Polymath Paradox: Semakin Tinggi Pendidikan Seseorang, Semakin Sedikit Berbicara di Luar Bidangnya?

Dr. Rudiyanto, SP., M.Si
0

Terdapat sebuah opini di tengah masyarakat (netizen), bahwa dengan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan semakin sedikit pula ia berbicara di luar bidang keahliannya. Menurut penulis pribadi, pendapat itu tidak salah, namun juga tidak 100% benar. Memang benar, seseorang yang bergelar Doktor (S3) tidak kemudian berarti memiliki pengetahuan yang luas dan tahu segala hal. Sebaliknya, pengetahuan mereka justru sempit, namun dalam (expertise).


Sejumlah studi memang mendukung pendapat itu. Collins dan Evans (2007) dalam Rethinking Expertise menyebutkan adanya etika epistemik, yaitu seorang pakar sejati akan lebih berhati-hati saat menyeberang di luar batas keilmuannya. Penelitian psikologi sosial juga menyingkap adanya fenomena Dunning–Kruger effect (Kruger & Dunning, 1999), bahwa seseorang dengan pengetahuan minim justru sering tampil lebih percaya diri dalam mengemukakan pendapat dimata publik. Sebaliknya, mereka yang betul-betul ahli lebih sadar bahwa lautan pengetahuan terlalu luas untuk dirinya, sehingga terkadang ragu untuk mengemukakan pendapat pribadi karena merasa hal itu diluar bidang kompetensinya.


Realita Dunia Akademik


Dunia akademik memang menuntut kita untuk menjadi expert di bidang tertentu, sehingga studi lanjut (S2 dan S3) harus linear dengan program studi S1 yang pernah diambilnya agar gelar akademiknya dapat diakui secara “legitimate”. Namun pernahkah anda membayangkan, jika seorang Doktor benar-benar konsisten dengan bidang expertisenya saja sehingga menutup mata dengan bidang lain, diluar bidang kepakaranya.


Misal, seorang Doktor yang expert di bidang Agroteknologi namun ia tidak tahu bagaimana cara pembukuan dengan baik. Tidak tahu menahu soal pajak, faktur pajak, berapa % nilai pajak PPN, PPH dll. Berapa nilai maksimal barang dan jasa yang bisa dibiayai secara langsung tanpa harus melalui proses lelang (tender). Tidak tahu harga wajar bahan kimia & bahan habis pakai yang ada di database LKPP. Tidak tahu apa itu SBM, tidak tahu biaya standar baku yang ditetapkan oleh kemenkeu, lalu tiba-tiba saja ia mendapat grant/ project penelitian dan menjadi PIC dari kegiatan tersebut. Kira-kira apa yang akan terjadi?


Belum lagi jika akademisi tersebut, di kemudian hari ternyata diberi amanah untuk menjadi seorang pejabat struktural. Maka mau tidak mau, ia dituntut harus “tahu” akan segala hal. Mulai dari hal remeh temeh seperti mengatasi atap kantor yang bocor, wc atau toilet yang mampet, kebersihan dan masalah sampah di lingkungan kantor dan lain sebagainya. Ia juga harus menguasai manajemen sumber daya manusia, manajeman konflik dalam lembaga, Manajemen ISO 9001 dll. Ia juga harus mengerti secara detail soal tetek bengek regulasi terkait perjanjian kerjasama, MOU, NKS, MTA dll. Bisakah dia kemudian beralasan, wah….itu diluar bidang kepakaran saya?? 


Fenomena Polymath (poly= banyak + mathēs=pengetahuan)


Sejarah ilmu pengetahuan telah mencatat akan munculnya fenomena polymath, yakni manusia dengan rentang keahlian lintas bidang. Seperti Leonardo da Vinci, selain dikenal sebagai seorang pelukis, ia juga seorang insinyur dan ahli di bidang ilmu anatomi. Herbert Simon, peraih Nobel di bidang Ekonomi, yang punya keahlian lain di bidang Artificial Intelegence (AI). Richard Feynman -ilmuwan fisika kuantum-, selain jago di Fisika, ia juga pernah meneliti protein di laboratorium biologi molekular. Noam Chomsky yang dikenal sebagai seorang akademisi di bidang linguistik, tetapi gaungnya justru mendunia melalui kritik tajamnya di bidang politik. Di Indonesia sendiri kita mengenal figur seperti Prof. B.J. Habibie, yang tak hanya dikenang sebagai teknolog di bidang aeronautika, namun beliau juga seorang politisi (mantan Presiden). Beliau juga dianggap sebagai seorang ekonom handal karena mampu mengendalikan nilai rupiah yang sempat jatuh di Rp 16.000/ dollar pasca krisis di tahun 1998. 


Era Multidiclipinary Research


Di era modern abad 21 ini, manusia menghadapi permasalahan yang semakin kompleks, mulai dari isu perubahan iklim, isu kesehatan & wabah penyakit, transformasi digital serta disrupsi AI. Dimana permasalahan tersebut tak bisa diselesaikan oleh satu disiplin ilmu saja. Di sinilah riset interdisiplin memainkan peran vital.


Riset Interdisiplin bukan sekadar kolaborasi riset secara formal, tetapi juga pertemuan kerangka berpikir di bidang yang berbeda untuk melahirkan solusi baru. Seorang ahli biologi dapat menemukan inspirasi riset dari ilmu komputer, seorang ekonom dapat memperkaya analisisnya dengan ilmu psikologi perilaku. Seorang insinyur dapat menggandeng antropolog untuk merancang teknologi yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan manusia. Multidiclipinary Research diperlukan untuk menjembatani dunia sains dengan kebijakan publik. Riset lintas disiplin dapat dilakukan melalui gabungan berbagai disiplin ilmu, mulai dari bioteknologi, data sains, dan kebijakan energy


Fenomena polymath maupun kolaborasi interdisiplin ini tak muncul dari ambisi pribadi peneliti. Riset ini menekankan akan pentingnya peran transferable skills, kemampuan abstraksi, logika, dan berpikir secara sistematis, yang memungkinkan seorang peneliti melintasi batas disiplin ilmunya (Araki, 2020). Dalam masyarakat yang menghadapi masalah yang semakin kompleks, suara lintas disiplin sangat dibutuhkan. Seperti diingatkan Kitcher (2011), sains tidak hidup dalam ruang vakum, tetapi mesti hadir dalam percakapan sosial kemasyarakatan.


Perlunya Mawas Diri dan Sikap Rendah Hati


Memang sejatinya pendidikan tinggi melahirkan sikap kerendahan hati. Seorang pakar sejati akan lebih selektif berpendapat di luar ranah bidang kompetensinya. Akan tetapi, tidak berarti pintu untuk menyeberang di luar bidang tertutup rapat. Justru terkadang keberanian untuk menyeberanglah yang memantik terobosan baru.


Maka, daripada kita sibuk mempertentangkan mana yang lebih baik antara “lebih baik diam jika di luar bidang kepakaran kita” dan “perlunya bicara ilmu lintas disiplin”, lebih baik kita mengakui akan perlunya kedua hal tersebut. Di satu sisi kita perlu menanamkan sikap bijak untuk tahu batas kompetensi kita. Namun di sisi lain kita juga perlu menyalakan api keberanian untuk mencoba melintasi bidang ilmu lainnya. Menjadi expert di bidang yang kita geluti selama ini sekaligus menjadi generalis di bidang ilmu lainnya. Satu hal yang perlu diingat, seorang peneliti itu boleh salah, tetapi tidak boleh berbohong. 


Referensi:

  • Araki, M. (2020). Polymathy and the future of education. Journal of Futures Studies, 24(4), 27–40.
  • Collins, H., & Evans, R. (2007). Rethinking Expertise. University of Chicago Press.
  • Kruger, J., & Dunning, D. (1999). Unskilled and unaware of it: How difficulties in recognizing one's own incompetence lead to inflated self-assessments. Journal of Personality and Social Psychology, 77(6), 1121–1134.
  • Root-Bernstein, R. (2009). Multiple intelligences, polymathy, and the habits of mind. Roeper Review, 31(1), 42–50.
  • Kitcher, P. (2011). Science in a Democratic Society. Prometheus Books.

Tags

Post a Comment

0 Comments

Post a Comment (0)

#buttons=(Ok, Setuju!) #days=(20)

Blog www.rudiyanto.net menggunakan cookies pada browser anda Cek Sekarang
Ok, Go it!