Mengapa Orang Kaya Lebih Mudah Diterima di Masyarakat?

Dalam dinamika sosial masyarakat modern, sering kali kita melihat fenomena bahwa orang kaya lebih mudah diterima, disukai, dan dihormati dalam lingkungan sosial dibandingkan dengan orang miskin. Realita ini bukan hanya soal persepsi, tetapi juga berkaitan dengan kemampuan ekonomi yang memengaruhi cara seseorang membangun dan menjaga relasi sosial.

Orang kaya memiliki kelebihan dalam akses dan sumber daya yang membuat mereka lebih mudah diterima di berbagai kalangan. Mereka mampu mentraktir teman, memberi hadiah, mengundang untuk makan malam di restoran, atau bahkan membiayai acara kebersamaan yang mempererat hubungan sosial. Tindakan-tindakan ini tidak hanya dinilai sebagai kebaikan, tetapi juga membentuk citra sebagai pribadi yang dermawan dan menyenangkan. Sebaliknya, orang miskin sering kali tak memiliki kemampuan serupa. Bukan berarti mereka tidak ingin berbagi atau menjalin relasi, namun keterbatasan finansial kerap membuat mereka tampak pasif atau bahkan terkesan “menumpang” dalam pergaulan.

Dalam urusan menjaga silaturahmi, orang kaya pun memiliki keunggulan. Mereka bisa dengan mudah membeli tiket pesawat dan hadir di acara pernikahan, reuni, atau syukuran kolega yang tinggal nun jauh disana. Mereka dapat membawa oleh-oleh, hadiah, bahkan ikut memberikan sumbangan dalam acara tersebut. Keberadaan mereka dianggap sebagai bentuk perhatian yang tinggi. Bandingkan dengan orang miskin yang harus berpikir dua kali, bahkan untuk sekadar membeli tiket untuk biaya transportasi. Kadang bukan tidak mau datang, namun karena tidak mampu.

Relasi sosial juga sering dilihat dari kemampuan untuk memberi dukungan dalam beberapa momen penting para kolega. Ketika teman atau kolega diwisuda, membuka usaha, atau naik jabatan, orang kaya bisa mengirimkan bucket bunga, bingkisan, atau bahkan karangan bunga. Ini menjadi bentuk simbolis dari penghargaan dan dukungan. Orang miskin mungkin hanya bisa memberi ucapan lewat pesan singkat via WA atau komen di media sosial, mungkin niatnya tulus, namun sering kali tak dianggap setara dalam ekspresi sosial di masyarakat.

Kemampuan mobilitas juga menjadi faktor penting. Orang kaya bisa menjemput teman dari bandara atau stasiun menggunakan mobil pribadi yang nyaman. Mereka bisa menjadi tuan rumah yang baik dalam berbagai kesempatan. Sementara orang miskin? Kalaupun menjemput, mungkin hanya bisa naik motor, atau bahkan sepeda yang walau bermakna, tetap saja dianggap “kurang pantas” dalam norma sosial masyarakat hedonis.

Inilah mengapa masyarakat kita cenderung lebih "menerima" keberadaan orang kaya. Bukan semata karena kekayaan itu sendiri, tapi karena kekayaan memberi alat dan peluang untuk memperkuat relasi sosial secara nyata. Dalam masyarakat yang sering kali menilai bentuk perhatian dari besaran nilai materi, orang kaya memang punya “amunisi” lebih.

Lalu, apakah artinya orang miskin tidak punya solusi? Tentu ada. Salah satunya adalah memperkuat kualitas diri dan kehadiran yang tulus. Kejujuran, empati, kerja keras, dan integritas masih memiliki nilai tinggi dalam relasi sosial yang sehat. Selain itu, membangun jejaring dan meningkatkan pendidikan serta keterampilan bisa menjadi jembatan untuk memperluas peluang, termasuk didalamnya peluang ekonomi dan relasi. Tidak harus kaya raya, tetapi cukup agar mampu menjalin hubungan sosial yang setara dan bermakna.

Pada akhirnya, masyarakat perlu belajar untuk menilai seseorang tidak hanya dari apa yang bisa ia berikan secara materi, tapi juga dari kualitas kepribadian dan ketulusan relasi. Namun, tak bisa dimungkiri: dalam realitas sosial yang ada hari ini, orang kaya memang lebih mudah diterima karena mereka punya lebih banyak cara untuk hadir, memberi, dan menunjukkan perhatian.
Artikel Selengkapnya...

Benarkah Buku lebih Berdampak Nyata Daripada Jurnal Ilmiah?

Memang benar bahwa beberapa ilmuwan besar khususnya di bidang Humaniora dan Ilmu Sosial (HSS) lebih dikenal luas melalui karya-karya bukunya yang berdampak bagi masyarakat luas daripada publikasi jurnalnya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa dinamika akademik saat ini telah berkembang, dan publikasi di jurnal bereputasi termasuk jurnal terindex Scopus & WOS Q1-Q4 juga memainkan peran penting dalam pengakuan karya ilmiah dan penyebaran ilmu pengetahuan.

1. Buku dan jurnal memiliki fungsi yang berbeda namun saling melengkapi. Buku seringkali digunakan untuk menyampaikan argumen yang kompleks dan menyeluruh, sementara jurnal memungkinkan penyebaran temuan terkini atau ide gagasan dalam bentuk yang lebih ringkas dan sistematis serta dapat diuji secara peer-review.

2. Kualitas jurnal mencerminkan standar ilmiah. Untuk bisa menerbitkan jurnal bereputasi (Terindex Scopus maupun WOS Q1-Q4) maka perlu menjalani proses review yang sangat ketat. Artikel yang diterbitkan di dalamnya seringkali menjadi rujukan utama dalam pengembangan teori dan metodologi ilmiah, khususnya dalam konteks global. Karya ini juga menjadi tolok ukur objektif untuk menilai kualitas sebuah karya ilmiah.

3. Publikasi jurnal ilmiah memperluas jangkauan pengaruh. Seringkali buku memiliki jangkauan yang terbatas pada kalangan tertentu atau bahasa tertentu, sedangkan jurnal internasional yang bereputasi dapat menjangkau komunitas akademik secara global dan berkontribusi pada diskusi ilmiah para ilmuwan secara internasional.

4. Perubahan ekosistem akademik. Di banyak negara, termasuk Indonesia, sistem penilaian akademik kini menekankan pentingnya publikasi jurnal bereputasi untuk mendorong adanya transparansi, akuntabilitas, dan standarisasi kualitas karya tulis ilmiah. Hal ini bukan berarti mengabaikan pentingnya buku, namun hal ini dapat menciptakan equilibrium baru antara dua bentuk publikasi dengan format berbeda.

5. Banyak ilmuwan besar juga aktif menulis di jurnal. Jika kita menelusuri rekam jejak beberapa ilmuwan terkemuka saat ini, mereka tidak hanya menulis beberapa buku monumental, namun juga aktif mempublikasikan artikel di jurnal akademik sebagai bagian dari proses aktualisasi karya intelektual mereka.

Narasi yang menyatakan bahwa "ilmuwan hebat hanya akan dikenal lewat buku" kurang tepat dalam konteks akademik modern. Buku sangat penting, tetapi jurnal ilmiah juga krusial. Keduanya adalah medium intelektual yang valid dan perlu dipahami dalam konteksnya masing-masing.
Artikel Selengkapnya...

Ghana Hentikan Penyalahgunaan Gelar Kehormatan (Honoris causa): Bagaimana dengan Konoha?

Baru-baru ini, Ghana membuat gebrakan di bidang akademis yang layak untuk diapresiasi dan diteladani oleh negara lain, termasuk juga negri Konoha. Melalui Komisi Pendidikan Tinggi Ghana atau “Ghana Tertiary Education Commission” (GTEC), negara tersebut secara resmi melarang adanya penggunaan gelar Doktor dan Profesor kehormatan (Honoris causa) oleh pejabat publik, termasuk didalamnya para politisi, pebisnis, dan tokoh agama. Langkah ini tidak hanya bersifat simbolik, namun juga secara substansial melindungi integritas akademik dan etika pejabat publik.

Mengutip pernyataan resmi GTEC yang dilansir Premium Times Nigeria (edisi 3 Juni 2025), penggunaan gelar kehormatan oleh pejabat publik dinilai “tidak etis dan menyesatkan”, serta berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan. Komisi tersebut menegaskan akan mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang melanggar, dan akan menyebutkan nama pelanggar secara terbuka di media name and shame.

Mengapa Langkah Kenapa Ini Penting?

Pertama, penggunaan gelar kehormatan secara tidak tepat adalah sebuah tindakan yang tidak etis. Gelar akademik seharusnya mencerminkan kerja keras intelektual, penelitian, dan kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan. Ketika gelar diberikan hanya karena posisi, kekuatan finansial, atau popularitas, maka nilainya akan merosot dan mencederai para akademisi.

Kedua, penyalahgunaan gelar honoris causa dapat menyesatkan publik. Tidak semua kalangan memahami perbedaan antara gelar akademik secara resmi dan gelar kehormatan. Seorang pejabat publik yang mencantumkan gelar “Dr.” atau “Prof.” di depan namanya dengan bebas di media dan dalam setiap dokumen negara dapat menciptakan ilusi kompetensi akademik yang sebenarnya tidak dimilikinya.

Ketiga, praktik ini membuka ruang terjadinya praktek jual-beli ijazah/ gelar. Dalam banyak kasus, gelar kehormatan diberikan oleh institusi tidak jelas atau bahkan universitas abal-abal (degree mills) dengan imbalan sejumlah uang. GTEC dalam pernyataannya menyebut fenomena ini sebagai ancaman nyata terhadap sistem pendidikan.

Terakhir, gelar kehormatan sering dipakai untuk politik praktis. Mereka yang tengah mencalonkan diri sebagai pejabat atau ingin memperluas pengaruh sosial kerap menyematkan gelar semu demi meningkatkan legitimasi. Ini adalah bentuk manipulasi simbolik yang sangat merugikan.

Layakkah Konoha Mencontoh?

Pertanyaan yang harus kita renungkan adalah: apakah kita juga berani membersihkan praktik serupa di negeri ini? Kita tak jarang melihat politisi memakai gelar kehormatan di baliho, surat resmi, dan panggung kampanye. Sering kali gelar itu berasal dari institusi yang tidak jelas atau bahkan universitas tanpa akreditasi.

Sudah waktunya lembaga-lembaga seperti Kementerian Pendidikan, BAN-PT, dan asosiasi para akademisi mengambil sikap. Jika Ghana –salah satu negara berkembang di Afrika- saja berani mengambil langkah tegas, mengapa Konoha belum?

Pelarangan pemberian gelar Honoris causa semacam ini bukan berarti menghapus penghargaan. Tapi gelar kehormatan seharusnya diberikan secara tertutup dan simbolis, bukan ditampilkan di kartu nama atau surat dinas. Ini demi menjaga makna pendidikan dan menghindari penyalahgunaan simbol akademik untuk kepentingan pribadi.

Ghana telah memberi pelajaran penting bahwa gelar Dr dan Prof bukanlah gelar yang menempel pada papan nama, melainkan simbol pencapaian dan integritas di bidang Ilmu Pengetahuan. Penyalahgunaan gelar oleh oknum pejabat publik adalah bentuk manipulasi akademik. Mari kita dorong agar negri ini mengikuti jejak langkah yang sama, demi publik yang lebih cerdas, dan pejabat yang lebih berintigritas.

Referensi:
  • Premium Times Nigeria. (3 Juni 2025). Ghana bans honorary doctorate, professor titles by public officials.
  • Legit.ng. (4 Juni 2025). Public officials banned from using honorary titles in Ghana.
  • GTEC Official Statement via GhanaWeb (31 Mei 2025).
Artikel Selengkapnya...

Politik dan Panggung Kehidupan: Ketika Politisi Berperan Sebagai Aktor

Ada satu hal yang sering kali luput dari kesadaran publik, bahkan dalam masyarakat yang mengaku melek politik sekalipun, bahwa sebagian besar politisi pada hakikatnya adalah seorang Aktor”. Mereka tampil di hadapan publik tidak hanya sebagai politisi, tetapi juga sebagai figur yang membangun narasi, memainkan emosi, dan mempersonifikasi harapan rakyat. Politik bukan hanya tentang kebijakan dan ideologi; ia juga tentang pertunjukan. Ada aktor yang begitu meyakinkan, begitu otentik, sehingga seolah-olah pantas mendapatkan penghargaan setingkat Oscar. Ada pula aktor yang terlihat setengah hati dalam memainkan perannya, sehingga nampak canggung, dan mudah terbaca topengnya, aktor yang kedua memainkan peran secara medioker.

Sejak era digital mengubah wajah politik pada pertengahan abad ke-20, Pencitraantelah menjadi unsur penting dalam dunia politik. Seperti dalam debat calon presiden AS -Richard Nixon vs. John F. Kennedy -tahun 1960. Warga Amerika yang menonton debat lewat televisi merasa bahwa JF. Kennedy "telah menang" karena penampilannya yang terlihat meyakinkan dan penuh percaya diri, sedangkan Nixon tampak lesu, grogi dan berkeringat. Padahal isi argumen mereka nyaris sama. Peristiwa ini menjadi awal dari era politik modern di mana estetika dan retorika sering mengalahkan substansi.

Politisi -sadar atau tidak- mulai menyesuaikan diri dengan dunia yang menuntut mereka menjadi "persona publik" yang menarik. Mereka mulai menyewa konsultan media, belajar cara public speaking, serta teknik untuk membaca bahasa tubuh dari lawan bicaranya. Mereka belajar bagaimana menangis di waktu yang tepat, tersenyum di tengah cobaan, dan menyentuh bahu rakyat kecil saat kamera sedang merekam.

Ini bukan teori konspirasi, melainkan realitas dalam politik kontemporer. Seperti yang disampaikan oleh sejarawan politik Christopher Lasch dalam The Culture of Narcissism (1979), politisi modern bukan lagi pemimpin substantif, melainkan tokoh publik yang piawai membangun citra. Mereka tidak memimpin dari keyakinan, melainkan dari persepsi. Lasch bahkan menyebut mereka sebagai "performers in the age of narcissism."

Kita bisa melihat jejak narasi ini dalam berbagai peristiwa sejarah dunia. Contohnya, Benito Mussolini di Italia, seorang mantan jurnalis dan orator ulung, yang membangun citra "Manusia Super" melalui teatrikalitas yang dramatis. Atau Joseph Stalin, yang awalnya tampak sebagai pemersatu bangsa, namun lambat laun membuka topengnya sebagai diktator brutal. Bahkan tokoh seperti Aung San Suu Kyi yang dulu dipuja sebagai simbol demokrasi, belakangan mendapat kritik keras karena sikap diamnya terhadap krisis Rohingya. Semua ini menunjukkan bahwa figur bisa berubah. Topeng bisa terbuka. Sejarah penuh dengan contoh semacam ini.

Oleh karena itu, adalah wajar dan sehat jika kita menyisakan ruang untuk skeptis terhadap para politisi. Skeptisisme bukanlah sinisme. Ia bukan berarti membenci semua tokoh atau mencurigai setiap langkah mereka. Skeptisisme adalah bentuk kedewasaan berpolitik—kesadaran bahwa loyalitas seharusnya ditujukan pada nilai (value), bukan pada figur (personality). Karena nilai adalah kompas moral yang relatif stabil, sedangkan figur bisa berubah oleh waktu, godaan kekuasaan, atau kelemahan lain yang sersifat manusiawi.

Terkait dengan hal ini, George Orwell dalam novelnya Animal Farm (1945) pernah mengatakan: “All animals are equal, but some animals are more equal than others.” Politik, ketika dijalankan tanpa kontrol publik dan kesadaran nilai, mudah berubah menjadi panggung manipulasi. Figur yang semula dielu-elukan bisa menjadi simbol tirani. Yang terlihat jujur hari ini, bisa terbukti korup di esok hari.

Memahami politisi sebagai aktor bukan berarti menafikan peran penting mereka dalam demokrasi. Namun, pemahaman ini membantu kita menjaga jarak kritis dan menahan diri dari pengkultusan individu. Kita perlu menyadari bahwa politik adalah ranah penuh kepentingan, pencitraan, dan permainan persepsi. Dalam lanskap seperti ini, hanya nilai “value” yang layak kita pertahankan secara loyal.

Tetaplah mencintai keadilan, memperjuangkan kebenaran, dan bersuara untuk keadaban. Tapi jangan pernah menggantungkan harapan secara total pada figur mana pun. Karena sebagaimana sejarah telah berkali-kali mengajarkan kita: wajah-wajah politik bisa berubah, tapi nilai adalah satu-satunya jangkar yang akan tetap menuntun kita.

Wallahu a’lam.
Artikel Selengkapnya...

Inflasi Gelar Profesor: Mitos atau Kesalahpahaman?

Belakangan ini, opini publik diwarnai kekhawatiran tentang meningkatnya jumlah dosen dan peneliti bergelar profesor di Indonesia. Beberapa kalangan bahkan menyebut fenomena ini sebagai "inflasi profesor"—sebuah istilah yang menyiratkan pembengkakan status akademik tanpa peningkatan kualitas ilmiah. Namun benarkah peningkatan jumlah profesor merupakan ancaman terhadap mutu pendidikan tinggi dan lembaga penelitian?

Sebelum kita menjatuhkan vonis moral atas kebijakan negara dalam bidang akademik, ada baiknya kita merujuk pada fakta. Per April 2024, jumlah profesor di Indonesia tercatat sebanyak 9.570 orang dari sekitar 330.000 dosen aktif, atau hanya sekitar 2,9% saja1. Angka ini jauh di bawah negara-negara maju: di Jerman proporsinya 15–20%2, di Amerika Serikat 10–15%3, dan di Inggris sekitar 12%4. Maka, alih-alih menyebutnya sebagai inflasi, kita sepatutnya menyadari bahwa Indonesia justru mengalami defisit profesor.


Kenaikan jumlah profesor di beberapa tahun terakhir tak lepas dari penyederhanaan birokrasi yang selama ini menjadi penghambat utama. Misalnya, Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 dan Keputusan Mendikbudristek Nomor 649/P/2023 tentang Kriteria Penilaian Angka Kredit Jabatan Akademik, memberikan ruang lebih rasional dalam mengapresiasi karya ilmiah, kinerja tridarma, serta capaian akademik lainnya. Namun perlu ditegaskan: penyederhanaan proses bukan berarti penurunan standar.


Justru, proses pengangkatan profesor kini menjadi lebih transparan dan terukur. Syarat publikasi jurnal bereputasi tetap berlaku, dan verifikasi melalui similarity check, peer review, serta asesmen substansi karya ilmiah dilakukan secara sistemik. Dengan digitalisasi sistem (misalnya melalui aplikasi SISTER Kemendikbudristek dan E-Peneliti BRIN), mekanisme penilaian menjadi lebih akuntabel dan efisien5.


Adapun tudingan bahwa karya ilmiah profesor banyak ditulis oleh pihak lain secara tidak etis, perlu disikapi hati-hati. Tidak ada bukti sistemik dan terverifikasi yang menunjukkan adanya pelanggaran secara masif. Memang, tekanan untuk publikasi bisa menciptakan pelanggaran etis, tapi itu bukan alasan untuk mencurigai secara general seluruh capaian dosen dan peneliti yang berhasil memenuhi syarat profesor. Di negara lain pun, isu etika akademik tetap menjadi bagian dari pengawasan institusional, bukan alat untuk mendelegitimasi gelar.


Faktanya, peningkatan jumlah profesor juga dipicu oleh hadirnya berbagai program afirmatif seperti Matching Fund, Kedaireka, BIMA, dan Program World Class Professor yang mendorong kolaborasi riset internasional. Hal ini mengindikasikan bahwa negara mulai serius membenahi ekosistem riset dan publikasi ilmiah. Kinerja para dosen dan peneliti juga meningkat signifikan, terlihat dari kenaikan jumlah publikasi Indonesia di jurnal bereputasi, yang kini berada di peringkat 40 besar dunia6.


Mengaitkan kenaikan jumlah profesor dengan penurunan kualitas adalah kesimpulan prematur. Justru yang dibutuhkan saat ini adalah konsistensi evaluasi mutu dan penguatan ekosistem akademik. Profesor bukan sekadar gelar, melainkan hasil dari perjalanan panjang seorang dosen & peneliti  dalam pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Mereka layak dihargai, bukan dicurigai.


 

Referensi:

1Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), Kemendikbudristek, 2024.

2Federal Statistical Office of Germany, Academic Staff by Title, 2022.

3American Association of University Professors (AAUP), Annual Report on the Economic Status of the Profession, 2023.

4Higher Education Statistics Agency (HESA), UK, 2022.

5Kemendikbudristek, Sistem Informasi Sumberdaya Terintegrasi (SISTER), 2023.

6Scimago Journal & Country Rank, 2024 .


Artikel Selengkapnya...
 
Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia