Serendipitas dalam Sains: Ketika Ketidaksengajaan Justru Mampu Menjadi Kunci dalam Inovasi

Posted on
  • Sunday, July 20, 2025
  • by
  • in
  • Label: , ,
  • Dalam dunia sains yang sering diasosiasikan dengan experiment yang penuh kalkulasi statistik, hypothesa, dan metodologi ilmiah yang baku, ada satu elemen yang kerap terlupakan namun justru kerap menjadi kunci dalam keberhasilan penemuan besar yakni “Serendipitas”. Kata ini, mengacu pada penemuan yang tidak disengaja namun bermakna, sebagaimana diungkap dalam buku The Travels and Adventures of Serendipity karya sosiolog Robert K. Merton dan Elinor Barber.

    Bagi Merton, “Serendipity” bukan hanya sekadar kisah keberuntungan yang terjadi dalam laboratorium, melainkan sebuah konsep sosiologis yang patut disistematisasi. Esai berikut menyoroti bagaimana Merton, sebagai salah satu founder ilmu sosiologi, merumuskan serendipitas dalam kerangka yang lebih luas yakni sebagai mekanisme ilmiah yang memperlihatkan bagaimana struktur sosial, nilai budaya, dan kebetulan epistemik dapat melahirkan pengetahuan baru secara tak terduga namun tetap sah secara metode ilmiah.

    Jejak Historis Serendipitas

    Asal-usul kata "Serendipity", pertama kali dipopulerkan oleh Horace Walpole pada abad ke-18, yang terinspirasi dari kisah tiga pangeran Serendip (dari Sri Lanka). Para pangeran ini selalu beruntung dan menemukan sesuatu yang tidak mereka cari, kemudian hal itu menjadi sebuah metafora untuk beberapa penemuan dalam sains, seperti penemuan penisilin oleh Alexander Fleming, pulsar oleh Jocelyn Bell, gelombang mikro oleh Percy Spencer hingga obat Viagra yang menunjukkan bagaimana penemuan yang bersifat acak pada hakikatnya tidaklah sepenuhnya “acak”. Ia terjadi dalam konteks intuisi ilmiah, struktur nilai, dan kemampuan kognitif si peneliti untuk “melihat makna” dari ketidaksengajaan yang ia lakukan.

    Konsep sebagai Konstruksi Intelektual

    Dalam konteks serendipitas, Merton memperlihatkan bahwa “Penemuan Tak Sengaja” bisa menjadi batu loncatan bagi sains jika dan hanya jika ada kerangka konseptual tersebut siap untuk menerimanya. Dengan kata lain, kejutan ilmiah bukanlah semata sebuah “Anugerah”, tetapi juga merupakan ujian kesiapan intelektual. “Chance favors the prepared mind,” kata Louis Pasteur. Merton sejalan dengan konsep ini, tetapi dengan narasi tambahan, kesempatan juga beroperasi dalam medan sosial yang memediasi makna, legitimasi, dan tindak lanjut. Dalam hal ini, Merton berbeda dari sosiolog struktural-fungsionalis lainnya. Ia percaya bahwa kekuatan sains sosial justru terletak pada kemampuannya merumuskan konsep-konsep yang bisa menjelaskan, menghubungkan, dan memicu penelitian lintas disiplin.

    Tantangan Sistemik: Metodologi yang terlalu kaku, Justru Akan Membunuh Inovasi

    Manuskrip yang ditulis oleh Merton dan Barber menjadi kritik terhadap mitos positivistik tentang ilmu yang selama ini dianggap sebagai proyek rasional, linier, dan serba terencana. Keberadaan serendipitas mendisrupsi narasi ini. Ia membuka celah bukti bahwa ilmu sering bergerak zig-zag, terantuk oleh kebetulan, dilintasi intuisi, bahkan dipandu oleh error dari sebuah kreasi.

    Dengan demikian, serendipitas tidak membatalkan rasionalitas, tetapi justru melengkapinya. Ia menghadirkan nuansa dalam dinamika ilmu, bahwa pengetahuan juga lahir dari ruang tak terduga, dari rekayasa sosial, dan dari kemampuan manusia untuk membaca makna dalam ketidakteraturan.

    Ironisnya, sistem sains modern kerap tidak ramah terhadap serendipitas. Ketika proposal riset harus memuat roadmap experiment secara rigid, ketika keberhasilan diukur dari kesesuaian terhadap hypothesa, maka tidak akan ada lagi tempat bagi hasil experiment yang bersifat anomali. Padahal, penemuan besar justru sering lahir dari apa yang tampak sebagai “kesalahan”.

    Serendipitas membutuhkan ruang untuk gagal, ruang untuk bermain, dan ruang untuk menyimpang dari rencana awal. Oleh karena itu, reformasi sistem pendanaan riset perlu mempertimbangkan pentingnya ketidakterdugaan. Bila tidak, kita hanya akan mencetak peneliti yang hanya mengutamakan efisiensi, namun minim akan inovasi.

    Serendipitas di Era Digital dan Big Data

    Sayangnya, satu hal yang terasa kurang adalah refleksi terhadap relevansi konsep ini di era modern. Dalam dunia yang terisi oleh big data, machine learning, dan eksplorasi tak berujung terhadap variabel-variabel tak terduga, keberadaan serendipitas menjadi semakin relevan. Banyak temuan mutakhir dalam bioinformatika, astrofisika, dan epidemiologi justru terjadi karena algoritma yang menemukan korelasi yang tidak dicari oleh ilmuwan di awal hypothesa.

    Namun apakah itu masih bisa disebut “serendipitas”? Jika penemuan acak terjadi melalui mesin, bukan intuisi manusia, apakah makna sosial dan epistemologisnya masih sama? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dikembangkan lebih lanjut, dan yang sayangnya saat ini belum tersentuh dalam beberapa kajian ilmiah.

    Menormalisasi Ketidaksengajaan Ilmiah dan Ekosistem Kolaboratif

    Di tengah tuntutan pada linearitas, output riset yang terukur, dan birokratisasi ilmu yang kian rigid, esai ini mengajak kita untuk kembali menormalisasi ruang bagi ketidaksengajaan. Bahwa tidak semua pengetahuan lahir dari hipotesis yang disusun secara rapi. Bahwa dalam dunia ilmu, sering kali kita menemukan sesuatu yang tak dicari, dan justru karena itulah ilmu tetap hidup dan berkembang.

    Seringkali, kita mengaitkan serendipitas dengan sosok individu yang jenius. Namun serendipitas, justru sering terjadi dalam jejaring sosial, yakni lingkungan yang mendukung, kolaborasi lintas disiplin, serta ketersediaan dana dan waktu untuk mengejar ide-ide baru. Inovasi bukanlah produk pemikiran dari seorang individu semata, melainkan dari ekosistem. Jika kita ingin menumbuhkan lebih banyak penemuan tak terduga, maka yang harus dibangun bukan hanya kapasitas individu, tetapi juga ruang kolaboratif yang cair, terbuka, dan lintas batas.

    Mengelola yang Tak Terkelola

    Serendipitas bukan pengganti metode, tetapi pengingat bahwa metode yang baik pun harus membuka ruang akan adanya kejutan. Dan seperti yang dicontohkan Merton, penemuan yang paling jitu bukan selalu berupa teori besar, namun dapat berupa konsep kecil yang mencerahkan. Di situlah kekuatan sains yang sebenarnya.

    Serendipitas memang paradox, ia tak bisa direncanakan, tapi bisa diciptakan kondisinya. Ia tak bisa dipaksa muncul, tapi bisa dipupuk lewat pola pikir yang terbuka, sistem yang fleksibel, dan keberanian untuk bertanya saat menemukan hal aneh dalam experiment.

    Di tengah era yang semakin terdikte oleh angka, prediksi, dan efisiensi, mungkin sudah waktunya kita beri tempat bagi yang tak terduga. Karena dalam banyak hal, sains berkembang bukan karena kita tahu ke mana harus pergi, tetapi justru karena kita tersandung sesuatu yang membuat kita bertanya mengapa?.

    Referensi:
    • Campa, R. (2008). Making science by serendipity. Journal of Evolution and Technology, 17. Retrieved from https://jetpress.org/v17/campa.htm
    • Ross, W., Copeland, S., & Firestein, S. (2024). Serendipity in scientific research. Journal of Trial & Error. https://doi.org/10.36850/v91j-7541
    • Pyung, S., Lee, M., Zhang, Y., & Chen, H. (2025). Serendipity in science. Carlson School of Management & Boston University.
     
    Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia