Serendipitas dalam Sains: Ketika Ketidaksengajaan Justru Mampu Menjadi Kunci dalam Inovasi

Dalam dunia sains yang sering diasosiasikan dengan experiment yang penuh kalkulasi statistik, hypothesa, dan metodologi ilmiah yang baku, ada satu elemen yang kerap terlupakan namun justru kerap menjadi kunci dalam keberhasilan penemuan besar yakni “Serendipitas”. Kata ini, mengacu pada penemuan yang tidak disengaja namun bermakna, sebagaimana diungkap dalam buku The Travels and Adventures of Serendipity karya sosiolog Robert K. Merton dan Elinor Barber.

Bagi Merton, “Serendipity” bukan hanya sekadar kisah keberuntungan yang terjadi dalam laboratorium, melainkan sebuah konsep sosiologis yang patut disistematisasi. Esai berikut menyoroti bagaimana Merton, sebagai salah satu founder ilmu sosiologi, merumuskan serendipitas dalam kerangka yang lebih luas yakni sebagai mekanisme ilmiah yang memperlihatkan bagaimana struktur sosial, nilai budaya, dan kebetulan epistemik dapat melahirkan pengetahuan baru secara tak terduga namun tetap sah secara metode ilmiah.

Jejak Historis Serendipitas

Asal-usul kata "Serendipity", pertama kali dipopulerkan oleh Horace Walpole pada abad ke-18, yang terinspirasi dari kisah tiga pangeran Serendip (dari Sri Lanka). Para pangeran ini selalu beruntung dan menemukan sesuatu yang tidak mereka cari, kemudian hal itu menjadi sebuah metafora untuk beberapa penemuan dalam sains, seperti penemuan penisilin oleh Alexander Fleming, pulsar oleh Jocelyn Bell, gelombang mikro oleh Percy Spencer hingga obat Viagra yang menunjukkan bagaimana penemuan yang bersifat acak pada hakikatnya tidaklah sepenuhnya “acak”. Ia terjadi dalam konteks intuisi ilmiah, struktur nilai, dan kemampuan kognitif si peneliti untuk “melihat makna” dari ketidaksengajaan yang ia lakukan.

Konsep sebagai Konstruksi Intelektual

Dalam konteks serendipitas, Merton memperlihatkan bahwa “Penemuan Tak Sengaja” bisa menjadi batu loncatan bagi sains jika dan hanya jika ada kerangka konseptual tersebut siap untuk menerimanya. Dengan kata lain, kejutan ilmiah bukanlah semata sebuah “Anugerah”, tetapi juga merupakan ujian kesiapan intelektual. “Chance favors the prepared mind,” kata Louis Pasteur. Merton sejalan dengan konsep ini, tetapi dengan narasi tambahan, kesempatan juga beroperasi dalam medan sosial yang memediasi makna, legitimasi, dan tindak lanjut. Dalam hal ini, Merton berbeda dari sosiolog struktural-fungsionalis lainnya. Ia percaya bahwa kekuatan sains sosial justru terletak pada kemampuannya merumuskan konsep-konsep yang bisa menjelaskan, menghubungkan, dan memicu penelitian lintas disiplin.

Tantangan Sistemik: Metodologi yang terlalu kaku, Justru Akan Membunuh Inovasi

Manuskrip yang ditulis oleh Merton dan Barber menjadi kritik terhadap mitos positivistik tentang ilmu yang selama ini dianggap sebagai proyek rasional, linier, dan serba terencana. Keberadaan serendipitas mendisrupsi narasi ini. Ia membuka celah bukti bahwa ilmu sering bergerak zig-zag, terantuk oleh kebetulan, dilintasi intuisi, bahkan dipandu oleh error dari sebuah kreasi.

Dengan demikian, serendipitas tidak membatalkan rasionalitas, tetapi justru melengkapinya. Ia menghadirkan nuansa dalam dinamika ilmu, bahwa pengetahuan juga lahir dari ruang tak terduga, dari rekayasa sosial, dan dari kemampuan manusia untuk membaca makna dalam ketidakteraturan.

Ironisnya, sistem sains modern kerap tidak ramah terhadap serendipitas. Ketika proposal riset harus memuat roadmap experiment secara rigid, ketika keberhasilan diukur dari kesesuaian terhadap hypothesa, maka tidak akan ada lagi tempat bagi hasil experiment yang bersifat anomali. Padahal, penemuan besar justru sering lahir dari apa yang tampak sebagai “kesalahan”.

Serendipitas membutuhkan ruang untuk gagal, ruang untuk bermain, dan ruang untuk menyimpang dari rencana awal. Oleh karena itu, reformasi sistem pendanaan riset perlu mempertimbangkan pentingnya ketidakterdugaan. Bila tidak, kita hanya akan mencetak peneliti yang hanya mengutamakan efisiensi, namun minim akan inovasi.

Serendipitas di Era Digital dan Big Data

Sayangnya, satu hal yang terasa kurang adalah refleksi terhadap relevansi konsep ini di era modern. Dalam dunia yang terisi oleh big data, machine learning, dan eksplorasi tak berujung terhadap variabel-variabel tak terduga, keberadaan serendipitas menjadi semakin relevan. Banyak temuan mutakhir dalam bioinformatika, astrofisika, dan epidemiologi justru terjadi karena algoritma yang menemukan korelasi yang tidak dicari oleh ilmuwan di awal hypothesa.

Namun apakah itu masih bisa disebut “serendipitas”? Jika penemuan acak terjadi melalui mesin, bukan intuisi manusia, apakah makna sosial dan epistemologisnya masih sama? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dikembangkan lebih lanjut, dan yang sayangnya saat ini belum tersentuh dalam beberapa kajian ilmiah.

Menormalisasi Ketidaksengajaan Ilmiah dan Ekosistem Kolaboratif

Di tengah tuntutan pada linearitas, output riset yang terukur, dan birokratisasi ilmu yang kian rigid, esai ini mengajak kita untuk kembali menormalisasi ruang bagi ketidaksengajaan. Bahwa tidak semua pengetahuan lahir dari hipotesis yang disusun secara rapi. Bahwa dalam dunia ilmu, sering kali kita menemukan sesuatu yang tak dicari, dan justru karena itulah ilmu tetap hidup dan berkembang.

Seringkali, kita mengaitkan serendipitas dengan sosok individu yang jenius. Namun serendipitas, justru sering terjadi dalam jejaring sosial, yakni lingkungan yang mendukung, kolaborasi lintas disiplin, serta ketersediaan dana dan waktu untuk mengejar ide-ide baru. Inovasi bukanlah produk pemikiran dari seorang individu semata, melainkan dari ekosistem. Jika kita ingin menumbuhkan lebih banyak penemuan tak terduga, maka yang harus dibangun bukan hanya kapasitas individu, tetapi juga ruang kolaboratif yang cair, terbuka, dan lintas batas.

Mengelola yang Tak Terkelola

Serendipitas bukan pengganti metode, tetapi pengingat bahwa metode yang baik pun harus membuka ruang akan adanya kejutan. Dan seperti yang dicontohkan Merton, penemuan yang paling jitu bukan selalu berupa teori besar, namun dapat berupa konsep kecil yang mencerahkan. Di situlah kekuatan sains yang sebenarnya.

Serendipitas memang paradox, ia tak bisa direncanakan, tapi bisa diciptakan kondisinya. Ia tak bisa dipaksa muncul, tapi bisa dipupuk lewat pola pikir yang terbuka, sistem yang fleksibel, dan keberanian untuk bertanya saat menemukan hal aneh dalam experiment.

Di tengah era yang semakin terdikte oleh angka, prediksi, dan efisiensi, mungkin sudah waktunya kita beri tempat bagi yang tak terduga. Karena dalam banyak hal, sains berkembang bukan karena kita tahu ke mana harus pergi, tetapi justru karena kita tersandung sesuatu yang membuat kita bertanya mengapa?.

Referensi:
  • Campa, R. (2008). Making science by serendipity. Journal of Evolution and Technology, 17. Retrieved from https://jetpress.org/v17/campa.htm
  • Ross, W., Copeland, S., & Firestein, S. (2024). Serendipity in scientific research. Journal of Trial & Error. https://doi.org/10.36850/v91j-7541
  • Pyung, S., Lee, M., Zhang, Y., & Chen, H. (2025). Serendipity in science. Carlson School of Management & Boston University.
Artikel Selengkapnya...

Perlukah Kebijakan Pembatasan Layanan VoIP?

Wacana pembatasan layanan panggilan berbasis internet (VoIP) seperti WhatsApp Call, Zoom, atau Google Meet oleh pemerintah memicu polemik publik. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyatakan, pembatasan itu dilandasi oleh kebutuhan untuk menjaga keberlangsungan investasi operator seluler yang merasa dirugikan oleh layanan Over-the-Top (OTT).

Namun demikian, pendekatan membatasi akses publik terhadap teknologi komunikasi sejatinya bukan jawaban bijak atas persoalan yang jauh lebih kompleks yakni masih adanya ketimpangan kontribusi infrastruktur dan tata kelola ekosistem digital yang belum transparan.

Perlunya Keadilan Infrastruktur atau Hak Digital

Keluhan operator bahwa OTT dianggap hanya "Menumpang Infrastruktur" dan tidak membayar sewa bukan tidak beralasan. Infrastruktur digital dibangun dengan biaya besar dan keberadaan layanan seperti WhatsApp, Telegram, atau Zoom memang mengalihkan trafik dari layanan suara dan SMS konvensional yang dahulu jadi ladang utama pendapatan operator.

Namun, patut diingat bahwa sebagian besar infrastruktur ini dibiayai oleh dana Universal Service Obligation (USO), yaitu pungutan publik dari operator dengan tujuan memastikan akses informasi yang lebih merata. Artinya, publik berkontribusi pula, secara tidak langsung. Maka, wajar jika publik menuntut agar akses digital tetap luas, merata, dan tidak dibatasi secara sepihak.

Belajar dari Negara Lain

Beberapa negara pernah menerapkan pembatasan VoIP dan sebagian besar akhirnya menuai protes publik. Uni Emirat Arab misalnya, hanya mengizinkan VoIP dari aplikasi yang dikontrol negara, seperti Botim dan ToTok. Akibatnya, ekspatriat di sana kesulitan berkomunikasi dengan keluarga, dan bisnis digital mengalami friksi.

Sebaliknya, Uni Eropa menempuh pendekatan lain. Regulasi Digital Services Act dan Digital Markets Act mewajibkan platform OTT besar seperti Meta, Google, dan Amazon untuk membayar pajak digital dan tunduk pada regulasi layanan umum, tapi tanpa membatasi akses konsumen ke teknologi dasar seperti VoIP. Di Korea Selatan, sejak 2021, penyedia OTT besar seperti Netflix dikenai kewajiban kontribusi jaringan (network usage fee), namun layanan ke publik tetap dapat diakses secara bebas. Pendekatan ini terbukti lebih berimbang, tetap menjamin hak publik atas komunikasi, namun tetap mewajibkan pemain besar ikut menanggung beban infrastruktur digital dalam skala nasional.

Menuju Regulasi Inklusif

Solusi untuk masalah ini bukanlah pelarangan atau pembatasan akses VoIP semata. Pemerintah perlu merumuskan kebijakan kontribusi OTT yang adil dan proporsional. Pemain besar dengan trafik besar bisa diminta berkontribusi lebih, sementara startup lokal dan pengguna individual tidak dibebani secara berlebihan.

Kunci keberhasilan ada pada tiga hal yakni transparansi pengelolaan dana infrastruktur, keterlibatan publik dan pakar dalam perumusan regulasi, serta keberanian untuk mengejar kesetaraan digital yang berkeadilan. Jangan sampai keinginan mengatur OTT justru melukai hak publik untuk berkomunikasi secara aman, murah, dan mudah. Alih-alih membatasi, mari atur bersama ekosistem digital kita dengan lebih bijak.
Artikel Selengkapnya...

Strategi Publikasi Jurnal Ilmiah Bereputasi dan Terindex Scopus Gratis (Free APC)

Dalam dunia akademik, publikasi ilmiah menjadi salah satu KPI atau tolak ukur penting untuk menilai kinerja dan kontribusi seorang peneliti/ dosen. Namun, di balik euforia “Publish or Perish”, para peneliti/ dosen kerap dihadapkan pada tantangan finansial yang cukup pelik yakni APC. Biaya publikasi (Article Processing Charges/APC) yang tinggi di jurnal-jurnal bereputasi kerap menjadi penghalang bagi banyak akademisi. Namun demikian, sejumlah alternatif yang “gratis/ free” atau tanpa APC sebenarnya masih tersedia, jika peneliti tahu harus mencari ke mana. Salah satu strategi yang bisa ditempuh adalah mencari jurnal open access yang terindeks di DOAJ (Directory of Open Access Journals), atau memilih jurnal hybrid dari penerbit besar seperti Elsevier, yang menyediakan opsi publikasi gratis (non-open access).

Mencari Jurnal Gratis: DOAJ dan Pilihan Hybrid

DOAJ merupakan direktori jurnal akses terbuka bereputasi yang menyediakan ribuan jurnal dari berbagai disiplin ilmu yang tidak memungut biaya APC. DOAJ secara aktif menyaring jurnal-jurnal yang terindikasi predator dan hanya mencantumkan jurnal yang lolos kriteria keterbukaan dan etika publikasi. Oleh karena itu, menelusuri DOAJ dan menyaring jurnal sesuai bidang masing-masing menjadi langkah strategis yang sangat penting bagi peneliti/ dosen.

Di sisi lain, beberapa penerbit besar seperti Elsevier, Springer, Wiley, dan Taylor & Francis juga menawarkan “Jurnal Hybrid”. Ini berarti, penulis dapat memilih untuk menerbitkan artikel mereka secara open access dengan membayar APC, atau secara tertutup (closed access) tanpa APC. Meskipun pilihan “Gratis” ini sangat menarik, namun ada implikasi penting yang harus menjadi bahan pertimbangan:
  1. Artikel tidak open access biasanya hanya dapat diakses oleh pengguna institusi berlangganan.
  2. Jumlah pembaca cenderung terbatas, karena akses dibatasi.
  3. Peluang jurnal untuk disitasi menjadi lebih kecil, karena pembaca yang tidak memiliki akses dan tidak bisa membaca secara langsung.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa artikel open access memiliki peluang atau probabilitas lebih tinggi untuk disitasi. Piwowar et al. (2018), pernah melakukan sebuah studi terhadap lebih dari 300.000 artikel ilmiah, yang menunjukkan bahwa artikel open access memiliki rata-rata 18% lebih banyak sitasi dibandingkan artikel yang bukan open access.

Kekurangan dan Kelebihan Publikasi Gratis/ Free APC

Kelebihan:
  • Tidak membebani peneliti dengan biaya APC yang mahal.
  • Dapat digunakan sebagai batu loncatan awal, terutama bagi peneliti muda/ pemula.
  • Legal dan etis selama diterbitkan di jurnal yang kredibel dan bereputasi.
Kekurangan:
  • Visibilitas artikel lebih rendah, terutama jika tidak open access.
  • Distribusi terbatas, karena hanya dapat diakses oleh komunitas terbatas.
  • Peluang disitasi juga berkurang, yang bisa memengaruhi jejak akademik seorang penulis dalam jangka panjang.
  • Beberapa jurnal yang menawarkan publikasi gratis sering kali memiliki waktu review lebih lama.
Oleh karena itu, pemilihan jurnal bukan hanya soal "gratis atau berbayar", tetapi juga perlu pertimbangan lain terkait strategi komunikasi ilmiah dalam jangka panjang terkait jumlah sitasi dan nilai H-index peneliti/ dosen.

Strategi Memilih Jurnal Bereputasi

Berikut beberapa strategi untuk memaksimalkan peluang publikasi tanpa biaya namun tetap berkualitas:
  1. Gunakan DOAJ sebagai pintu utama pencarian jurnal open access gratis. Cek apakah jurnal tersebut terindeks di Scopus, Web of Science, atau SINTA jika relevan.
  2. Manfaatkan jurnal-jurnal milik asosiasi keilmuan, yang sering kali tidak memungut biaya karena biaya publikasi disubsidi organisasi/ NGO.
  3. Cek kebijakan self-archiving (green open access) dari jurnal hybrid. Beberapa jurnal Elsevier mengizinkan versi accepted manuscript diunggah ke repositori institusi.
  4. Gunakan tools seperti “Journal Finder” dari Elsevier, Springer, dan Wiley untuk menyaring jurnal berdasarkan bidang, open access policy, dan APC.

Publikasi Gratis Masih Dimungkinkan, Asal Tahu Caranya

Menerbitkan artikel secara gratis masih sangat mungkin dilakukan tanpa mengorbankan kualitas, asalkan peneliti bersedia melakukan riset terlebih dahulu terhadap jurnal yang dituju. Platform seperti DOAJ memberikan kesempatan bagi banyak peneliti untuk tetap berkontribusi dalam dunia akademik secara global tanpa hambatan finansial dari APC. Namun, penting juga untuk menyadari bahwa publikasi yang tidak open access memiliki keterbatasan dalam hal keterbacaan dan peluang sitasi yang kecil.

Kunci sukses dalam publikasi bukan hanya menemukan jurnal yang gratis, tetapi juga memastikan jurnal tersebut bereputasi, sesuai scope bidang kita, dan menjangkau audiens yang tepat. Pada akhirnya, publikasi ilmiah bukanlah sekadar output, tetapi merupakan bagian dari dialog akademik yang lebih luas. Dan dalam dialog itu, keterbacaan dan dampak menjadi faktor yang tak boleh diabaikan.

Referensi:
  • Piwowar, H., Priem, J., Larivière, V., et al. (2018). The state of OA: a large-scale analysis of the prevalence and impact of Open Access articles. PeerJ, 6:e4375. https://doi.org/10.7717/peerj.4375
  • DOAJ. (2024). Directory of Open Access Journals. https://doaj.org
  • Elsevier. (2024). Open Access Options. https://www.elsevier.com/about/open-science/open-access
Artikel Selengkapnya...

Mengapa Jurnal Terindex Scopus Discontinue?

Dalam dunia akademik, Scopus telah menjadi salah satu acuan basis data sitasi terbesar dan paling bergengsi yang digunakan oleh para peneliti, dosen, dan lembaga riset di seluruh dunia. Namun, tidak semua jurnal yang semula terindeks di Scopus dapat bertahan lama. Setiap tahun, sejumlah jurnal terpaksa dihentikan atau dihapus dari daftar indexsasi Scopus (discontinue). Fenomena ini memunculkan banyak pertanyaan: mengapa hal ini bisa terjadi? Apa yang menjadi penyebab jurnal-jurnal tersebut discontinue, dan apa implikasinya bagi penulis dan komunitas masyarakat ilmiah?

Standar Seleksi yang Ketat di dalam Indexsasi Scopus

Scopus tidak hanya berperan sebagai pengindeks karya ilmiah, tetapi juga sebagai penjaga kualitas literatur akademik global. Sejak tahun 2009, Scopus membentuk Content Selection & Advisory Board (CSAB), yakni dewan independen yang bertugas menyeleksi dan meninjau jurnal-jurnal yang masuk ke dalam database mereka. Dewan ini bertanggung jawab menjaga agar hanya jurnal berkualitas saja yang dapat diakses pengguna Scopus (Quvae, 2023). Dengan demikian, proses seleksi jurnal Scopus bukanlah proses yang dilakukan dari evaluasi satu kali saja. Setiap jurnal diawasi dan dinilai secara berkala untuk memastikan tetap mematuhi standar yang ditetapkan oleh Scopus.

Alasan Jurnal Dihapus dari Database Scopus

Berdasarkan informasi dari web Quvae (2023) dan sumber pendukung lain, terdapat empat alasan utama utama mengapa jurnal dapat discontinue dari indexsasi Scopus:

1️. Publication Concerns (Masalah pada Proses Penerbitan)

Jurnal dapat dihapus dari list database Scopus jika ditemukan adanya kekeliruan serius dalam proses editorial, seperti lemahnya sistem peer review, manipulasi publikasi, atau bahkan dugaan keterlibatan dalam aktivitas paper mill (pabrikasi artikel) yang memproduksi artikel secara massal tanpa uji kualitas konten yang memadai. Praktik semacam ini merusak integritas ilmu pengetahuan dan membuat jurnal kehilangan kredibilitasnya.

2️. Under-Performance (Kinerja yang Rendah)

Kinerja jurnal diukur melalui berbagai indikator, termasuk CiteScore dan angka sitasi. Jurnal yang kinerjanya jauh di bawah standar sesuai scope bidangnya (misalnya jurnal dengan skor sitasi hanya setengah dari rata-rata bidangnya) berisiko dicoret dari indexsasi Scopus. Hal ini menunjukkan bahwa jurnal tersebut gagal memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

3️. Outlier Performance (Performa yang bersifat Anomali/ tidak wajar)

Terkadang, sebuah jurnal mengalami lonjakan publikasi atau sitasi secara tiba-tiba dalam jumlah yang tidak wajar. Peningkatan ini bisa menjadi indikator adanya manipulasi, baik dari segi sitasi silang (citation stacking) maupun penerbitan artikel dalam volume yang besar tanpa kendali mutu yang baik (proses peer review). Hal ini kerap terjadi pada jurnal yang membuka terlalu banyak edisi khusus (special issue).

4️. Continuous Curation (Kurasi Secara Berkelanjutan)

Scopus menerapkan pemantauan secara terus-menerus terhadap setiap jurnal yang deindex di databasenya. Jika sebuah jurnal menunjukkan penurunan mutu secara konsisten, misalnya dalam hal integritas editorial, kualitas artikel, atau proses peer review, maka jurnal tersebut dapat dihapus dari indeks. Kurasi ini menjadi bentuk tanggung jawab Scopus untuk menjaga kualitas ekosistem ilmiah (Quvae, 2023).

Praktik dan Ancaman Paper Mill (Pabrikasi Artikel Jurnal)

Salah satu tantangan terbesar dalam dunia penerbitan ilmiah saat ini adalah maraknya praktik paper mill. Paper mill merupakan pihak yang memproduksi artikel ilmiah secara massal dengan kualitas rendah atau bahkan hasil fabrikasi, hanya demi keuntungan finansial dari APC yang mereka adakan. Jurnal-jurnal yang terjebak bekerja sama dengan pihak semacam ini biasanya kehilangan kontrol atas mutu artikel yang mereka terbitkan. Akibatnya, Scopus terpaksa mengambil tindakan tegas dengan menghentikan pengindeksan jurnal tersebut (Elsevier, 2021).

Dampak Penghapusan Indexsasi Scopus bagi Penulis (Peneliti maupun Dosen)

Banyak penulis merasa cemas ketika jurnal tempat mereka menerbitkan artikel dicoret dari Scopus. Namun penting untuk dipahami, penghapusan ini hanya berlaku ke depan (tidak berlaku surut). Artinya, artikel yang sudah terbit sebelumnya tetap terindeks dan dapat disitasi. Validitas dan keberlakuan artikel tersebut sebagai karya ilmiah tidak dibatalkan. Penulis hanya perlu lebih berhati-hati dalam memilih jurnal untuk publikasi berikutnya (Elsevier, 2021; Quvae, 2023).

Pentingnya Arsip dan Transparansi Publikasi

Fenomena penghapusan jurnal ini juga menegaskan pentingnya keberadaan sistem arsip digital seperti CLOCKSS atau Portico. Jurnal yang tidak memiliki mekanisme arsip publik berisiko hilang ketika dicabut dari database pengindeks Scopus. Hal ini tentu berbahaya bagi keberlanjutan akses ilmu pengetahuan, terutama bagi penulis dan pembaca yang ingin mengakses artikel-artikel lama dari Jurnal tersebut.

Pentingnya Menjaga Integritas Ilmu Pengetahuan

Penghapusan jurnal dari indexsasi Scopus seharusnya menjadi cermin bagi semua pihak, baik penerbit, editor, maupun penulis. Dunia akademik harus selalu menjunjung tinggi integritas, transparansi, dan mutu dalam setiap publikasi ilmiah. Bagi para penulis, bijaklah dalam memilih jurnal dengan memastikan kredibilitas dan rekam jejaknya. Sementara bagi penerbit, penting untuk senantiasa menjaga proses editorial yang jujur, profesional, dan sesuai standar. Dengan demikian, marwah publikasi ilmiah dapat tetap terjaga demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Referensi:
  • Quvae. (2023). Understanding Why Journals Are Discontinued from Scopus. https://www.quvae.com/blog/understanding-why-journals-are-discontinued-from-scopus
  • Elsevier. (2021). Scopus Content Coverage Guide. https://www.elsevier.com/solutions/scopus/how-scopus-works/content
  • Scopus. (2021). Title evaluation process. https://www.elsevier.com/solutions/scopus/how-scopus-works/content/content-policy-and-selection
Artikel Selengkapnya...

Indonesia Negeri Paling Dermawan, Perlukah Tata Kelola Pengumpulan Donasi?

Baru-baru ini, Charities Aid Foundation (CAF) kembali menempatkan Indonesia di peringkat nomor satu dalam World Giving Index (WGI) 2024. Prestasi ini tentu membanggakan. Indonesia tercatat sebagai “negara paling dermawan di dunia”, mengungguli negara-negara maju dan kaya seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Emirat Arab, hingga Arab Saudi.

Namun, ketika euforia ini menyeruak, muncul juga pertanyaan kritis: kok bisa? Bukankah ekonomi Indonesia belum sekuat negara-negara Barat atau Timur Tengah? Apakah dermawan kita benar-benar setulus itu, atau ada sisi lain yang perlu dicermati?

Dermawan karena Partisipasi, Bukan Jumlah

Perlu diketahui, bahwa variable WGI tak mengukur seberapa besar total donasi yang terkumpul di sebuah negara. Indeks ini menilai dari tingkat partisipasi masyarakat dalam aksi memberi: membantu orang asing, berdonasi uang, dan menjadi relawan.

Di Indonesia, partisipasi itu sangat tinggi:
·         9 dari 10 orang dewasa pernah berdonasi.
·         Hampir 7 dari 10 orang membantu orang asing.
·         Sekitar 6 dari 10 orang terlibat dalam kegiatan sukarela.

Inilah wajah Indonesia yang penuh empati. Budaya gotong royong dan solidaritas memang telah mendarah daging dalam kehidupan kita.

Sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya berbagi, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 261)
Dan sabda Rasulullah -Shallallahu ’alaihi wasallam-:
"Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah yang memberi, dan tangan di bawah adalah yang meminta." (HR. Bukhari dan Muslim)
Celah Penyelewengan di Era Sosial Media

Namun, fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa kedermawanan tanpa sistem pengawasan yang kuat bisa menjadi ladang subur bagi penipuan berkedok donasi. Di banyak negara maju, setiap lembaga penggalang dana wajib terdaftar resmi, laporan keuangannya diaudit, dan diawasi ketat untuk mencegah penyalahgunaan. Di Indonesia, pengawasan semacam ini masih lemah. Siapa saja bisa dengan mudah menggalang dana, bahkan hanya bermodal media sosial.

Kasus pasangan selebgram muslim mualaf di Inggris beberapa tahun silam menjadi contoh nyata, bagaimana kedermawanan publik bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Pasangan ini tampil seolah pasangan muslim yang taat: sang wanita berhijab, sang pria bersorban dan berjenggot, dan keduanya rajin mempublikasikan aktivitas keagamaan mereka, mulai dari sholat jamaah bersama keluarga hingga kegiatan pengajian bersama. Dengan citra islami yang mereka publikasikan, mereka berhasil menggaet banyak pengikut dari kalangan muslim semi-liberal di Inggris.

Dari ketenaran itu, mereka menggalang donasi hingga ratusan ribu poundsterling, yang konon diperuntukkan untuk muslim Rohingya, korban banjir di India, dan lainnya. Namun, dugaan kehidupan ganda mereka terbongkar saat netizen menemukan foto-foto yang menunjukkan gaya hidup mewah mereka di “second account” Instagram mereka. Tak hanya itu, muncul pula dugaan penyalahgunaan dana donasi yang berbuntut pembekuan dana tersebut oleh pihak berwenang.

Pelajaran penting dari kasus ini: bukan atribut agamanya yang salah, bukan hijabnya, bukan sorban atau jenggotnya. Yang keliru adalah orang-orang yang menjadikan agama sebagai komoditas dagangan untuk meraih keuntungan pribadi. Sosial media menjadi wahana subur untuk itu. Karena itulah kita, sebagai masyarakat, perlu lebih waspada dan menggunakan akal sehat dalam setiap interaksi digital kita.

Di sinilah pentingnya kita mengingat peringatan Nabi -Shallallahu ’alaihi wasallam-:
"Barang siapa menipu, maka ia bukan termasuk golonganku." (HR. Muslim)
Sungguh celaka orang yang menjadikan agama sebagai komoditas untuk meraih keuntungan pribadi.

Saatnya Tata Kelola Donasi Lebih Baik

Prestasi Indonesia di WGI 2024 sepatutnya menjadi momen refleksi: budaya berbagi harus diimbangi dengan budaya akuntabilitas. Pemerintah bersama lembaga-lembaga seperti BAZNAS, Kemenag, OJK, dan aparat penegak hukum harus memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap aktivitas penggalangan dana. Laporan keuangan harus transparan, audit wajib dilakukan, dan masyarakat harus lebih kritis sebelum menyalurkan donasi.

Sesuai dengan perintah Allah -Subhanahu wa ta'ala-agar amanah dijaga dengan baik:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil..." (QS. An-Nisa: 58)
Jangan sampai, karena ulah segelintir oknum, kepercayaan masyarakat pada aksi sosial justru runtuh. Jangan pula semangat berbagi kita tercoreng hanya karena kita lengah membedakan mana derma sejati dan mana tipu daya berkedok amal.

Kedermawanan adalah aset moral bangsa. Agar tetap mulia, ia harus dilandasi kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab. Di era digital, di mana penggalangan dana begitu mudah dilakukan, mari kita saling mengingatkan untuk berbagi dengan hati bersih dan akal yang sehat.
Artikel Selengkapnya...

Parkirologi, Jurusan Baru yang Gajinya Bisa Mengalahkan Lulusan S2 & S3

Yogyakarta kembali bikin geger, bukan karena demo mahasiswa atau konser Sheila on 7, tapi karena eksperimen seorang mahasiswa yang banting setir jadi tukang parkir selama seminggu. Hasilnya mengejutkan. Rp 2,5 juta cair, cash, tanpa revisi, tanpa skripsi, dan yang paling penting: tanpa tanda tangan dosen pembimbing.

“Wkwkwkwk... Ngalahin gaji dosen lulusan S2-S3 di kampus Jogja yg masih level Asisten Ahli!” tulis netizen, setengah ngakak setengah nangis. Ironis? Tentu. Kocak? Jelas. Miris? Sangat.

Coba bayangkan, seorang dosen yang kuliah bertahun-tahun, melewati badai tesis, publikasi dan disertasi, cuma dibayar seadanya. Sementara mahasiswa yang biasa ngopi di angkringan dan nugas mepet deadline, tiba-tiba bisa ngalahin slip gaji dosennya cuma dengan rompi oranye dan peluit. Kalau ini bukan plot twist hidup, entah apa lagi namanya.

Mungkin sudah saatnya universitas membuka jurusan baru: Parkirologi Terapan. Kurikulumnya simpel:

·         Semester 1: Teknik Peluit dan Bahasa Tubuh
·         Semester 2: Manajemen Uang Receh dan Strategi "Mas, Parkirnya 2 ribu Ya"
·         Semester 3: Etika Menunduk Saat Dikasih Uang
·         Semester 4: Magang di Pasar, Mall, Mie Gacoan dan Warung Kopi Hits

Lulusannya dijamin cepat kerja, tidak terikat jam kerja, dan bebas skripsi. Bandingkan dengan mahasiswa jurusan sastra atau fisipol yang lulusannya kadang masih bingung antara idealisme dan isi dompet.

Tapi jangan salah, ini bukan ajakan untuk menyerah pada dunia akademik. Pendidikan tetap penting, Lik! Minimal buat ngerti kalau uang Rp 2.500.000 seminggu itu berarti Rp 10 juta sebulan. Cuma, eksperimen ini bikin kita bertanya: kenapa yang berkeringat & harus mikir malah kalah sama yang berkeringat ngatur motor?

Mungkin jawabannya sederhana: di Indonesia, gelar bukan jaminan sejahtera, tapi parkir bisa. Dua ribumu tidak akan membuatmu miskin, tapi bisa membuat mereka kaya raya

Artikel Selengkapnya...

Jurnal Predator: Ancaman Bagi Integritas Publikasi Ilmiah

Dalam era perkembangan pesat publikasi ilmiah jurnal berbasis open access, hadir fenomena mengkhawatirkan berupa predatory journals atau jurnal predator. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Jeffrey Beall, seorang pustakawan dari University of Colorado Amerika Serikat, untuk menyebut penerbit yang mengeksploitasi skema open access demi keuntungan pribadi semata, dengan mengorbankan integritas ilmiah dan etika publikasi. Elmore dan Weston (2020) dalam Brief Communication di jurnal Toxicologic Pathology memberikan penjelasan yang cukup komprehensif bagi para penulis agar dapat mengenali dan menghindari jebakan dari jurnal predator.

Ciri-Ciri Jurnal Predator

Jurnal predator sekilas terlihat sekan-akan seperti jurnal ilmiah yang bereputasi, namun sejatinya menjalankan praktik yang tidak etis. Beberapa ciri utama dari jurnal predator diantaranya:

  • Tidak ada review jurnal atau jika mengklaim adanya peer review, tidak dilakukan secara benar atau hanya formalitas semata.
  • Memasang metrik seperti impact factor palsu yang tak dapat diverifikasi.
  • Menawarkan janji publikasi dalam waktu sangat cepat dan tidak realistis (hitungan hari dan minggu).
  • Menerima artikel apa pun selama penulis membayar, tanpa memperhatikan mutu konten atau relevansinya dalam dunia akademik.
  • Mencantumkan dewan editor palsu atau tanpa izin mereka.
  • Menggunakan nama atau situs yang mirip dengan jurnal ternama.
  • Kurang transparan soal biaya publikasi (article processing charge, APC) hingga penulis terjebak membayar mahal tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya.

Dampak Negatif Publikasi di Jurnal Predator

Publikasi di jurnal predator memiliki konsekuensi serius, antara lain:

  1. Merusak kualitas komunikasi ilmiah: Artikel bermutu rendah atau bahkan menyalahi metodologi ilmiah dapat lolos tanpa tinjauan dari pakar secara obyektif (blind review), sehingga berisiko menyebarkan informasi yang salah dan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan.
  2. Mengurangi visibilitas dan dampak riset: Jurnal predator jarang diindeks di basis data bereputasi seperti WOS atau SCImago. Akibatnya, karya penulis sulit ditemukan dan jarang dikutip oleh peneliti lainnya.
  3. Kerugian finansial dan kehilangan karya: Penulis harus membayar APC dengan biaya tinggi, namun artikel bisa dipublikasikan tanpa persetujuan (tanpa proses Galley Proof) terlebih dahulu atau bahkan artikel dapat terhapus dari database tanpa pemberitahuan kepada penulis, sehingga sulit diterbitkan ulang di jurnal lain.

Strategi Menghindari Jurnal Predator

Beberapa langkah praktis yang dapat kita lakukan untuk menghindari Jurnal Predator, di antaranya:

  • Periksa penulisan dan tata bahasa di archive situs jurnal tersebut; banyaknya kesalahan typo pada paper bisa menjadi indikator adanya penipuan.
  • Pastikan proses peer review dan biaya publikasi tercantum dengan jelas di website jurnal.
  • Cek apakah jurnal terindeks di database kredibel seperti WOS atau SCImago.
  • Verifikasi keanggotaan jurnal di organisasi etika publikasi seperti COPE, DOAJ, atau OASPA.
  • Manfaatkan alat bantu seperti Think. Check. Submit. untuk menilai kredibilitas jurnal.

Jurnal predator merupakan ancaman nyata bagi dunia akademik karena dapat menggerus kepercayaan publik terhadap publikasi ilmiah. Oleh sebab itu, penting bagi dosen dan peneliti untuk bersikap kritis, teliti, dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia guna memastikan jurnal yang dituju benar-benar bereputasi. Dengan begitu, integritas ilmiah tetap terjaga, dan upaya riset yang dilakukan dapat memberikan kontribusi nyata bagi ilmu pengetahuan.

Referensi:
Elmore SA, Weston EH. Predatory Journals: What They Are and How to Avoid Them. Toxicologic Pathology. 2020; 48 (4):607-610. doi:10.1177/ 0192623320920209

Artikel Selengkapnya...

Di Tengah Minimnya Dana Riset, Publikasi Ilmiah Indonesia Tembus Peringkat 37 Dunia versi Scimago

Jika kita membuka laman Scimago Journal & Country Rank, sebuah portal website berbasis data dari publikasi Scopus yang mengukur produktivitas ilmiah tiap negara, maka kita akan melihat bahwa dominasi Amerika Serikat masih sangat kuat. Jumlah publikasi ilmiah dari Negeri Paman Sam jauh melampaui negara lain. Namun, China dengan laju eksponensialnya kini menduduki peringkat kedua dan diprediksi akan segera menyalip AS dalam waktu dekat.

Di tengah hegemoni dua raksasa tersebut, posisi Indonesia ternyata cukup mengejutkan: kita berada di peringkat ke-37 dunia dalam output artikel jurnal ilmiah. Dalam konteks ini, Indonesia cukup unggul dari beberapa negara berkembang lainnya, bahkan dari sebagian negara yang cukup maju seperti New Zealand, Irlandia, bahkan Argentina. Di satu sisi, ini layak kita syukuri dan banggakan. Di sisi lain, hal ini menunjukkan adanya potensi besar yang kita miliki, jika para periset (kampus dan lembaga penelitian) didukung dengan kebijakan yang berpihak pada dunia sains & teknologi.

Bandingkan dengan peringkat Indonesia di FIFA yang sayangnya masih di kisaran 130-an dunia. Maka bisa dibilang, peringkat ilmiah kita di dunia jauh lebih “Kompetitif” dibanding peringkat sepakbola kita. Tentu, membandingkan keduanya mungkin seperti membandingkan apel dan jeruk, tapi ini menjadi cermin menarik, di bidang yang sering dipandang sepi, dan kurang menarik secara politik, kita justru tampil lebih baik.

Ketimpangan Dana dan Output Riset

Namun, mari kita bicara tentang satu hal yang sangat penting tapi sering luput dari perhatian: yakni tentang dana riset. Negara-negara dengan output jurnal tinggi memang umumnya memiliki investasi besar di bidang R&D (Research and Development). Berikut adalah perbandingan dana riset dari beberapa negara versi UNESCO dan OECD, 2023:

Negara

% PDB untuk R&D

Jumlah Publikasi (Scimago)

Amerika Serikat

3,45%

>1.200.000 artikel

China

2,55%

>1.000.000 artikel

Korea Selatan

4,81%

~350.000 artikel

Jepang

3,26%

~400.000 artikel

Jerman

3,14%

~450.000 artikel

Indonesia

0,24%

~31.000 artikel


Data ini menunjukkan bahwa output riset Indonesia sebenarnya tidak jelek-jelek amat jika dibandingkan dengan skala investasinya yang masih "ala kadarnya". Dengan anggaran hanya sekitar 0,24% dari PDB, hasil publikasi kita bisa dibilang cukup efisien. Namun, efisiensi ini tidak bisa terus-menerus diandalkan tanpa peningkatan kualitas dan infrastruktur yang memadai.

Pentingnya Menjadikan Riset sebagai Prioritas Bangsa

Riset bukanlah kemewahan. Ia adalah fondasi sebuah negara. Negara-negara yang mampu mengembangkan teknologi sendiri, menciptakan solusi atas masalah internal, dan membentuk kemandirian intelektual adalah negara yang mampu bertahan dalam jangka panjang. Riset adalah jalur menuju kedaulatan pangan, energi, kesehatan, hingga pertahanan dan keamanan.

Sebagai contoh, Vietnam, yang kini mulai menyalip Indonesia dalam beberapa indikator riset, telah menjadikan science and technology sebagai bagian dari strategi nasional. Mereka memahami bahwa pertumbuhan ekonomi dan daya saing global tak mungkin berkelanjutan tanpa fondasi riset yang kuat.

Indonesia pun harus mulai bergerak ke arah yang sama. Laboratorium yang memadai, sistem insentif bagi peneliti, kolaborasi antara kampus dan industri, serta keterbukaan akses terhadap data dan pendanaan harus diperbaiki secara sistemik. Dana riset bukan hanya soal anggaran, tapi soal visi dan misi jangka panjang.

Jika kita bisa bangga dengan peringkat ilmiah Indonesia di Scimago, maka itu adalah sinyal bahwa kita sebenarnya punya potensi besar. Tapi potensi saja tidaklah cukup. Tanpa dukungan ruang fiskal dan struktural yang kuat, potensi itu akan stagnan atau justru ditinggal negara lain. Maka, sudah saatnya riset menjadi prioritas nasional, bukan sekadar pelengkap visi misi saat musim kampanye.

Dan jika ada yang berkata, "Indonesia hanya jago bikin paper tapi aplikasinya mana?", maka jawabannya justru ada di sana: perbaiki jembatan antara riset dan implementasinya. Bangsa besar tidak lahir dari retorika, tapi dari kerja sunyi para ilmuwan yang diberi ruang untuk tumbuh dan berkarya.
Artikel Selengkapnya...
 
Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia