Dekonstruksi Efek Dunning-Kruger: Antara Bias Kognitif dan Artefak Statistik

Posted on
  • Sunday, July 20, 2025
  • by
  • in
  • Label: ,
  • Apakah benar orang bodoh tidak menyadari akan kebodohannya? Pertanyaan ini menjadi dasar dari apa yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai “Efek Dunning-Kruger”. Dalam kultur masyarakat kita, keberadaan efek ini menjelaskan tentang alasan mengapa orang yang kurang kompeten justru memiliki kepercayaan diri yang luar biasa. Kita mengenalnya dalam berbagai bentuk, mulai dari komentar mereka di sosial media, hingga terlihat dari keputusan aneh dan janggal dalam ranah politik seperti yang sering terjadi di Negri ini.

    Namun, sebuah penelitian terkini yang dilakukan oleh Gilles E. Gignac dan Marcin Zajenkowski, yang diterbitkan dalam jurnal Intelligence (2020), mengajukan gagasan baru yang sangat mengejutkan, yakni efek Dunning-Kruger, yang selama ini dikutip luas dalam buku-buku pengembangan diri maupun berbagai forum diskusi, ternyata sebagian besar hanyalah sebuah “Ilusi Statistik.

    Ilusi yang Menjelma Menjadi Dasar dalam Psikologi Populer

    Gignac dan Zajenkowski membuktikan bahwa pola klasik Dunning-Kruger (orang dengan kemampuan rendah sering melebih-lebihkan dirinya, sementara yang pandai justru cenderung merendahkan dirinya) bisa muncul hanya karena dua fenomena statistik: better-than-average effect dan regresi nilai rata-rata. Dengan kata lain, kita terkadang merasa diri lebih pintar dari rata-rata populasi, namun secara korelasi ternyata tidak linear antara persepsi dan realita yang ada sehingga menciptakan ilusi efek Dunning-Kruger. Ilusi ini dapat terjadi dengan tanpa ada bias metakognitif yang riil.

    Penelitian mereka menggunakan data dari 929 responden yang menilai kecerdasannya sendiri, lalu dibandingkan dengan hasil tes objektif (Raven’s Progressive Matrices). Hasilnya cukup mengejutkan bahwa ternyata tidak ada bukti signifikan bahwa orang bodoh “Tidak bisa mengukur diri” terhadap ketidakmampuannya dibanding dengan orang cerdas. Korelasi antara persepsi dan kenyataan cenderung linier, bukan melengkung seperti prediksi teori Dunning-Kruger.



    • Self-Enhancement Median: Rata-rata SAIQ jauh lebih tinggi daripada IQ objektif (123,76 vs 101,70), hal ini mengonfirmasi adanya efek better-than-average.
    • Tidak Ada Bukti Efek Dunning-Kruger yang Valid:
    • Uji Glejser menunjukkan tidak adanya heteroskedastisitas signifikan (r = −0.05, p = 0.132), artinya kesalahan prediksi seragam di semua level kemampuan.
    • Regresi kuadratik juga tidak signifikan (p = 0.545), menunjukkan hubungan antara IQ subjektif dan objektif bersifat linear, bukan kurvilinear seperti yang diprediksi oleh Dunning dan Kruger.
    • Simulasi Mendukung Klaim Artefaktual: Bahkan data yang disimulasikan hanya dengan efek better-than-average dan regression to the mean bisa menghasilkan pola grafik yang terlihat seperti mendukung efek Dunning-Kruger, padahal sebenarnya hanya ilusi statistik semata.
    Mengapa Falsifikasi Teori Ini Penting?

    Efek Dunning-Kruger bukan hanya konsep psikologi. Ia telah menjadi senjata retoris untuk mencemooh orang awam, membenarkan elitisme intelektual, bahkan digunakan dalam diskusi publik untuk meremehkan lawan politik. Maka, jika ternyata efek ini ternyata merupakan sebuah “bug statistik” dan bukan hanya “bias psikologis” semata, maka kita harus lebih berhati-hati dalam menerapkannya.

    Yang lebih penting, temuan ini mengingatkan kita bahwa kesombongan intelektual bisa bersumber bukan hanya dari ketidaktahuan, tetapi bisa juga dari motivasi psikologis lain seperti narsisme, ilusi superioritas, atau validasi agar terlihat pintar dimata orang lain. Dalam dunia digital yang sarat akan sinyal sosial, ilusi kemampuan bukan sekadar masalah “tidak tahu diri”, tapi kadang justru muncul dari individu yang “sangat sadar diri”.

    Belajar Membedakan Antara Ilmu dan Cerita Populer

    Penelitian ini mengajarkan kita akan pentingnya skeptisisme ilmiah terhadap apa pun yang terlihat meyakinkan di permukaan publik. Efek Dunning-Kruger terlalu sering digunakan tanpa kritik, seolah sudah menjadi hukum alam. Namun, sains sejatinya adalah soal pengujian, bukan sekedar afirmasi semata. Jika selama ini kita menggunakan efek Dunning-Kruger untuk mengejek orang yang "sok tahu", mungkin sudah saatnya kita bertanya, benarkah mereka bodoh, atau jangan-jangan kita yang terlalu cepat menyimpulkan?

    Gignac dan Zajenkowski menyajikan argumen kuat bahwa banyak “bukti” efek Dunning-Kruger kemungkinan besar adalah hasil dari metode statistik yang lemah dan bias sistematis seperti better-than-average effect dan regression toward the mean. Mereka tidak menyangkal kemungkinan adanya bias metakognitif, namun menekankan bahwa validitas empiris efek ini harus diuji dengan pendekatan yang lebih cermat dan obyektif. Dalam hal ini, artikel ini sangat layak menjadi referensi utama dalam studi lanjutan mengenai keakuratan tentang persepsi diri.

    Referensi:

    Gilles E. Gignac, Marcin Zajenkowski. 2020. The Dunning-Kruger effect is (mostly) a statistical artefact: Valid approaches to testing the hypothesis with individual differences data, Intelligence, Volume 80, 101449,ISSN 0160-2896. https://doi.org/10.1016/j.intell.2020.101449.
     
    Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia