Wacana pembatasan layanan panggilan
berbasis internet (VoIP) seperti WhatsApp Call, Zoom, atau Google Meet oleh
pemerintah memicu polemik publik. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi)
menyatakan, pembatasan itu dilandasi oleh kebutuhan untuk menjaga
keberlangsungan investasi operator seluler yang merasa dirugikan oleh layanan
Over-the-Top (OTT).
Namun demikian, pendekatan membatasi
akses publik terhadap teknologi komunikasi sejatinya bukan jawaban bijak atas
persoalan yang jauh lebih kompleks yakni masih adanya ketimpangan kontribusi
infrastruktur dan tata kelola ekosistem digital yang belum transparan.
Perlunya
Keadilan Infrastruktur atau Hak Digital
Keluhan operator bahwa OTT dianggap
hanya "Menumpang Infrastruktur"
dan tidak membayar sewa bukan tidak beralasan. Infrastruktur digital dibangun
dengan biaya besar dan keberadaan layanan seperti WhatsApp, Telegram, atau Zoom
memang mengalihkan trafik dari layanan suara dan SMS konvensional yang dahulu
jadi ladang utama pendapatan operator.
Namun, patut diingat bahwa sebagian
besar infrastruktur ini dibiayai oleh dana Universal Service Obligation (USO),
yaitu pungutan publik dari operator dengan tujuan memastikan akses informasi yang
lebih merata. Artinya, publik berkontribusi pula, secara tidak langsung. Maka,
wajar jika publik menuntut agar akses digital tetap luas, merata, dan tidak
dibatasi secara sepihak.
Belajar
dari Negara Lain
Beberapa negara pernah menerapkan
pembatasan VoIP dan sebagian besar akhirnya menuai protes publik. Uni Emirat
Arab misalnya, hanya mengizinkan VoIP dari aplikasi yang dikontrol negara,
seperti Botim dan ToTok. Akibatnya, ekspatriat di sana kesulitan berkomunikasi
dengan keluarga, dan bisnis digital mengalami friksi.
Sebaliknya, Uni Eropa menempuh
pendekatan lain. Regulasi Digital Services Act dan Digital Markets Act
mewajibkan platform OTT besar seperti Meta, Google, dan Amazon untuk membayar
pajak digital dan tunduk pada regulasi layanan umum, tapi tanpa membatasi akses
konsumen ke teknologi dasar seperti VoIP. Di Korea Selatan, sejak 2021,
penyedia OTT besar seperti Netflix dikenai kewajiban kontribusi jaringan
(network usage fee), namun layanan ke publik tetap dapat diakses secara bebas. Pendekatan
ini terbukti lebih berimbang, tetap menjamin hak publik atas komunikasi, namun
tetap mewajibkan pemain besar ikut menanggung beban infrastruktur digital dalam
skala nasional.
Menuju
Regulasi Inklusif
Solusi untuk masalah ini bukanlah
pelarangan atau pembatasan akses VoIP semata. Pemerintah perlu merumuskan
kebijakan kontribusi OTT yang adil dan proporsional. Pemain besar dengan trafik
besar bisa diminta berkontribusi lebih, sementara startup lokal dan pengguna
individual tidak dibebani secara berlebihan.
Kunci keberhasilan ada pada tiga hal
yakni transparansi pengelolaan dana infrastruktur, keterlibatan publik dan
pakar dalam perumusan regulasi, serta keberanian untuk mengejar kesetaraan
digital yang berkeadilan. Jangan sampai keinginan mengatur OTT justru melukai
hak publik untuk berkomunikasi secara aman, murah, dan mudah. Alih-alih
membatasi, mari atur bersama ekosistem digital kita dengan lebih bijak.