Dalam kultur jaringan, aklimatisasi merupakan salah satu tahap krusial, dimana plantlet (tanaman kecil) hasil pembiakan secara in vitro dipindahkan ke kondisi lapang (rumah kaca). Selama hidup di lingkungan aseptik (laboratorium), plantlet “dimanjakan” dengan kondisi lingkungan yang serba ideal, pencahayaan penuh dengan panjang gelombang yang stabil (±1000 lux), suhu dan kelembapan udara yang terus terjaga, serta nutrisi dan sumber karbon dalam media.
Namun, begitu planlet dipindahkan ke lingkungan ex vitro (kondisi luar/lapang), mereka harus menghadapi kondisi lingkungan yang “sebenarnya” dan tanaman dipaksa untuk bisa berfotosintesis secara mandiri dan harus menghadapi fluktuasi suhu, pencahayaan sinar matahari, evapotranspirasi dll. Ketika kondisi morfologi dan anatomi daun tanaman belum siap, maka akan banyak kegagalan terjadi pada tahap ini. Karena aktifitas fotosintesis tanaman masih lemah, akar belum bersimbiosis dengan mikroba bermanfaat, sedangkan proses transpirasi masih sangat tinggi (PospÃÅ¡ilová et al., 2024).
Mengapa Aklimatisasi Sering Gagal?
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga “faktor” utama yang membuat plantlet gagal beradaptasi selama tahap aklimatisasi diantaranya: anatomi, fisiologi, dan mikrobiologi. Daun hasil kultur jaringan cenderung tipis, kutikula lemah, dan stomata tidak berfungsi secara normal. Secara fisiologis, tanaman terbiasa mendapatkan pasokan gula eksternal sehingga kloroplas akan cenderung “stuck” ketika harus melakukan aktifitas fotosintesis. Dari sisi mikrobiologi, akar tanaman kultur jaringan masih steril, sehingga tanpa dukungan simbiosis jamur dan bakteri tanah daya serap air dan hara akan kurang optimal.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Aklimatisasi
Aklimatisasi bukanlah sekadar memindahkan tanaman dari botol ke dalam polybag. Ada sejumlah faktor yang harus diperhatikan agar proses transisi ini berjalan dengan baik. Pertama, kualitas anatomi daun dan stomata. Pemasangan ventilasi/ filter dalam botol, perlakuan cahaya yang lebih “fotosintetik”, serta pengurangan kosentrasi sukrosa dalam media terbukti dapat memperbaiki struktur daun tanaman. Kedua, aktifitas fotosintesis. Plantlet yang mendapat perlakuan CO₂ lebih tinggi dengan pengurangan konsentrasi sukrosa lebih cepat beradaptasi ketika dibawa keluar dari ruang kultur (Silva et al., 2024).
Ketiga, mikrobioma akar. Inokulasi fungi mikoriza arbuskular (AMF) atau bakteri pemacu pertumbuhan tanaman (PGPR) dapat meningkatkan penyerapan air dan hara serta meningkatkan toleransi terhadap cekaman biotik maupun abiotik (Camargo et al., 2023). Keempat, kondisi lingkungan ex vitro. Kelembapan tinggi harus diturunkan secara bertahap, suhu dan cahaya dikelola dengan sistem fogging atau IoT, sehingga survival rate dapat ditingkatkan (Eisa et al., 2025). Selain itu, substrat dalam media juga penting untuk diperhatikan. Campuran cocopeat-perlit atau peat-perlit yang bersifat poros dan aeratif, terbukti dapat mendukung pembentukan akar serabut pada tanaman selama proses aklimatisasi (Kauschke et al., 2025).
Strategi Meningkatkan Survival Rate
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk merumuskan langkah-langkah praktis untuk menekan angka kematian plantlet pada tahap aklimatisasi. Di antaranya, perlunya tahap pra-aklimatisasi dengan kultur fotoautotrof (sukrosa rendah, pemberian ventilasi/ filter, dan penambahan CO₂) untuk “melatih” kloroplas dan stomata berfotosintesis, manajemen pencahayaam secara bertahap dari intensitas rendah ke moderat lalu tinggi, serta pengaturan kelembapan yang dikurangi sedikit demi sedikit agar plantlet dapat “beradaptasi” di kondisi semi ex vitro (Silva et al., 2024).
Penggunaan substrat media aklim yang aeratif dan steril, biotisasi akar dengan AMF/PGPR, pemberian nutrisi secara bertahap, hingga teknik bottom cooling adalah beberapa teknik yang secara bertahap menunjukkan korelasi yang positif dengan survival rate. Penggunaan antitranspiran berbasis ABA rendah atau pelapis stomata juga terbukti mengurangi kehilangan air akibat evapotranspirasi pada tahap awal aklimatisasi (Jagiełło-Kubiec et al., 2021).
Keberhasilan tahap aklimatisasi bukan hanya persoalan teknis di laboratorium. Ia merupakan jembatan transisi antara kondisi kultur artifisial yang aseptik dan kondisi nyata di lapangan, apakah planlet hasil kultur jaringan akan berakhir menjadi tanaman yang layu dan kemudian mati atau berhasil menjadi bibit yang produktif. Dengan pendekatan yang terukur, mulai dari persiapan kondisi anatomi, morfologi planlet hingga rekayasa mikrobioma maka angka survival rate dapat ditingkatkan secara signifikan. Bagi pemulia, peneliti, maupun industri, memahami teknik aklimatisasi berarti memahami seni menyelamatkan ribuan bibit hasil kultur jaringan tanaman yang telah memakan waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit untuk diinvestasikan.
Referensi:
- Camargo, R., et al. (2023). Role of root microbiome in ex vitro adaptation of tissue culture-derived plants. Plant and Soil. ResearchGate.
- Eisa, A., et al. (2025). IoT-based acclimatization systems improve plantlet survival under greenhouse conditions. Horticulturae. MDPI.
- Jagiełło-Kubiec, K., et al. (2021). Antitranspirant treatments enhance survival of Physocarpus during acclimatization. Plants. MDPI.
- Kauschke, T., et al. (2025). Substrate optimization for bromeliad and succulent acclimatization. Plants. MDPI.
- PospÃÅ¡ilová, J., et al. (2024). Physiology of micropropagated plants during acclimatization: A comprehensive review. Plant Cell Reports. Springer.
- Silva, M., et al. (2024). Photosynthetic competence and acclimatization strategies in micropropagated plants. In Vitro Cellular & Developmental Biology–Plant. MDPI.