Kisah Ilmuwan Besar Dunia yang Gagal di Dunia Investasi

Dr. Rudiyanto, SP., M.Si
0

Adalah sebuah ironi, manakala sejumlah ilmuwan besar yang telah lama dikenal menghasilkan teori serta temuan hebat di bidang sains & teknologi namun justru gagal dan tersandung dalam dunia “investasi”. Kecerdasan intelektual yang luar biasa di bidang sains ternyata tidak selalu menjamin keberhasilan di ranah finansial, yang penuh dengan ketidakpastian, tekanan psikologi, dan “jebakan” emosi sesaat (impulse buy). Fenomena ini mengajarkan kita bahwa kejeniusan di satu bidang tidak secara otomatis jenius pula di bidang yang bukan kompetensinya, terutama ketika logika harus dibenturkan dengan aktifitas pasar yang terkadang “irrasional”.


Salah satu kisah ilmuwan besar yang mengalami kegagalan dalam investasi adalah Sir Isaac Newton, seorang fisikawan dan matematikawan legendaris yang merumuskan hukum gravitasi dan kalkulus. Pada awal abad ke-18, Isaac Newton terjerat dalam investasi spekulatif di emiten South Sea Company, sebuah perusahaan Inggris yang menjanjikan revenue yang cukup besar dari aktifitas perdagangan dengan Amerika. Awalnya, Newton berinvestasi dengan bijak dan rasional, membeli saham di harga rendah kemudian menjualnya di harga tinggi dan mendapatkan capital margin. Namun, seperti halnya investor lain, ia terbawa euforia pasar ketika harga saham terus naik secara irrasional. Newton kemudian justru melakukan buy back saham di harga puncak, yang pada akhirnya terjadi bubble pada 1720 dan saham South Sea Company jatuh dan mengalami crash. Ia kehilangan sekitar £20.000 saat itu (yang setara dengan jutaan poundsterling saat ini). Dengan getir, Newton berkata, “I can calculate the motions of the heavenly bodies, but not the madness of people.” Saya bisa menghitung gerakan benda-benda langit, tetapi tidak bisa mengkalkulasi “kegilaan” manusia (Chancellor, 1999).


Ada lagi kisah dari Albert Einstein, seorang fisikawan besar penemu teori relativitas, yang juga menunjukkan titik lemah dalam urusan “finansial”. Einstein kerap kali menandatangani kontrak hak cipta atau lisensi dengan kompensasi yang sangat kecil dari pihak industri. Walaupun sebagian menilai keputusannya itu lebih karena “ketidakpeduliannya” pada nilai ekonomi “hasil temuannya” dan bukan dari ketidakmampuanya dalam meghitung valuasi. Akibatnya, ia banyak melewatkan peluang untuk mendapatkan nilai royalti yang layak dari hasil temuannya, yang berbasis pada teknologi industri modern (Seeling, 2006). “Ketidakpedulian” Einstein terhadap masalah finansial mencerminkan fokusnya seorang ilmuwan pada sains, dan juga menegaskan bahwa kecerdasan dalam dunia sains tidak selalu beriringan dengan kecerdasan finansial.


Adapun Michael Faraday, penemu motor listrik dan pionir elektromagnetisme, adalah contoh lain. Meski karyanya menjadi tonggak fondasi dalam revolusi industri, namun Faraday justru hidup dalam kesederhanaan. Bahkan beberapa kali ia mengalami “kesulitan finansial”. Ia buruk dalam mengelola aset pribadinya karena bergantung pada patronase Kerajaan Inggris dan mengabaikan nilai investasi dari temuannya (James, 2010). Faraday kembali membuktikan bahwa kejeniusan secara teknis tidak selalu diterjemahkan ke dalam kemampuan mengelola “asset”.


Namun demikian, tidak semua ilmuwan gagal belajar dari kesalahan finansial mereka. Adalah John Maynard Keynes, seorang ekonom terkemuka abad ke-20, yang menunjukkan perspektif yang berbeda. Awalnya, Keynes terjebak dalam spekulasi jangka pendek yang membuatnya hampir bangkrut saat krisis pasar saham di tahun 1929. Berbeda dengan Newton dan Faraday, Keynes mampu merefleksikan kegagalannya dan memperbaiki langkahnya. Ia beralih ke strategi investasi jangka panjang berbasis analisis fundamental, yang akhirnya membawanya meraih kesuksesan finansial (Skidelsky, 2009).


Kisah Keynes menunjukkan bahwa kegagalan bisa menjadi guru yang berharga, asalkan ada kemauan untuk terus belajar. Apa pelajaran dari kisah-kisah ini? Pasar keuangan bukan hanya soal logika dan angka, tetapi juga psikologi, emosi, dan sentiment pasar. Ilmuwan yang terbiasa menghadapi nilai kuantitatif dari “hukum alam” sering kali kewalahan menghadapi ketidakpastian pasar. Seperti yang ditulis oleh psikolog investasi Daniel Kahneman, “manusia cenderung membuat keputusan irasional di bawah tekanan emosi, bahkan bagi mereka yang berpikiran paling logis sekalipun” (Kahneman, 2011).


Di era ini, kita hidup dalam suasana yang mirip dengan masa Newton, euforia terhadap pasar saham teknologi, aset digital seperti kripto dan fluktuasi index komoditas yang penuh dengan spekulasi. Banyak investor, termasuk mereka yang cerdas secara akademis, mengira bisa “menguasai” pasar seperti mereka dapat memecahkan rumus matematika dan logika statistik. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa pikiran terjenius pun bisa kalah oleh dinamika pasar yang sering tidak terduga.


Pelajaran terpenting dari kisah Newton, Einstein, dan Faraday adalah perlunya sikap “kerendahan hati”. Kejernihan logika dan kualitas IQ seseorang tidak selalu mampu menundukkan pasar yang irrasional. Dalam dunia investasi, kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan kognitif, tetapi juga oleh kedisiplinan, kesabaran, dan kemampuan mengelola “emosi”. Bagi kita yang bahkan “kurang jenius”, maka kisah mereka menjadi pengingat tentang perlunya sikap hati-hati dalam berinvestasi, belajar dari kesalahan, dan selalu waspada terhadap jebakan euforia agar dapat bertahan di tengah ketidakpastian. 


Referensi: 

Post a Comment

0 Comments

Post a Comment (0)

#buttons=(Ok, Setuju!) #days=(20)

Blog www.rudiyanto.net menggunakan cookies pada browser anda Cek Sekarang
Ok, Go it!