Benarkah “Kata-Kata Bijak” Berkorelasi dengan IQ Rendah Seseorang?

Dr. Rudiyanto, SP., M.Si
0

Beberapa waktu lalu muncul sebuah artikel dari sebuah media digital yang judulnya kurang lebih seperti ini: “Studi: Orang yang Suka Posting Kata-Kata Bijak Punya IQ Lebih Rendah.” Sebagai seorang peneliti, tentu penulis tidak bisa menerima informasi begitu saja tanpa penelaahan terlebih dahulu. Terlebih lagi, Blog ini juga sering menyuguhkan tema kategori “Wisdom and Inspiration”. Bukan karena ke trigger atau bersikap sok bijak, tema itu sengaja penulis ulas agar para pembaca (dengan target audiens generasi muda/ mahasiswa) bisa mengambil faedah dan manfaat darinya dan agar mereka mampu menyeimbangkan antara kecerdasan kognitif dan emotionalnya. Karena menurut penulis, apalah gunanya prestasi akademik setinggi langit jika attitudenya nol?


Pertanyaannya kini, benarkah ada studi ilmiah yang menyimpulkan demikian? Ataukah ini sekadar contoh lain dari cara publik mengonsumsi hasil penelitian secara tergesa-gesa? Ataukah fenomena ini sebagai contoh bagaimana sains direduksi, disederhanakan, bahkan disalahartikan demi sebuah Clickbait dari mass media.


Antara Bukti Ilmiah dan Sensasi Clickbait 


Klaim kesimpulan tersebut berakar dari hasil studi karya Gordon Pennycook et al., 2015 yang berjudul On the Reception and Detection of Pseudo-Profound Bullshit. Publikasi itu meneliti bagaimana sebagian orang menilai sebuah kalimat yang terdengar profound/ dalam, akan tetapi secara substansi sebenarnya kosong dari makna.


Sebenarnya, dalam penelitian tersebut penulisnya tidak pernah mengatakan bahwa orang yang memposting kutipan kata-kata bijak cenderung memiliki IQ lebih rendah. Bahkan IQ tidak dijadikan variable kuantitatif dalam studi itu. Yang diamati adalah Cognitive Reflection Test atau (CRT), yaitu kecenderungan seseorang untuk berperilaku impulsive dan kurang bersikap kritis/ analitis terhadap informasi yang diserap.


Kedua variable itu tidaklah sama. IQ menggambarkan konstruksi kognitif secara luas, mencakup kemampuan verbal, spasial, numerik, hingga tingkat memori seseorang. Sebaliknya, CRT hanya menilai satu aspek kecil yakni kemampuan menahan intuisi yang bersifat impulsif. Menyamakan CRT dengan IQ adalah penyimpulan yang keliru, namun sayangnya hal itu sering ditemui dalam naskah jurnalisme sains populer.


Media Sosial dan Kesalahpahaman Kolektif


Temuan Pennycook membahas mengenai kecenderungan seseorang dalam menilai kalimat tak bermakna sebagai sebuah kata-kata bijak, namun kemudian disalahpahami media menjadi: “Orang yang suka posting kata-kata bijak/ motivasi itu cenderung bodoh dan ber IQ rendah.” Padahal studi Pennycook tidak mencakup perilaku dalam memposting kutipan kata-kata bijak itu. Ia hanya meneliti bagaimana respons koresponden terhadap kalimat tertentu di dalam eksperimennya.


Mengunggah kata-kata bijak di media sosial adalah fenomena sosial yang jauh lebih kompleks, sehingga diperlukan variable lain yang lebih terukur. Seseorang membagikan kutipan inspiratif di sosial media memiliki beberapa alasan seperti afiliasi yang bersifat sosial kemasyarakatan, menjalin ikatan emosional dengan para followers, atau bisa juga personal branding yang sifatnya positif (Highfield & Leaver, 2016; Buechel & Berger, 2018). Belum ada penelitian yang secara spesifik membahas korelasinya dengan tingkat IQ seseorang.


Sains mengajarkan kita bahwa perilaku manusia tidak dapat dilihat dari satu dimensi variable semata. Tetapi media sosial, dan kadang media massa, kerap mengambil kesimpulan secara tergesa-gesa dengan tanpa studi literatur terlebih dahulu secara komprehensif.


Kebijaksanaan, Emosi, dan Kognisi


Lebih jauh lagi, penelitian psikologi kontemporer terkini justru menjelaskan bahwa ketertarikan seseorang pada kata-kata bijak sering dipicu oleh pencarian makna jati diri, refleksi dan regulasi emosional. Dalam studi lain, sikap kebijaksanaan justru berhubungan dengan kemampuan memahami kompleksitas hidup, kemampuan menghadapi ketidakpastian, dan sikap reflektif yang merupakan salah satu indikator wise reasoning (Grossmann et al., 2020).


Jika demikian, mengapa seseorang yang sering membagikan kutipan inspiratif langsung diasosiasikan dengan kecerdasan/ IQ yang rendah? Apakah kesimpulan itu valid dan shahih? Apakah ini justru mencerminkan bias kognitif kita sendiri yang sering menganggap gaya komunikasi tertentu sebagai tanda kapasitas intelektual seseorang, padahal kenyataannya tidak sesederhana itu.


Mengapa Kita Mudah Terkecoh?


Klaim bahwa “orang yang menyukai kata-kata bijak memiliki IQ lebih rendah” bisa viral di sosial media bukan karena klaim itu benar, tetapi karena ia memenuhi pola narasi yang disukai oleh publik dengan mengejek kelompok tertentu, memosisikan diri sebagai kelompok yang lebih cerdas dan rasional dan bentuk validasi sikap skeptis yang sebenarnya semu.


Fenomena serupa juga masih sering kita temui, mulai dari kemampuan otak kiri dan otak kanan (left-brain vs right-brain) hingga pembahasan “5 kategori kepribadian manusia”, yang telah lama diterima masyarakat sebagai sebuah kebenaran scientific, meski saat ini telah banyak direvisi atau dibantah kebenarannya (falsifikasi sains). Sebagai publik, kita memang merasa lebih nyaman jika manusia dapat digambarkan dan dianalisa secara sederhana, padahal kita adalah makhluk yang sangat kompleks.


Kita Membutuhkan Literasi Sains yang Lebih Baik


Di tengah banjir informasi saat ini, literasi sains menjadi sesuatu yang sangat penting. Bukan berarti bahwa semua masyarakat harus bisa menjadi seorang pakar, akan tetapi agar kita dapat mengenali mana temuan yang bersifat ilmiah dan mana informasi yang bersifat distorsi sains populer.


Kita perlu menyadari bahwa: tidak semua hasil penelitian dapat digeneralisasi, tidak semua hasil eksperimen dengan jumlah responden minimalis bisa jadikan representasi, tidak semua temuan psikologi dapat dijadikan karakteristik personal seseorang, dan tidak semua konten viral di sosial media merepresentasikan kebenaran sainstifik.


Dengan literasi sains yang lebih baik, perdebatan publik harusnya dapat bergeser dari sekedar validasi siapa yang lebih “pintar” siapa yang “ber IQ rendah”, ke arah pemahaman yang lebih mendalam tentang manusia dan perilakunya.


Membagikan kata-kata bijak mungkin tidak membuat seseorang menjadi lebih cerdas. Tetapi menuduh pembuatnya sebagai orang “ber-IQ rendah” jelas tidak berdasar. Sebaliknya, kemampuan masyarakat untuk menilai secara kritis klaim ilmiah yang terdengar meyakinkan justru merupakan ukuran yang lebih baik dari kedewasaan intelektual masyarakat.


Kebijaksanaan tidak lahir dari kutipan panjang atau riset yang terkesan ilmiah, tetapi dari kemampuan untuk memahami kompleksitas, dan mempertanyakan klaim yang meragukan. Dalam platform sosial media yang semakin bising, mungkin yang paling kita butuhkan bukan hanya yang ber IQ tinggi, tetapi kejernihan berpikir dan sikap kebijaksanaan.


Referensi: 

  • Buechel, E., & Berger, J. (2018). Motivations for sharing marketing content: The role of emotion, social connection, and self-presentation. Journal of Consumer Research, 44(3), 414–431.
  • Grossmann, I., Weststrate, N., Ardelt, M., Brienza, J. P., Dong, M., Ferrari, M., ... & Vervaeke, J. (2020). The science of wisdom in a polarized world: Knowns and unknowns. Psychological Inquiry, 31(2), 103–133.
  • Highfield, T., & Leaver, T. (2016). Instagrammatics and digital methods: Studying visual social media, from selfies and GIFs to memes and emoji. Communication Research and Practice, 2(1), 47–62.
  • Pennycook, G., Cheyne, J. A., Barr, N., Koehler, D. J., & Fugelsang, J. A. (2015). On the reception and detection of pseudo-profound bullshit. Judgment and Decision Making, 10(6), 549–563.

Post a Comment

0 Comments

Post a Comment (0)

#buttons=(Ok, Setuju!) #days=(20)

Blog www.rudiyanto.net menggunakan cookies pada browser anda Cek Sekarang
Ok, Go it!