yang menjadi dasar kehalalan investasi saham adalah sektor usaha dari emiten tersebut. Investasi saham dianggap halal jika perusahaan tersebut bergerak di bidang usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, seperti: Tidak memproduksi atau menjual minuman keras. Tidak bergerak di bidang perjudian, pornografi, riba, atau produk haram lainnya

Allah سُبْحَانَ ٱللَّٰهِ هُوَ تَعَالَى berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu..." (QS. Al-Baqarah: 172)

Kata "thayyib" menunjukkan bahwa harta atau sumber pendapatan harus bersih dan halal.

2. Modal Perusahaan Bersumber dari Dana yang Halal

Sumber pendanaan perusahaan juga menjadi pertimbangan penting dalam hukum investasi saham. Perusahaan tidak boleh menjadikan utang berbasis riba sebagai sumber utama pendanaannya. Dalam hal ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama:

Syaikh Shaleh Al-Fauzan (anggota Haiah Kibaril Ulama Saudi Arabia) berpendapat bahwa perusahaan tidak boleh memiliki utang riba sama sekali, karena riba termasuk dosa besar yang secara tegas diharamkan dalam Islam. à Cari emiten syariah dengan debt to equity rationya (D/E) 0%

Sebagian ulama kontemporer lain (seperti anggota AAOIFI dan DSN-MUI) menggunakan analogi fiqih (qiyas) dengan hukum air:
"Jika air sebanyak dua qullah tidak berubah warna, rasa, atau baunya meskipun terkena najis, maka ia tetap suci."
Maka, jika porsi hutang ribawi dalam modal perusahaan sangat kecil dan tidak dominan (misalnya <5%), maka sahamnya masih boleh dimiliki.

Standar Syariah:
  • Arab Saudi (Tadawul Shariah Index): Debt-to-Equity Ratio maksimal 5%
  • Indonesia (Indeks Saham Syariah Indonesia / ISSI): Toleransi hutang berbasis bunga maksimal 45% dari total ekuitas
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah: 275)
3. Emiten Tidak Melakukan Corporate Action yang Mengandung Unsur Riba

Corporate action adalah kebijakan strategis perusahaan yang berdampak langsung pada nilai saham. Dalam Islam, corporate action yang mengandung unsur riba atau spekulasi haram tidak diperbolehkan, seperti:
  • Repo (Repurchase Agreement): Kontrak jual beli dengan janji membeli kembali di kemudian hari dengan harga lebih tinggi, mengandung unsur riba.
  • Margin trading: Membeli saham dengan dana pinjaman berbunga dari broker juga tergolong riba.
Namun, tidak semua corporate action haram. Stock split dan reverse stock split yang hanya memecah atau menggabungkan nilai nominal saham, selama tidak ada unsur riba atau manipulasi pasar, masih diperbolehkan, asalkan transparan dan tidak disertai praktik haram.
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah: 2)
4. Tidak Menggunakan Margin Sekuritas dalam Transaksi Saham

Penggunaan margin atau pinjaman dalam jual beli saham -di mana investor membeli saham menggunakan dana pinjaman dari sekuritas dengan bunga tertentu jelas mengandung unsur riba dan dilarang dalam Islam.

Hal ini berbeda dengan akad musyarakah atau mudharabah, di mana ada kerja sama bagi hasil yang sesuai prinsip syariah.
Rasulullah -Shallallahu ’alaihi wasallam-bersabda:
"Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberi riba, pencatatnya, dan dua saksinya." (HR. Muslim)
Investasi saham dalam Islam pada dasarnya mubah (boleh), namun menjadi haram bila melanggar prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, seorang Muslim yang ingin berinvestasi wajib memperhatikan aspek-aspek berikut:

Pastikan perusahaan bergerak di sektor yang halal. Tinjau struktur keuangan perusahaan, khususnya keberadaan utang berbasis bunga. Hindari perusahaan yang melakukan kebijakan yang mengandung riba. Gunakan mekanisme transaksi yang bebas dari riba, termasuk tidak menggunakan margin trading.

Investasi bukan sekadar mengincar keuntungan duniawi, tetapi juga harus membawa keberkahan dan keridhaan Allah. Dengan memahami kaidah syariah dalam berinvestasi, kita dapat menjadi investor yang tidak hanya cerdas secara finansial, tetapi juga saleh secara spiritual.

Referensi:
  • Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah: 172, 275
  • Surah Al-Maidah: 2
  • HR. Muslim, Hadis tentang riba
  • Fatwa DSN-MUI No. 135/DSN-MUI/VIII/2020 tentang Saham Syariah
  • Syaikh Shaleh Al-Fauzan, Syarh al-Mulakhkhas al-Fiqhi, dan ceramah-ceramahnya di laman resmi Haiah Kibaril Ulama
  • AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) Standards
Artikel Selengkapnya...

Kasta Jam Tangan: Simbol Status di Balik Detik yang Berdetak

Jam tangan bukan lagi sekadar alat penunjuk waktu. Dalam dunia modern, ia telah berevolusi menjadi simbol status, gaya hidup, dan bahkan investasi. Beragam merek jam tangan mengisi pasar, masing-masing menawarkan nilai dan prestige yang berbeda. Dalam tulisan ini, kita akan mengulas jam tangan berdasarkan “Kasta” yang populer dan kerap dibicarakan di kalangan penggemar horologi atau watch enthusiast yakni Kasta Sultan, Crazy Rich, Middle Class, dan Entry level.

Kasta Sultan: Keagungan yang Berdetak
Di puncak piramida, terdapat Richard Mille, Audemars Piguet, Patek Philippe, dan Vacheron Constantin. Jam-jam tangan dari kasta ini tidak hanya mahal, harga satu unitnya bisa menyamai rumah mewah, namun juga sangat eksklusif.
  • Richard Mille dikenal dengan desain futuristik dan teknologi mutakhir yang ringan namun tahan banting. Jam ini lebih dari sekadar perhiasan; ia adalah karya seni teknologi horologi.
  • Audemars Piguet, khususnya seri Royal Oak, menjadi ikon horologi mewah dengan desain khas dan finishing yang luar biasa.
  • Patek Philippe, dengan semboyan “You never actually own a Patek Philippe. You merely look after it for the next generation,” menekankan nilai warisan dan ketepatan jam tangan made in Swiss.
  • Vacheron Constantin, salah satu Merek jam tangan tertua dan paling bergengsi di dunia, didirikan pada tahun 1755 di Jenewa, Swiss. Merek ini dikenal karena desainnya yg elegan, dan komplikasi horologis tingkat tinggi.
Jam tangan kasta ini dipakai oleh para miliarder, sultan, dan selebritas papan atas. Ia tidak hanya menandai waktu, tapi juga menandai siapa penggunanya.
Kasta Crazy Rich: Mewah, Tapi Masih Terjangkau oleh Para Elit
Kasta ini diisi oleh merek-merek seperti Rolex, Hublot, Omega, Cartier, Panerai, Grand Seiko, dan Tudor.
  • Rolex adalah simbol klasik kemewahan yang dikenal luas. Model seperti Submariner dan Daytona menjadi barang incaran kolektor dan spekulan.
  • Hublot dengan desain eksperimental dan kolaborasi uniknya (misalnya design Ferrari), sangat menarik bagi para pecinta fashion dan olahraga.
  • Omega, terkenal lewat Speedmaster (jam pertama yang mendarat ke bulan), menggabungkan nilai historis dengan teknologi automatic movement yang canggih.
  • Cartier lebih dikenal sebagai rumah perhiasan, namun jam tangan mereka seperti Santos dan Tank tetap ikonik.
  • Panerai jam tangan mewah asal Italia berukuran besar, desain minimalis, dan visibilitas tinggi dan tahan air. Ciri khas Panerai meliputi casing besar berbentuk bantal (cushion-shaped case), serta crown guard yang unik. Seri Luminor dan Radiomir banyak digemari kolektor dan pecinta gaya maskulin.
  • Grand Seiko dan Tudor membawa kualitas tinggi dengan harga yang relatif lebih bersahabat dibanding Rolex, namun tetap berada di level eksklusif.
Kasta ini adalah milik para eksekutif sukses, entrepreneur muda, dan selebritas kelas menengah atas yang ingin menunjukkan gaya dengan elegan tanpa berlebihan.
Kasta Middle Class: Nilai Tinggi Tanpa Menguras Dompet
Seiko, Hamilton, Longines, Tissot, TAG Heuer dan Oris adalah nama-nama yang sering muncul di kalangan penghobi jam tangan yang serius, namun masih realistis secara finansial.
  • Seiko (terutama lini Presage dan Prospex) dikenal karena value for money dan inovasinya.
  • Hamilton, merk asal Amerika dengan in house movement dari Swiss, menawarkan desain klasik dan keandalan yang solid.
  • Longines dan Tissot berada di bawah grup Swatch, menyasar pasar menengah dengan kombinasi desain elegan dan kualitas jam tangan made in Swiss.
  • Oris, meski independen, memproduksi jam mekanikal dengan spesifikasi tinggi, cocok untuk pecinta diving dan gaya klasik.
  • TAG Heuer dikenal dengan desain sporty, teknologi mutakhir, dan ketepatan waktu yang luar biasa. Model-model ikoniknya seperti Carrera, Monaco, dan Aquaracer mencerminkan semangat kecepatan, ketangguhan, dan gaya hidup yang aktif.
Jam dari kasta ini ideal untuk profesional muda atau penghobi jam tangan yang ingin merasakan kualitas tanpa harus berhutang.
Kasta Entry Level: Fungsionalitas dengan Harga Bersahabat
Di dasar piramida, bukan berarti kualitasnya buruk. Merek seperti Seiko 5, G-Shock, Casio, Orient, dan Timex tetap memiliki tempat istimewa.
  • Seiko 5 dikenal karena harga terjangkau, daya tahan tinggi, dan desain yang simpel namun fungsional. Cocok untuk pemula dalam dunia jam otomatis
  • G-Shock adalah rajanya ketahanan; cocok untuk militer, atlet, dan pekerja lapangan.
  • Citizen jam tangan asal Jepang dikenal karena inovasi teknologi, presisi tinggi, dan nilai fungsional yang kuat. Salah satu seri iconic terkenalnya adalah seri teknologi Eco-Drive
  • Casio secara umum menawarkan jam digital yang ekonomis yang tahan lama dan multifungsi (sering dipakai pelajar dan mahasiswa).
  • Orient, anak perusahaan Seiko, menghadirkan jam otomatis murah namun tangguh.
  • Timex merk asal Amerika yang menawarkan desain kasual dengan harga sangat terjangkau, namun tetap estetik.
Merek-merek ini digunakan oleh masyarakat umum yang mengutamakan fungsi, daya tahan, dan harga bersahabat.
Pilihan Kasta, Pilihan Gaya Hidup
Kasta jam tangan pada akhirnya bukan hanya soal harga, tetapi soal filosofi, kebutuhan, dan selera. Setiap merek membawa cerita, teknologi, dan keunikan tersendiri. Memiliki jam tangan dari kasta tertentu bukan hanya menandakan posisi sosial, tetapi juga bisa mencerminkan kepribadian dan preferensi si pemakai. Entah Anda berada di kasta sultan atau rakyat jelata, yang terpenting adalah bagaimana Anda memaknai setiap detik dalam hidup Anda, karena waktu adalah aset paling berharga.
Artikel Selengkapnya...

Mengapa Orang Kaya Lebih Mudah Diterima di Masyarakat?

Dalam dinamika sosial masyarakat modern, sering kali kita melihat fenomena bahwa orang kaya lebih mudah diterima, disukai, dan dihormati dalam lingkungan sosial dibandingkan dengan orang miskin. Realita ini bukan hanya soal persepsi, tetapi juga berkaitan dengan kemampuan ekonomi yang memengaruhi cara seseorang membangun dan menjaga relasi sosial.

Orang kaya memiliki kelebihan dalam akses dan sumber daya yang membuat mereka lebih mudah diterima di berbagai kalangan. Mereka mampu mentraktir teman, memberi hadiah, mengundang untuk makan malam di restoran, atau bahkan membiayai acara kebersamaan yang mempererat hubungan sosial. Tindakan-tindakan ini tidak hanya dinilai sebagai kebaikan, tetapi juga membentuk citra sebagai pribadi yang dermawan dan menyenangkan. Sebaliknya, orang miskin sering kali tak memiliki kemampuan serupa. Bukan berarti mereka tidak ingin berbagi atau menjalin relasi, namun keterbatasan finansial kerap membuat mereka tampak pasif atau bahkan terkesan “menumpang” dalam pergaulan.

Dalam urusan menjaga silaturahmi, orang kaya pun memiliki keunggulan. Mereka bisa dengan mudah membeli tiket pesawat dan hadir di acara pernikahan, reuni, atau syukuran kolega yang tinggal nun jauh disana. Mereka dapat membawa oleh-oleh, hadiah, bahkan ikut memberikan sumbangan dalam acara tersebut. Keberadaan mereka dianggap sebagai bentuk perhatian yang tinggi. Bandingkan dengan orang miskin yang harus berpikir dua kali, bahkan untuk sekadar membeli tiket untuk biaya transportasi. Kadang bukan tidak mau datang, namun karena tidak mampu.

Relasi sosial juga sering dilihat dari kemampuan untuk memberi dukungan dalam beberapa momen penting para kolega. Ketika teman atau kolega diwisuda, membuka usaha, atau naik jabatan, orang kaya bisa mengirimkan bucket bunga, bingkisan, atau bahkan karangan bunga. Ini menjadi bentuk simbolis dari penghargaan dan dukungan. Orang miskin mungkin hanya bisa memberi ucapan lewat pesan singkat via WA atau komen di media sosial, mungkin niatnya tulus, namun sering kali tak dianggap setara dalam ekspresi sosial di masyarakat.

Kemampuan mobilitas juga menjadi faktor penting. Orang kaya bisa menjemput teman dari bandara atau stasiun menggunakan mobil pribadi yang nyaman. Mereka bisa menjadi tuan rumah yang baik dalam berbagai kesempatan. Sementara orang miskin? Kalaupun menjemput, mungkin hanya bisa naik motor, atau bahkan sepeda yang walau bermakna, tetap saja dianggap “kurang pantas” dalam norma sosial masyarakat hedonis.

Inilah mengapa masyarakat kita cenderung lebih "menerima" keberadaan orang kaya. Bukan semata karena kekayaan itu sendiri, tapi karena kekayaan memberi alat dan peluang untuk memperkuat relasi sosial secara nyata. Dalam masyarakat yang sering kali menilai bentuk perhatian dari besaran nilai materi, orang kaya memang punya “amunisi” lebih.

Lalu, apakah artinya orang miskin tidak punya solusi? Tentu ada. Salah satunya adalah memperkuat kualitas diri dan kehadiran yang tulus. Kejujuran, empati, kerja keras, dan integritas masih memiliki nilai tinggi dalam relasi sosial yang sehat. Selain itu, membangun jejaring dan meningkatkan pendidikan serta keterampilan bisa menjadi jembatan untuk memperluas peluang, termasuk didalamnya peluang ekonomi dan relasi. Tidak harus kaya raya, tetapi cukup agar mampu menjalin hubungan sosial yang setara dan bermakna.

Pada akhirnya, masyarakat perlu belajar untuk menilai seseorang tidak hanya dari apa yang bisa ia berikan secara materi, tapi juga dari kualitas kepribadian dan ketulusan relasi. Namun, tak bisa dimungkiri: dalam realitas sosial yang ada hari ini, orang kaya memang lebih mudah diterima karena mereka punya lebih banyak cara untuk hadir, memberi, dan menunjukkan perhatian.
Artikel Selengkapnya...

Pelajaran Investasi dari Shigeru Fujimoto Maestro Investor dari Negri Sakura

Shigeru Fujimoto adalah seorang investor berusia 87 tahun asal Jepang, yang telah berhasil mengumpulkan kekayaan (net worth) dengan nilai lebih dari $12 M melalui investasi saham. Dia dijuluki sebagai “Warren Buffett” nya Jepang,” Membahas kisah hidup dan prinsip investasi S. Fujimoto tentu dapat menjadi sumber inspirasi, tidak hanya bagi investor Jepang, tetapi juga bagi para pelaku pasar saham global, termasuk kita yang di Indonesia. Kisahnya menunjukkan bahwa keberhasilan dalam berinvestasi tidak hanya berasal dari latar belakang akademis atau finansial background yang kuat, tetapi lebih pada ketekunan dan kedisiplinan.

Cintai Apa yang kamu lakukan: Investasi Bukan Hanya Sekadar Angka

S. Fujimoto menekankan pentingnya untuk mencintai apa yang dilakukan, termasuk dalam aktivitas investasi/ trading saham. Ia hidup dan bernapas dalam dunia investasi saham, selalu mengamati lingkungan sekitar sebagai sumber inspirasi dalam investasi. Lalu menghubungkan relevansi dengan momentum trend yang ada saat ini, mengingat pasar saham sangat dipengaruhi oleh sentimen publik dan tren sektoral. Saat terjadi booming pada sektor komoditas seperti batu bara atau nikel, banyak investor ritel Indonesia ikut-ikutan (Fomo) tanpa memahami dan menganalisa kondisi fundamental emiten tersebut. Dengan mencintai dan mendalami analisa secara mandiri maka psikologis investor akan lebih tahan banting terhadap fluktuasi dan tekanan pasar.

Jangan FOMO & Ikut-ikutan, lakukan analisa Mandiri

S. Fujimoto memperingatkan akan bahaya mengikuti tren atau rekomendasi influencer secara membabi buta. Fenomena seperti ini sering terjadi di berbagai grup saham dan media sosial, di mana saham-saham gorengan sering naik karena efek FOMO (Fear of Missing Out). Padahal, sering kali informasi tersebut sudah "lagging" ketika sampai ke publik. Investor yang hanya ikut arus tanpa melakukan riset/ analisa cenderung akan membeli saham di harga tertinggi dan akan menjual di harga terendah. Pesan S. Fujimoto menegaskan akan pentingnya analisisa mandiri dan perlunya skeptisisme yang sehat terhadap informasi pasar yang beredar.

Investasilah di sektor atau Emiten  yang anda pahami

Prinsip S. Fujimoto ini sejalan dengan Warren Buffett yakni: “Jangan investasikan uang Anda dalam bisnis yang tidak Anda pahami.” Ia fokus pada sektor yang familiar dengan “Niche” yang dipahaminya seperti Industri otomotif dan semikonduktor. Hal ini sangat penting, mengingat banyaknya investor pemula yang tergoda membeli saham perusahaan teknologi yang belum untung atau sektor yang asing bagi dunia mereka. Dengan fokus pada sektor yang kita kenal, seperti perusahaan konsumsi (misalnya Indofood/ INDF), investor Indonesia dapat membuat keputusan yang lebih rasional yang berbasis fundamental.

Pentingnya Kedisiplinan dan Jurnal Trading untuk Refleksi Setiap Keputusan Investasi

Kebiasaan S. Fujimoto adalah mencatat setiap transaksi hariannya dan disiplin dalam menentukan aktivitas buy dan sell sebuah saham berdasarkan analisa. Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan secara sistematis dalam berinvestasi. Di Indonesia, masih banyak kita temui investor yang melakukan jual beli berdasarkan “impulse buy” semata tanpa adanya catatan yang jelas. Dengan membuat jurnal investasi, investor bisa belajar dari kesalahan masa lalu dan mengidentifikasi pola perilaku yang dapat merugikan. Ini sejalan dengan praktik-praktik dalam trading profesional, di mana trading jurnal menjadi alat penting untuk evaluasi strategi.

Relevansi Bagi Investor Indonesia

Kisah Shigeru Fujimoto memiliki relevansi di pasar saham Indonesia, terutama dalam membangun budaya investasi yang lebih matang dan berorientasi jangka panjang. Di tengah meningkatnya jumlah investor ritel di Indonesia -khususnya generasi muda- nilai-nilai yang dipegang S. Fujimoto dapat menjadi fondasi untuk membangun disiplin dan filosofi investasi yang sehat.

Pasar Indonesia masih relatif volatil dan sensitif terhadap sentimen global dan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, pendekatan S. Fujimoto yang meskipun agak konservatif, namun tetap berbasis pengetahuan dan disiplin sangat cocok diterapkan di tengah kondisi pasar yang tak menentu.

Shigeru Fujimoto membuktikan bahwa kesuksesan dalam investasi tidak ditentukan oleh seberapa cepat kita bergerak mengikuti pasar, tetapi oleh seberapa dalam kita memahami keputusan kita sendiri. Nilai-nilai seperti pentingnya sebuah proses, analisa mandiri, pemahaman mendalam terhadap semua sektor, dan kedisiplin tinggi dalam jurnal trading/ investasi dapat menjadi bekal penting bagi investor untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu berkembang dalam jangka panjang. Belajar dari pendekatan S. Fujimoto dapat menjadi langkah bijak menuju kematangan finansial yang berkelanjutan.
Artikel Selengkapnya...

Antara Usaha Warteg dan Tukang Parkir, Mana Yang Lebih Menguntungkan?

Di negeri +62 ini, keajaiban bukan cuma ada di sinetron atau iklan sirup marjan. Di depan warteg, hal-hal tak lazim kerap terjadi tiap hari. Bayangkan: pemilik warteg yang mesti bangun jam 4 pagi (subuh), muka masih kucel & masih nempel bantal, harus langsung meluncur ke pasar demi dapet cabe rawit segar yang harganya kayak harga saham gorengan & koin crypto micin -naik turun ndak karuan-.

Sesampainya di rumah, si ibu warteg belum sempat leyeh-leyeh ngopi, langsung harus goreng tempe, tumis kangkung, nyiapin ayam kecap, dan ngepel lantai sambil mikirin harga gas elpiji yang mulai langka. Semua itu demi dapetin cuan yang hanya Rp 500 perak dari sepotong gorengan yang dia jual. Itu pun belum termasuk risiko gorengan gak laku, atau pelanggan cuma pesen nasi doing tanpa lauk.

Tapi, di pojokan warteg, duduklah dia: Sang Tukang Parkir. Tanpa harus menggoreng, tanpa harus menumis, tanpa harus kecipratan minyak goring panas. Cuma bermodal rompi neon, kursi plastik, dan gesture tangan penuh wibawa: “Minggir dikit, Bang… dikit lagi… nah pas!” Lalu “prak!” tangan kanan minta Rp 2.000

Bro… dari mana rumus ekonomi ini berasal?

Si ibu warteg ngitung tiap sendok sayur biar pas margin-nya. Sementara si tukang parkir, dalam hitungan menit, bisa dapet cuan 4x lipat dari gorengan Ibu warteg. Kalau diseriusin, ini udah kayak perbandingan antara nelayan yang mancing seharian dapet dua ikan, sama orang yang tinggal ambil ikan di pelelangan ikan pinggir pantai.

Dan yang lebih ngenes lagi, semua ketidakadilan ini diterima begitu saja oleh masyarakat dengan penuh legowo. Gak ada yang demo, gak ada yang nuntut audit rompi tukang parkir. Malah kadang pelanggan lebih takut sama tukang parkir daripada sama satpam BCA, karena saking galaknya.

Sehingga kemudian timbul pertanyaan di benak saya, kira-kira “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” itu, letaknya di mana ya? Apakah di belakang warteg? Di balik etalase gorengan? Atau masih ngantri di kantor kelurahan?

Tapi ya sudahlah, beginilah hidup di negeri penuh kreatifitas. Kadang kita kerja keras, kadang kita kerja cerdas, kadang kita cuma butuh... parkir.

Yang penting, jangan lupa bayar gorengan. Dan jangan lupa bayar tukang parkir seikhlasnya walaupun sulit banget untuk ikhlas. Tapi plis, minimal senyumin juga si Ibu warteg. Soalnya dia yang bikin kamu tetap bisa makan murah, kenyang, dan penuh rasa... meski belum tentu ada “Keadilan”.

Artikel Selengkapnya...

Jangan Remehkan Hutang: Amanah Dunia, Beban Akhirat

 
Tahukah Anda bahwa ayat terpanjang dalam Al-Qur'an bukan berbicara tentang shalat, puasa, jihad, atau zakat? Ayat terpanjang itu justru membahas tentang hutang piutang. Ya, benar. Surat Al-Baqarah ayat 282 adalah ayat terpanjang dalam mushaf Al-Quran, dan secara luar biasa ia membahas detil demi detil transaksi hutang: tulislah, saksikanlah, jujurlah, amanahlah.

Ini bukan sekadar pesan ekonomi, ini adalah pesan keadilan sosial dan tanggung jawab moral. Allah yang Maha Mengetahui meletakkan urgensi persoalan hutang pada tempat yang sangat tinggi. Bukan tanpa sebab. Hutang adalah ujian akhlak, dan sering kali menjadi sumber keretakan hubungan persaudaraan, kerusakan masyarakat, bahkan akhirat seseorang.

Lebih mengejutkan lagi, Rasulullah ﷺ menyampaikan bahwa orang yang terbunuh di medan jihad—yang darahnya tumpah demi agama, tidak serta-merta mendapatkan status syahid, jika ia masih meninggalkan hutang yang belum diselesaikan. 
“Seluruh dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim)
Maka pertanyaannya: mengapa ada sebagian orang, bahkan tokoh agama yang kita pandang sebagai ustadz dan panutan umat, begitu meremehkan urusan hutang? Bahkan dengan entengnya berkata, "Itu hanya masalah duniawi, masalah hutang,...ngemplang, jadi tidak perlu untuk dibesar-besarkan"

Masalah duniawi? Jika memang demikian, mengapa Allah harus turunkan satu ayat terpanjang hanya untuk perkara duniawi? Mengapa Rasulullah sampai enggan menyolatkan jenazah orang yang masih menanggung hutang, jika tidak ada dimensi akhirat di dalamnya?

Di sinilah letak keprihatinan. Ketika orang awam tidak tahu, mungkin bisa dimaklumi. Tapi ketika seorang ustadz -yang setiap kata dan geraknya menjadi contoh, bahkan rujukan umat- meremehkan hal sebesar ini, maka itu adalah sebuah petaka dan krisis. Krisis keilmuan? Krisis kejujuran? Atau krisis akhlak?

Perkataan seperti itu bukan saja mencederai ajaran Islam, tapi juga bisa menjadi pembenaran bagi orang-orang yang memang punya kecenderungan untuk lari dari tanggung jawab. Orang yang memang berniat ngemplang, bisa dengan mudah berkata: “Ah, itu kan cuma masalah duniawi.”

Padahal dalam Islam, tanggung jawab dunia justru yang akan menentukan nasib akhirat. Apakah tidak takut bahwa ucapan yang menyepelekan bisa membuat umat terbiasa menggampangkan amanah?

Sudah saatnya kita kembali menempatkan nilai-nilai Al-Qur'an pada posisi tertingginya. Bukan hanya dalam ibadah, tapi juga dalam muamalah. Dan sudah seharusnya para tokoh agama berhati-hati dalam berbicara, karena satu kalimat bisa jadi pembenaran bagi ribuan kesalahan.

Islam mengajarkan kita kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan, termasuk dalam hal hutang piutang. Jangan sampai, hanya karena satu komentar tak bertanggung jawab, kita menjadi umat yang membenarkan kelalaian, bahkan pengkhianatan, dengan label "itu cuma masalah duniawi."
Artikel Selengkapnya...
 
Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia