Apakah benar orang bodoh tidak menyadari akan kebodohannya? Pertanyaan ini
menjadi dasar dari apa yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai “Efek
Dunning-Kruger”. Dalam kultur masyarakat kita, keberadaan efek ini
menjelaskan tentang alasan mengapa orang yang kurang kompeten justru memiliki
kepercayaan diri yang luar biasa. Kita mengenalnya dalam berbagai bentuk, mulai dari
komentar mereka di sosial media, hingga terlihat dari keputusan aneh dan janggal dalam ranah politik
seperti yang sering terjadi di Negri ini.
Namun, sebuah penelitian terkini yang dilakukan oleh Gilles E. Gignac dan
Marcin Zajenkowski, yang diterbitkan dalam jurnal Intelligence (2020),
mengajukan gagasan baru yang sangat mengejutkan, yakni efek Dunning-Kruger, yang
selama ini dikutip luas dalam buku-buku pengembangan diri maupun berbagai forum diskusi,
ternyata sebagian besar hanyalah sebuah “Ilusi
Statistik”.
Ilusi yang Menjelma Menjadi Dasar dalam Psikologi Populer
Gignac dan Zajenkowski membuktikan bahwa pola klasik Dunning-Kruger (orang
dengan kemampuan rendah sering melebih-lebihkan dirinya, sementara yang pandai justru
cenderung merendahkan dirinya) bisa muncul hanya karena dua fenomena statistik:
better-than-average effect dan regresi nilai rata-rata.
Dengan kata lain, kita terkadang merasa diri lebih pintar dari rata-rata populasi, namun secara korelasi ternyata tidak linear antara persepsi dan realita yang ada sehingga menciptakan
ilusi efek Dunning-Kruger. Ilusi ini dapat terjadi dengan tanpa ada bias metakognitif yang riil.
Penelitian mereka menggunakan data dari 929 responden yang menilai
kecerdasannya sendiri, lalu dibandingkan dengan hasil tes objektif (Raven’s
Progressive Matrices). Hasilnya cukup mengejutkan bahwa ternyata tidak ada bukti signifikan
bahwa orang bodoh “Tidak bisa mengukur
diri” terhadap ketidakmampuannya dibanding dengan orang cerdas.
Korelasi antara persepsi dan kenyataan cenderung linier, bukan melengkung
seperti prediksi teori Dunning-Kruger.
- Self-Enhancement Median: Rata-rata SAIQ jauh lebih tinggi daripada IQ objektif (123,76 vs 101,70), hal ini mengonfirmasi adanya efek better-than-average.
- Tidak Ada Bukti Efek Dunning-Kruger yang Valid:
- Uji Glejser menunjukkan tidak adanya heteroskedastisitas signifikan (r = −0.05, p = 0.132), artinya kesalahan prediksi seragam di semua level kemampuan.
- Regresi kuadratik juga tidak signifikan (p = 0.545), menunjukkan hubungan antara IQ subjektif dan objektif bersifat linear, bukan kurvilinear seperti yang diprediksi oleh Dunning dan Kruger.
- Simulasi Mendukung Klaim Artefaktual: Bahkan data yang disimulasikan hanya dengan efek better-than-average dan regression to the mean bisa menghasilkan pola grafik yang terlihat seperti mendukung efek Dunning-Kruger, padahal sebenarnya hanya ilusi statistik semata.
Mengapa Falsifikasi Teori Ini Penting?
Efek Dunning-Kruger bukan hanya konsep psikologi. Ia telah menjadi senjata
retoris untuk mencemooh orang awam, membenarkan elitisme intelektual, bahkan
digunakan dalam diskusi publik untuk meremehkan lawan politik. Maka, jika
ternyata efek ini ternyata merupakan sebuah “bug statistik” dan bukan
hanya “bias psikologis” semata, maka kita harus lebih berhati-hati dalam menerapkannya.
Yang lebih penting, temuan ini mengingatkan kita bahwa kesombongan intelektual
bisa bersumber bukan hanya dari ketidaktahuan, tetapi bisa juga dari motivasi
psikologis lain seperti narsisme, ilusi superioritas, atau validasi agar terlihat
pintar dimata orang lain.
Dalam dunia digital yang sarat akan sinyal sosial, ilusi kemampuan bukan
sekadar masalah “tidak tahu diri”, tapi kadang justru muncul dari individu yang
“sangat sadar diri”.
Belajar Membedakan Antara Ilmu dan Cerita Populer
Penelitian ini mengajarkan kita akan pentingnya skeptisisme ilmiah terhadap
apa pun yang terlihat meyakinkan di permukaan publik. Efek Dunning-Kruger
terlalu sering digunakan tanpa kritik, seolah sudah menjadi hukum alam. Namun,
sains sejatinya adalah soal pengujian, bukan sekedar afirmasi semata. Jika
selama ini kita menggunakan efek Dunning-Kruger untuk mengejek orang yang
"sok tahu", mungkin sudah saatnya kita bertanya, benarkah mereka bodoh,
atau jangan-jangan kita yang terlalu cepat menyimpulkan?
Gignac dan Zajenkowski menyajikan
argumen kuat bahwa banyak “bukti” efek Dunning-Kruger kemungkinan besar adalah
hasil dari metode statistik yang lemah dan bias sistematis seperti better-than-average
effect dan regression toward the mean. Mereka tidak menyangkal
kemungkinan adanya bias metakognitif, namun menekankan bahwa validitas empiris
efek ini harus diuji dengan pendekatan yang lebih cermat dan obyektif. Dalam
hal ini, artikel ini sangat layak menjadi referensi utama dalam studi lanjutan
mengenai keakuratan tentang persepsi diri.
Referensi:
Gilles E. Gignac, Marcin
Zajenkowski. 2020. The Dunning-Kruger effect is (mostly) a statistical
artefact: Valid approaches to testing the hypothesis with individual
differences data, Intelligence, Volume
80, 101449,ISSN 0160-2896. https://doi.org/10.1016/j.intell.2020.101449.