Mengapa Pakar Seringkali Tidak Didengar?

Dr. Rudiyanto, SP., M.Si
0

Diskursus mengenai minimnya pengaruh pakar di ruang publik kerap diarahkan pada dua tudingan utama yakni: 1. kelemahan pakar dalam berkomunikasi dan 2. Rendahnya minat masyarakat pada setiap isu yang dibahas secara ilmiah. Pandangan ini, meskipun memiliki dasar empiris, namun berisiko menyederhanakan masalah yang jauh lebih kompleks dan multidimensional. Beberapa publikasi menunjukkan bahwa hubungan antara kepakaran dan penerimaan publik dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: struktural, kultural, dan teknologi informasi (Bucchi & Trench, 2021).


Komunikasi Pakar dan Kompleksitas Media


Sejatinya, tidak semua pakar gagal berkomunikasi diranah publik. Banyak akademisi telah mengadaptasi gaya penyampaian melalui tulisan berupa buku populer, blog/ website, kanal YouTube, media sosial, dan forum diskusi secara daring. Namun, distribusi konten ilmiah menghadapi kompetisi yang tidak seimbang dalam ekosistem media digital saat ini. Platform algoritma cenderung memprioritaskan konten sensasional yang menghasilkan interaksi tinggi (engagement), sehingga informasi yang bersifat edukatif seringkali tersisih (Cinelli et al., 2021). Fenomena ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya pada kemampuan berkomunikasi dari seorang pakar, melainkan juga pada desain algoritma dari media digital itu sendiri.


Bahasa Ilmiah dan Tuntutan Presisi 


Penggunaan terminologi ilmiah seringkali disalahartikan oleh masyarakat sebagai sebuah sikap elitis atau “merasa paling tahu”. Padahal, dalam epistemologi sains, bahasa teknis adalah alat untuk menjaga ketepatan makna dan menghindari distorsi informasi. Proses simplifikasi bahasa ke bentuk populer memang penting, tetapi jika dilakukan secara berlebihan dapat mengorbankan akurasi dan menimbulkan misinformasi. Oleh karena itu, pakar perlu menyeimbangkan akurasi dan “keterjangkauan istilah”, yang dalam literatur sering disebut sebagai boundary work (Gieryn, 1999).


Kepakaran dan Popularitas


Kritik yang sering kita dengar, bahwa para pakar itu sulit untuk diajak kolaborasi karena dianggap “kurang terkenal” meskipun kritik ini mengabaikan fakta bahwa antara popularitas dan kepakaran itu diukur dengan metrik yang berbeda. Dalam ekosistem akademik, kredibilitas dibangun melalui publikasi, peer review, dan kontribusi pada ilmu pengetahuan secara kolektif. Sebaliknya, dalam ekosistem digital, visibilitas ditentukan oleh daya tarik dari sebuah narasi dan kemampuan membangun keterikatan emosional dengan audiens. Untuk mengatasi jarak ini, beberapa expert di bidang komunikasi sains merekomendasikan perlunya kemitraan strategis antara seorang pakar dan science communicators atau influencer (Longnecker, 2016).


Masyarakat sebagai Entitas Heterogen


Kita perlu menyadari bahwa kondisi masyarakat kita sangat beragam dan memiliki latar belakang yang berbeda. Menggambarkan kondisi masyarakat dengan opini bahwa mereka “lebih percaya mitos ketimbang sains” atau “lebih memilih hiburan daripada edukasi” adalah generalisasi yang mengabaikan adanya keragaman segmen audiens. Penelitian menunjukkan adanya kelompok masyarakat dengan minat tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang sering memanfaatkan media online untuk mengakses jurnal, diskusi publik, atau kursus secara daring (Massive Open Online Courses). Tantangannya, keberadaan kelompok masyarakat ini masih kalah dalam hal sorotan dibandingkan dengan audiens yang lebih menyukai “hiburan” akibat bias dari distribusi algoritma media digital.


Akses Informasi dan Literasi Media


Keterbatasan akses infrastruktur teknologi informasi, mulai dari konektivitas internet hingga ketersediaan sumber bacaan ilmiah, juga berperan dalam membentuk kesenjangan dalam komunikasi sains (van Deursen & van Dijk, 2014). Literasi media dan literasi sains menjadi faktor kunci agar publik mampu memilah informasi, memahami konsep ilmiah, dan mengidentifikasi sumber mana yang lebih kredibel.


Problematika tentang kurangnya perhatian publik terhadap para pakar bukan semata hasil dari “ego akademik para pakar” atau “masyarakat yang malas membaca”, melainkan interaksi kompleks antara budaya komunikasi sains, desain platform media digital, dan tingkat literasi publik itu sendiri. Untuk menjembatani permasalahan ini memerlukan kolaborasi lintas sektor: pakar mengadaptasi metode komunikasi tanpa kehilangan integritas ilmiah, dan influencer perlu juga mengedepankan akurasi (sumber yang kredibel), dan pembuat kebijakan juga perlu menciptakan insentif bagi penyebaran informasi berbasis publikasi ilmiah. Dengan pendekatan ini, jembatan antara ilmu pengetahuan dan masyarakat dapat dibangun secara lebih kokoh dan berkelanjutan.


Referensi:

  • Bucchi, M., & Trench, B. (2021). Science communication: A global perspective. Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-030-82685-0
  • Cinelli, M., Morales, G. D. F., Galeazzi, A., Quattrociocchi, W., & Starnini, M. (2021). The echo chamber effect on social media. Proceedings of the National Academy of Sciences, 118(9), e2023301118. https://doi.org/10.1073/pnas.2023301118
  • Gieryn, T. F. (1999). Cultural boundaries of science: Credibility on the line. University of Chicago Press.
  • Longnecker, N. (2016). An integrated model of science communication. Environmental Communication, 10(1), 43–56. https://doi.org/10.1080/17524032.2014.942746
  • van Deursen, A. J., & van Dijk, J. A. (2014). The digital divide shifts to differences in usage. New Media & Society, 16(3), 507–526. https://doi.org/10.1177/1461444813487959

Tags

Post a Comment

0 Comments

Post a Comment (0)

#buttons=(Ok, Setuju!) #days=(20)

Blog www.rudiyanto.net menggunakan cookies pada browser anda Cek Sekarang
Ok, Go it!