Perlukah Kebijakan Pembatasan Layanan VoIP?

Posted on
  • Friday, July 18, 2025
  • by
  • in
  • Label: , ,
  • Wacana pembatasan layanan panggilan berbasis internet (VoIP) seperti WhatsApp Call, Zoom, atau Google Meet oleh pemerintah memicu polemik publik. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyatakan, pembatasan itu dilandasi oleh kebutuhan untuk menjaga keberlangsungan investasi operator seluler yang merasa dirugikan oleh layanan Over-the-Top (OTT).

    Namun demikian, pendekatan membatasi akses publik terhadap teknologi komunikasi sejatinya bukan jawaban bijak atas persoalan yang jauh lebih kompleks yakni masih adanya ketimpangan kontribusi infrastruktur dan tata kelola ekosistem digital yang belum transparan.

    Perlunya Keadilan Infrastruktur atau Hak Digital

    Keluhan operator bahwa OTT dianggap hanya "Menumpang Infrastruktur" dan tidak membayar sewa bukan tidak beralasan. Infrastruktur digital dibangun dengan biaya besar dan keberadaan layanan seperti WhatsApp, Telegram, atau Zoom memang mengalihkan trafik dari layanan suara dan SMS konvensional yang dahulu jadi ladang utama pendapatan operator.

    Namun, patut diingat bahwa sebagian besar infrastruktur ini dibiayai oleh dana Universal Service Obligation (USO), yaitu pungutan publik dari operator dengan tujuan memastikan akses informasi yang lebih merata. Artinya, publik berkontribusi pula, secara tidak langsung. Maka, wajar jika publik menuntut agar akses digital tetap luas, merata, dan tidak dibatasi secara sepihak.

    Belajar dari Negara Lain

    Beberapa negara pernah menerapkan pembatasan VoIP dan sebagian besar akhirnya menuai protes publik. Uni Emirat Arab misalnya, hanya mengizinkan VoIP dari aplikasi yang dikontrol negara, seperti Botim dan ToTok. Akibatnya, ekspatriat di sana kesulitan berkomunikasi dengan keluarga, dan bisnis digital mengalami friksi.

    Sebaliknya, Uni Eropa menempuh pendekatan lain. Regulasi Digital Services Act dan Digital Markets Act mewajibkan platform OTT besar seperti Meta, Google, dan Amazon untuk membayar pajak digital dan tunduk pada regulasi layanan umum, tapi tanpa membatasi akses konsumen ke teknologi dasar seperti VoIP. Di Korea Selatan, sejak 2021, penyedia OTT besar seperti Netflix dikenai kewajiban kontribusi jaringan (network usage fee), namun layanan ke publik tetap dapat diakses secara bebas. Pendekatan ini terbukti lebih berimbang, tetap menjamin hak publik atas komunikasi, namun tetap mewajibkan pemain besar ikut menanggung beban infrastruktur digital dalam skala nasional.

    Menuju Regulasi Inklusif

    Solusi untuk masalah ini bukanlah pelarangan atau pembatasan akses VoIP semata. Pemerintah perlu merumuskan kebijakan kontribusi OTT yang adil dan proporsional. Pemain besar dengan trafik besar bisa diminta berkontribusi lebih, sementara startup lokal dan pengguna individual tidak dibebani secara berlebihan.

    Kunci keberhasilan ada pada tiga hal yakni transparansi pengelolaan dana infrastruktur, keterlibatan publik dan pakar dalam perumusan regulasi, serta keberanian untuk mengejar kesetaraan digital yang berkeadilan. Jangan sampai keinginan mengatur OTT justru melukai hak publik untuk berkomunikasi secara aman, murah, dan mudah. Alih-alih membatasi, mari atur bersama ekosistem digital kita dengan lebih bijak.
     
    Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia