Dalam era digital dan kecepatan transaksi yang terus meningkat,
penyederhanaan dan efisiensi dalam sistem keuangan menjadi sebuah keniscayaan.
Salah satu bentuk transformasi tersebut adalah implementasi sistem penyelesaian
transaksi T+2 di Bursa Efek Indonesia (BEI). Skema ini mempercepat proses
penyelesaian dari sebelumnya T+3 menjadi hanya dua hari kerja setelah tanggal
transaksi (T+2). Tujuannya adalah untuk meningkatkan likuiditas pasar,
mengurangi risiko kredit, dan mempercepat perputaran modal. Namun, di balik
kepraktisan tersebut, muncul pula sebuah pertanyaan, bagaimana hukum transaksi
ini dalam perspektif syariat Islam?
Secara teknis, sistem ini bekerja dengan cara menempatkan nasabah sebagai
pihak yang menginstruksikan order jual atau beli kepada anggota bursa. Pada
hari transaksi (T+0), terjadi proses pemadanan order jual dan beli melalui
mekanisme pasar yang diatur oleh Bursa Efek Indonesia (IDX). Namun, serah
terima dana dan efek baru dilakukan pada hari kedua setelah transaksi (T+2)
oleh KPEI dan KSEI selaku lembaga kliring dan penyimpanan. Dengan demikian,
pada hari dilakukannya akad jual beli, para pihak belum menerima maupun
menyerahkan barang secara langsung. Lantas apakah ini sesuai dengan kaidah jual
beli dalam dalam syariat Islam?
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ menjelaskan bahwa syarat sahnya
jual beli adalah barang yang diperjualbelikan harus telah dimiliki dan dapat
diserahterimakan oleh penjual. Pendapat ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad
-shollallahu alaih wasallam-:
"Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak kamu miliki." (HR. Abu Dawud, no. 3503)
Hadits ini menjadi rujukan utama dalam larangan menjual barang yang belum
berada dalam kepemilikan atau kontrol pembeli atau penjual secara sah. Dalam
konteks T+2, ketika investor retail menjual saham, dalam banyak kasus mereka
tidak benar-benar telah menerima efek tersebut secara sah di rekening efek
mereka hingga dua hari kemudian. Maka timbul risiko adanya transaksi fiktif
atau spekulatif yang sebenarnya belum memenuhi rukun dan syarat jual beli
menurut syariat.
Sebagian ulama kontemporer seperti Syaikh Dr. Muhammad ibn Sa'ad al-'Ushaimi
juga menyoroti praktik perdagangan saham dalam transaksi digital ini. Menurut
beliau, jual beli saham diperbolehkan selama memenuhi beberapa syarat: saham
adalah milik sah penjual, bukan saham haram (misalnya perusahaan riba), dan
tidak mengandung unsur spekulasi berlebihan. Bila jual beli dilakukan tanpa
kepemilikan riil, maka menurutnya itu termasuk bai' ma la yamlik, jual
beli atas sesuatu yang belum dimiliki, yang jelas dilarang.
Namun, di sisi lain, terdapat pendapat/ ijtihad lain dalam kalangan ulama
fikih muamalah kontemporer. Dewan Syariah Nasional-MUI dalam fatwanya tentang
jual beli saham memberikan ruang atas kebolehan selama transaksi tersebut
memenuhi prinsip syariah: tidak mengandung gharar (ketidakjelasan), maisir
(judi), dan riba. Dengan catatan, jika investor menjual saham yang memang sudah
menjadi miliknya dan tercatat dalam rekening efek atas namanya, meskipun serah
terima fisik efek terjadi dua hari kemudian, maka akad jual belinya masih
dianggap sah.
Inilah wilayah abu-abu yang perlu dikaji lebih dalam. Secara sistem,
penyelesaian T+2 adalah adaptasi terhadap kebutuhan efisiensi pasar. Tetapi
sebagai Muslim yang terlibat dalam pasar modal, kewaspadaan terhadap aspek
kehalalan transaksi tetap menjadi prioritas. Solusi jangka panjangnya adalah
dengan mengedepankan edukasi kepada investor retail mengenai pentingnya menjual
efek yang sudah sah dimiliki secara penuh, serta mendorong regulator agar
menyediakan skema transaksi yang lebih akomodatif terhadap prinsip-prinsip
syariah.
Dengan demikian, kemajuan dalam sistem keuangan tidak semestinya
bertentangan dengan prinsip keadilan dan kejelasan dalam syariat Islam. Justru
harus menjadi momentum untuk melahirkan inovasi keuangan yang inklusif,
efisien, dan tetap berlandaskan etika serta nilai-nilai keadilan yang diajarkan
oleh agama.