Benarkah Buku lebih Berdampak Nyata Daripada Jurnal Ilmiah?

Memang benar bahwa beberapa ilmuwan besar khususnya di bidang Humaniora dan Ilmu Sosial (HSS) lebih dikenal luas melalui karya-karya bukunya yang berdampak bagi masyarakat luas daripada publikasi jurnalnya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa dinamika akademik saat ini telah berkembang, dan publikasi di jurnal bereputasi termasuk jurnal terindex Scopus & WOS Q1-Q4 juga memainkan peran penting dalam pengakuan karya ilmiah dan penyebaran ilmu pengetahuan.

1. Buku dan jurnal memiliki fungsi yang berbeda namun saling melengkapi. Buku seringkali digunakan untuk menyampaikan argumen yang kompleks dan menyeluruh, sementara jurnal memungkinkan penyebaran temuan terkini atau ide gagasan dalam bentuk yang lebih ringkas dan sistematis serta dapat diuji secara peer-review.

2. Kualitas jurnal mencerminkan standar ilmiah. Untuk bisa menerbitkan jurnal bereputasi (Terindex Scopus maupun WOS Q1-Q4) maka perlu menjalani proses review yang sangat ketat. Artikel yang diterbitkan di dalamnya seringkali menjadi rujukan utama dalam pengembangan teori dan metodologi ilmiah, khususnya dalam konteks global. Karya ini juga menjadi tolok ukur objektif untuk menilai kualitas sebuah karya ilmiah.

3. Publikasi jurnal ilmiah memperluas jangkauan pengaruh. Seringkali buku memiliki jangkauan yang terbatas pada kalangan tertentu atau bahasa tertentu, sedangkan jurnal internasional yang bereputasi dapat menjangkau komunitas akademik secara global dan berkontribusi pada diskusi ilmiah para ilmuwan secara internasional.

4. Perubahan ekosistem akademik. Di banyak negara, termasuk Indonesia, sistem penilaian akademik kini menekankan pentingnya publikasi jurnal bereputasi untuk mendorong adanya transparansi, akuntabilitas, dan standarisasi kualitas karya tulis ilmiah. Hal ini bukan berarti mengabaikan pentingnya buku, namun hal ini dapat menciptakan equilibrium baru antara dua bentuk publikasi dengan format berbeda.

5. Banyak ilmuwan besar juga aktif menulis di jurnal. Jika kita menelusuri rekam jejak beberapa ilmuwan terkemuka saat ini, mereka tidak hanya menulis beberapa buku monumental, namun juga aktif mempublikasikan artikel di jurnal akademik sebagai bagian dari proses aktualisasi karya intelektual mereka.

Narasi yang menyatakan bahwa "ilmuwan hebat hanya akan dikenal lewat buku" kurang tepat dalam konteks akademik modern. Buku sangat penting, tetapi jurnal ilmiah juga krusial. Keduanya adalah medium intelektual yang valid dan perlu dipahami dalam konteksnya masing-masing.
Artikel Selengkapnya...

Ghana Hentikan Penyalahgunaan Gelar Kehormatan (Honoris causa): Bagaimana dengan Konoha?

Baru-baru ini, Ghana membuat gebrakan di bidang akademis yang layak untuk diapresiasi dan diteladani oleh negara lain, termasuk juga negri Konoha. Melalui Komisi Pendidikan Tinggi Ghana atau “Ghana Tertiary Education Commission” (GTEC), negara tersebut secara resmi melarang adanya penggunaan gelar Doktor dan Profesor kehormatan (Honoris causa) oleh pejabat publik, termasuk didalamnya para politisi, pebisnis, dan tokoh agama. Langkah ini tidak hanya bersifat simbolik, namun juga secara substansial melindungi integritas akademik dan etika pejabat publik.

Mengutip pernyataan resmi GTEC yang dilansir Premium Times Nigeria (edisi 3 Juni 2025), penggunaan gelar kehormatan oleh pejabat publik dinilai “tidak etis dan menyesatkan”, serta berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan. Komisi tersebut menegaskan akan mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang melanggar, dan akan menyebutkan nama pelanggar secara terbuka di media name and shame.

Mengapa Langkah Kenapa Ini Penting?

Pertama, penggunaan gelar kehormatan secara tidak tepat adalah sebuah tindakan yang tidak etis. Gelar akademik seharusnya mencerminkan kerja keras intelektual, penelitian, dan kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan. Ketika gelar diberikan hanya karena posisi, kekuatan finansial, atau popularitas, maka nilainya akan merosot dan mencederai para akademisi.

Kedua, penyalahgunaan gelar honoris causa dapat menyesatkan publik. Tidak semua kalangan memahami perbedaan antara gelar akademik secara resmi dan gelar kehormatan. Seorang pejabat publik yang mencantumkan gelar “Dr.” atau “Prof.” di depan namanya dengan bebas di media dan dalam setiap dokumen negara dapat menciptakan ilusi kompetensi akademik yang sebenarnya tidak dimilikinya.

Ketiga, praktik ini membuka ruang terjadinya praktek jual-beli ijazah/ gelar. Dalam banyak kasus, gelar kehormatan diberikan oleh institusi tidak jelas atau bahkan universitas abal-abal (degree mills) dengan imbalan sejumlah uang. GTEC dalam pernyataannya menyebut fenomena ini sebagai ancaman nyata terhadap sistem pendidikan.

Terakhir, gelar kehormatan sering dipakai untuk politik praktis. Mereka yang tengah mencalonkan diri sebagai pejabat atau ingin memperluas pengaruh sosial kerap menyematkan gelar semu demi meningkatkan legitimasi. Ini adalah bentuk manipulasi simbolik yang sangat merugikan.

Layakkah Konoha Mencontoh?

Pertanyaan yang harus kita renungkan adalah: apakah kita juga berani membersihkan praktik serupa di negeri ini? Kita tak jarang melihat politisi memakai gelar kehormatan di baliho, surat resmi, dan panggung kampanye. Sering kali gelar itu berasal dari institusi yang tidak jelas atau bahkan universitas tanpa akreditasi.

Sudah waktunya lembaga-lembaga seperti Kementerian Pendidikan, BAN-PT, dan asosiasi para akademisi mengambil sikap. Jika Ghana –salah satu negara berkembang di Afrika- saja berani mengambil langkah tegas, mengapa Konoha belum?

Pelarangan pemberian gelar Honoris causa semacam ini bukan berarti menghapus penghargaan. Tapi gelar kehormatan seharusnya diberikan secara tertutup dan simbolis, bukan ditampilkan di kartu nama atau surat dinas. Ini demi menjaga makna pendidikan dan menghindari penyalahgunaan simbol akademik untuk kepentingan pribadi.

Ghana telah memberi pelajaran penting bahwa gelar Dr dan Prof bukanlah gelar yang menempel pada papan nama, melainkan simbol pencapaian dan integritas di bidang Ilmu Pengetahuan. Penyalahgunaan gelar oleh oknum pejabat publik adalah bentuk manipulasi akademik. Mari kita dorong agar negri ini mengikuti jejak langkah yang sama, demi publik yang lebih cerdas, dan pejabat yang lebih berintigritas.

Referensi:
  • Premium Times Nigeria. (3 Juni 2025). Ghana bans honorary doctorate, professor titles by public officials.
  • Legit.ng. (4 Juni 2025). Public officials banned from using honorary titles in Ghana.
  • GTEC Official Statement via GhanaWeb (31 Mei 2025).
Artikel Selengkapnya...

Politik dan Panggung Kehidupan: Ketika Politisi Berperan Sebagai Aktor

Ada satu hal yang sering kali luput dari kesadaran publik, bahkan dalam masyarakat yang mengaku melek politik sekalipun, bahwa sebagian besar politisi pada hakikatnya adalah seorang Aktor”. Mereka tampil di hadapan publik tidak hanya sebagai politisi, tetapi juga sebagai figur yang membangun narasi, memainkan emosi, dan mempersonifikasi harapan rakyat. Politik bukan hanya tentang kebijakan dan ideologi; ia juga tentang pertunjukan. Ada aktor yang begitu meyakinkan, begitu otentik, sehingga seolah-olah pantas mendapatkan penghargaan setingkat Oscar. Ada pula aktor yang terlihat setengah hati dalam memainkan perannya, sehingga nampak canggung, dan mudah terbaca topengnya, aktor yang kedua memainkan peran secara medioker.

Sejak era digital mengubah wajah politik pada pertengahan abad ke-20, Pencitraantelah menjadi unsur penting dalam dunia politik. Seperti dalam debat calon presiden AS -Richard Nixon vs. John F. Kennedy -tahun 1960. Warga Amerika yang menonton debat lewat televisi merasa bahwa JF. Kennedy "telah menang" karena penampilannya yang terlihat meyakinkan dan penuh percaya diri, sedangkan Nixon tampak lesu, grogi dan berkeringat. Padahal isi argumen mereka nyaris sama. Peristiwa ini menjadi awal dari era politik modern di mana estetika dan retorika sering mengalahkan substansi.

Politisi -sadar atau tidak- mulai menyesuaikan diri dengan dunia yang menuntut mereka menjadi "persona publik" yang menarik. Mereka mulai menyewa konsultan media, belajar cara public speaking, serta teknik untuk membaca bahasa tubuh dari lawan bicaranya. Mereka belajar bagaimana menangis di waktu yang tepat, tersenyum di tengah cobaan, dan menyentuh bahu rakyat kecil saat kamera sedang merekam.

Ini bukan teori konspirasi, melainkan realitas dalam politik kontemporer. Seperti yang disampaikan oleh sejarawan politik Christopher Lasch dalam The Culture of Narcissism (1979), politisi modern bukan lagi pemimpin substantif, melainkan tokoh publik yang piawai membangun citra. Mereka tidak memimpin dari keyakinan, melainkan dari persepsi. Lasch bahkan menyebut mereka sebagai "performers in the age of narcissism."

Kita bisa melihat jejak narasi ini dalam berbagai peristiwa sejarah dunia. Contohnya, Benito Mussolini di Italia, seorang mantan jurnalis dan orator ulung, yang membangun citra "Manusia Super" melalui teatrikalitas yang dramatis. Atau Joseph Stalin, yang awalnya tampak sebagai pemersatu bangsa, namun lambat laun membuka topengnya sebagai diktator brutal. Bahkan tokoh seperti Aung San Suu Kyi yang dulu dipuja sebagai simbol demokrasi, belakangan mendapat kritik keras karena sikap diamnya terhadap krisis Rohingya. Semua ini menunjukkan bahwa figur bisa berubah. Topeng bisa terbuka. Sejarah penuh dengan contoh semacam ini.

Oleh karena itu, adalah wajar dan sehat jika kita menyisakan ruang untuk skeptis terhadap para politisi. Skeptisisme bukanlah sinisme. Ia bukan berarti membenci semua tokoh atau mencurigai setiap langkah mereka. Skeptisisme adalah bentuk kedewasaan berpolitik—kesadaran bahwa loyalitas seharusnya ditujukan pada nilai (value), bukan pada figur (personality). Karena nilai adalah kompas moral yang relatif stabil, sedangkan figur bisa berubah oleh waktu, godaan kekuasaan, atau kelemahan lain yang sersifat manusiawi.

Terkait dengan hal ini, George Orwell dalam novelnya Animal Farm (1945) pernah mengatakan: “All animals are equal, but some animals are more equal than others.” Politik, ketika dijalankan tanpa kontrol publik dan kesadaran nilai, mudah berubah menjadi panggung manipulasi. Figur yang semula dielu-elukan bisa menjadi simbol tirani. Yang terlihat jujur hari ini, bisa terbukti korup di esok hari.

Memahami politisi sebagai aktor bukan berarti menafikan peran penting mereka dalam demokrasi. Namun, pemahaman ini membantu kita menjaga jarak kritis dan menahan diri dari pengkultusan individu. Kita perlu menyadari bahwa politik adalah ranah penuh kepentingan, pencitraan, dan permainan persepsi. Dalam lanskap seperti ini, hanya nilai “value” yang layak kita pertahankan secara loyal.

Tetaplah mencintai keadilan, memperjuangkan kebenaran, dan bersuara untuk keadaban. Tapi jangan pernah menggantungkan harapan secara total pada figur mana pun. Karena sebagaimana sejarah telah berkali-kali mengajarkan kita: wajah-wajah politik bisa berubah, tapi nilai adalah satu-satunya jangkar yang akan tetap menuntun kita.

Wallahu a’lam.
Artikel Selengkapnya...

Inflasi Gelar Profesor: Mitos atau Kesalahpahaman?

Belakangan ini, opini publik diwarnai kekhawatiran tentang meningkatnya jumlah dosen dan peneliti bergelar profesor di Indonesia. Beberapa kalangan bahkan menyebut fenomena ini sebagai "inflasi profesor"—sebuah istilah yang menyiratkan pembengkakan status akademik tanpa peningkatan kualitas ilmiah. Namun benarkah peningkatan jumlah profesor merupakan ancaman terhadap mutu pendidikan tinggi dan lembaga penelitian?

Sebelum kita menjatuhkan vonis moral atas kebijakan negara dalam bidang akademik, ada baiknya kita merujuk pada fakta. Per April 2024, jumlah profesor di Indonesia tercatat sebanyak 9.570 orang dari sekitar 330.000 dosen aktif, atau hanya sekitar 2,9% saja1. Angka ini jauh di bawah negara-negara maju: di Jerman proporsinya 15–20%2, di Amerika Serikat 10–15%3, dan di Inggris sekitar 12%4. Maka, alih-alih menyebutnya sebagai inflasi, kita sepatutnya menyadari bahwa Indonesia justru mengalami defisit profesor.


Kenaikan jumlah profesor di beberapa tahun terakhir tak lepas dari penyederhanaan birokrasi yang selama ini menjadi penghambat utama. Misalnya, Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 dan Keputusan Mendikbudristek Nomor 649/P/2023 tentang Kriteria Penilaian Angka Kredit Jabatan Akademik, memberikan ruang lebih rasional dalam mengapresiasi karya ilmiah, kinerja tridarma, serta capaian akademik lainnya. Namun perlu ditegaskan: penyederhanaan proses bukan berarti penurunan standar.


Justru, proses pengangkatan profesor kini menjadi lebih transparan dan terukur. Syarat publikasi jurnal bereputasi tetap berlaku, dan verifikasi melalui similarity check, peer review, serta asesmen substansi karya ilmiah dilakukan secara sistemik. Dengan digitalisasi sistem (misalnya melalui aplikasi SISTER Kemendikbudristek dan E-Peneliti BRIN), mekanisme penilaian menjadi lebih akuntabel dan efisien5.


Adapun tudingan bahwa karya ilmiah profesor banyak ditulis oleh pihak lain secara tidak etis, perlu disikapi hati-hati. Tidak ada bukti sistemik dan terverifikasi yang menunjukkan adanya pelanggaran secara masif. Memang, tekanan untuk publikasi bisa menciptakan pelanggaran etis, tapi itu bukan alasan untuk mencurigai secara general seluruh capaian dosen dan peneliti yang berhasil memenuhi syarat profesor. Di negara lain pun, isu etika akademik tetap menjadi bagian dari pengawasan institusional, bukan alat untuk mendelegitimasi gelar.


Faktanya, peningkatan jumlah profesor juga dipicu oleh hadirnya berbagai program afirmatif seperti Matching Fund, Kedaireka, BIMA, dan Program World Class Professor yang mendorong kolaborasi riset internasional. Hal ini mengindikasikan bahwa negara mulai serius membenahi ekosistem riset dan publikasi ilmiah. Kinerja para dosen dan peneliti juga meningkat signifikan, terlihat dari kenaikan jumlah publikasi Indonesia di jurnal bereputasi, yang kini berada di peringkat 40 besar dunia6.


Mengaitkan kenaikan jumlah profesor dengan penurunan kualitas adalah kesimpulan prematur. Justru yang dibutuhkan saat ini adalah konsistensi evaluasi mutu dan penguatan ekosistem akademik. Profesor bukan sekadar gelar, melainkan hasil dari perjalanan panjang seorang dosen & peneliti  dalam pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Mereka layak dihargai, bukan dicurigai.


 

Referensi:

1Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), Kemendikbudristek, 2024.

2Federal Statistical Office of Germany, Academic Staff by Title, 2022.

3American Association of University Professors (AAUP), Annual Report on the Economic Status of the Profession, 2023.

4Higher Education Statistics Agency (HESA), UK, 2022.

5Kemendikbudristek, Sistem Informasi Sumberdaya Terintegrasi (SISTER), 2023.

6Scimago Journal & Country Rank, 2024 .


Artikel Selengkapnya...

Karena Menjadi Siapapun Dirimu,...Engkau akan Tetap Dimusuhi

Hidup damai, adem ayem tentrem tanpa musuh tentu menjadi dambaan setiap insan. Namun apa hendak dikata, ternyata Sunatullah berkehendak lain. Bukankah dunia ini, negri cobaan dan negri ujian? Tidak ada padanya kenikmatan hakiki sebagaimana pula tidak akan ada kedamaian abadi.

Maka coba renungkanlah,…


Manakala anda memutuskan untuk menjadi orang yang baik,…tentu anda akan dimusuhi oleh orang jahat


Manakala anda memutuskan bersikap anti terhadap narkoba,….tentu anda akan dimusuhi oleh para pecandu narkoba dan dimusuhi pula oleh para mafia/ organisasi kartel obat terlarang


Manakala anda memutuskan untuk bersikap anti terhadap rokok,…tentu anda akan dibenci dan dimusuhi oleh para pecandu rokok dan produsen rokok


Manakala anda memutuskan untuk menjadi bagian dari penggiat anti rusuah tentu anda akan dibenci dan dimusuhi oleh para koruptor


Dan itu,…adalah Sunatullah


Begitu pula dengan Agama ini,….


Manakala anda memutuskan untuk menjadi seorang ahli Tauhid,…tentu anda akan dibenci dan dimusuhi oleh ahli syirik


Manakala anda memutuskan untuk menjadi pecinta Sunnah,…tentu anda akan dibenci dan dimusuhi oleh Al-Mubtadi’ah


Manakala anda memutuskan untuk menjadi penyeru Al-Haq,…tentu anda akan dimusuhi dan dibenci oleh ahlul bathil.


Dan itu,…adalah Sunatullah yang tidak dapat kita elakkan. Menjadi “abu-abu” pun terkadang tak menyelamatkanmu. Bisa jadi,..anda justru akan dimusuhi oleh kedua belah pihak. Disini anda dibenci,…dan disana keberadaan anda tidak diakui.


Jika anda membaca Sirah perjalanan hidup para Nabi dan Rasul. Apakah anda menemukan kehidupan seorang Nabi dan Rasul yang adem, ayem tentrem tanpa musuh? Lihatlah keberadaan Nabi Nuh –Alaihisallam- dengan kaumnya, lihatlah Nabi Luth –Alaihisallam- dengan umatnya, lihatlah sosok Nabi Ibrahim –Alaihisallam- dimata Raja Namrud, lihatlah keberadaan Nabi Musa –Alaihisallam- dihadapan Fir’aun, Lihatlah Nabi Isa –Alaihisallam- bagaimana beliau disikapi oleh Bani Israel. Lihatlah Rasul kita Muhammad –Shalallahualaihiwassalam- bagaimana beliau diperlakukan oleh kaum kafir Quraisy.


Padahal mereka adalah para Nabi dan Rasul. Yang Akhlak mereka adalah sebaik-baik Akhlak. Meraka adalah orang-orang yang paling penyabar, paling santun dan paling hikmah di dalam dakwah ini. Tapi toh,….meskipun demikian, Meraka tetap saja dimusuhi.


Lantas,…. siapakah diri kita ini ,….?????


“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkan mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS. al-An’aam: 112)


Maka,..tentukanlah menjadi siapa dirimu. Karena menjadi siapapun kamu,…engkau akan tetap dimusuhi.

Artikel Selengkapnya...

Sulitnya Memahami Politik di Negri Wakanda

 


Sebenarnya sudah cukup lama penulis apatis tentang dunia politik. Paling males baca berita & postingan tentang politik. Mungkin gara-gara Pilkada DKI beberapa waktu lalu, penulis jadi ikut-ikutan pom-pom hore-hore, gegara setelah “diprovokasi” oleh beberapa rekan/ kolega.

Hal yang membuat penulis apatis dan gagal paham dengan Politik di negri Wakanda adalah karena dalam politik itu sering muncul figur-figur yang mohon maaf “irrasional”, contohnya adalah Bpk Jacob Zuma ini, Mantan Presiden Afrika Selatan saat ini (Kalau mau ambil contoh politisi dalam negri, nanti takutnya kena UU ITE, kena pasal fitnah, hasutan dan perbuatan tidak menyenangkan).


Dari profil beliau tertulis, bahwa beliau ini seseorang yang beragama Kristen dan memiliki 4 orang istri (Poligami). Lah kok bisa?.....Ya ndak tahu, kok nanya saya. Sedangkan partai politik yang mengusung beliau menjadi presiden adalah partai politik yang berasaskan sosialis komunis. Saya kok jadi garuk-garuk kepala ya? Saya coba mandi,….lalu keramas. Ternyata sama saja, ndak masuk logika saya. Terus yang diperjuangkan apa coba? Mencoba mengkorelasikan beberapa hal di atas,….ternyata ilmu statistik saya belum nyampe *_^


Saya punya teman ekspatriat dari Afrika (Kamerun). Dia pernah bilang: Pak Rudi,…kalo para kaum intelektual di Indonesia ini (Para Dosen, Peneliti dan Praktisi) tidak mau terjun ke dunia politik, bisa jadi,…suatu saat nanti negri ini akan dikuasai oleh orang-orang seperti “itu”. Tapi ya entahlah,… La bidang riset saya itu di “Life Science” ,…..masak ya harus mengurusi dunia politik segala? 


Kata orang, politik itu “kejam” yah,..kejam. Anda yang seorang Sarjana, Master/ Magister atau bahkan seorang Doktor/ Phd sekalipun, bisa jadi….. popularitas anda akan dikalahkan oleh seseorang yang mohon maaf, SD saja tidak lulus (contohnya Bpk JZ ini). Kompetensi dan Dedikasi anda selama ini menjadi seperti tak berarti,….


“Politik itu kotor”, ada yang bilang terjun ke dunia politik itu seperti nyemplung ke dalam “Septic Tank” mau tidak mau, pasti akan bersenggolan dengan yang kotor-kotor. Mohon maaf kalau analoginya agak kasar, tapi ya kenyataannya saat ini memang sulit sekali kita bisa menemukan politisi yang benar-bener bersih & berintegritas.


Saya sendiri punya pengalaman pribadi saat dulu masih menjadi aktivitis Remaja Masjid di Jogja . Saya punya seorang teman dekat,..yah,..dekat sekali. Pernah ngaji bareng, shalat bareng, I’tikaf bareng, jadi panitia PHBI bareng dst.


Perubahan demi perubahan mulai muncul saat temen saya ini memutuskan untuk terjun ke dunia politik lalu “nyalon”. Nasehat demi nasehatpun mental, sampai akhirnya ia kemudian berbalik 180 derajat. Dan kini, saya seperti tidak mengenal siapa dia lagi. Fisiknya masih sama tetapi ruh & jiwanya seperti bukan dia lagi. Padahal dulu niatnya sungguh mulia, ingin memperjuangkan “umat” katanya.


Ibarat sebongkah es, ia berniat mendinginkan padang pasir. Bukannya padang pasir yang mendingin, namun justru dia sendirilah yang akhirnya mencair. Bukannya merubah, tetapi justru berubah, sebagaimana yang sudah-sudah. Lantas bagaimana caranya mendinginkan padang pasir itu? Ah,..entahlah *_^


Maka untuk Kawula Muda Wakanda yang masih memiliki cita-cita luhur nan mulia untuk mengubah Negri ini ke arah yang lebih baik. Maka saran saya,..Lakukanlah itu sedini mungkin, semuda mungkin, selagi anda masih bujang dan belum berkeluarga. Karena kalau sudah menikah,….apalagi sudah memiliki anak. Jangankan mau mengubah Indonesia,…mengubah chanel TV saja,….engkau tidak akan mampu!

Artikel Selengkapnya...

Engkau Tidak Mungkin Membenci Dirimu Sendiri, di Masa Depan!

 Seorang bijak pernah menuturkan: "Engkau tidak mungkin membenci dirimu sendiri di masa depan"

 Jika saat ini engkau hasad, iri, dengki dan membenci orang yang Shaleh,...maka selamanya engkau tidak akan pernah menjadi orang yang shaleh


Jika engkau hasad, iri, dengki serta membenci orang yang berilmu ,...maka selamanya engkau tidak akan pernah memiliki ilmu


Jika engkau hasad, iri, dengki dan membenci orang yang sukses ,...maka selamanya engkau tidak akan pernah menjadi sukses


Jika engkau hasad, iri, dengki dan membenci orang yang kaya ,...maka selamanya engkau tidak akan pernah menjadi kaya

 


Karena engkau,....tidak mungkin membenci dirimu sendiri di masa depan

 

Artikel Selengkapnya...

Apakah Hakekat Kebenaran itu?..... What is the ultimate truth?

  Di dalam kitab Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- pernah memberikan definisi serta batasan dari makna kata “Dhallin”, beliau berkata: 

“Orang yang sesat,…adalah orang yang menyangka bahwa dirinya itu berada di atas jalan kebenaran, sedangkan dia sendiri tidak tahu,…..apa itu kebenaran?” 

Lantas apa sih kebenaran itu? Ada yang berpendapat bahwa kebenaran itu adalah sesuatu yang sesuai dengan hati nurani dan akal sehat. Namun kemudian timbul beberapa pertanyaan:


1.Apabila hati nurani saya dengan hati nurani anda berbeda dan hati nurani fulans (orang lain jamak) juga berbeda, lantas hati nurani siapakah yang berada di atas kebenaran dan hati nurani siapakah yang bisa dijadikan sandaran atas nilai kebenaran itu?


2.Apabila akal sehat saya dengan akal sehat anda berbeda serta akal sehat fulans juga berbeda, lantas akal sehat siapakah yang berada di atas kebenaran dan akal sehat siapakah yang bisa dijadikan rujukan atas nilai kebenaran itu?


3.Apabila dikatakan sesuai dengan akal sehat, tentu akan ada akal yang sakit. Terus siapa Dokter/ Psikolog yang berhak menentukan bahwa si A akalnya sehat dan si B akalnya sakit. Dokter/ Psikolognya siapa?????


Ada lagi yang berpendapat bahwa kebenaran itu sesuatu yang bersifat relatif/ nisbi. Tapi kemudian ada pertanyaan lagi, bagaimana hal itu bisa terjadi? Bagaimana mungkin sesuatu yang berbeda dan bertentangan antara satu dengan yang lain kemudian dikatakan dua-duanya sama dan dua-duanya benar? Tiga-tiganya sama dan tiga-tiganya benar, Empat-empatnya sama dan empat-empatnya benar dst.


Jika kebenaran itu nisbi tentu saat lulus dari kuliah dulu transkrip nilai kita sama semuanya, IPK kita sempurna (Summa Cum laude/ 4.00). Karena kebenaran itu relatif maka Dosen tidak boleh merasa benar sendiri kemudian menghukumi mahasiswanya salah, karena apa yang ditulis oleh mahasiswa di lembar jawaban saat ujian dulu adalah benar menurut hati nuraninya masing-masing.


Begitu juga dengan penyelenggara test kompetensi, TPA, TOEFL dll, karena kebenaran itu relatif maka penyelenggara test harusnya menghormati serta menghargai pilihan-pilihan peserta test dan tidak boleh menyalahkan pilihan jawaban mereka. Karena kebenaran itu relatif maka pada saat lulus dari kuliah dulu IPK kita 4.00 dan skor test kita sempurna. Semuanya senang, semuanya happy,…itu ekspektasinya…… tapi realitanya??????


Jadi kesimpulannya,….Apa sih kebenaran itu??  What is the ultimate truth? 

Silahkan direnungkan,…..mudah-mudahan anda dapat menemukan titik temu!!!!

Artikel Selengkapnya...

Apakah menjadi kaya itu sesuatu yang tercela?

Menjadi kaya bukanlah sesuatu yang tercela, akan tetapi cara untuk menjadi kaya serta digunakan untuk apa kekayaan itulah yang menentukan seseorang itu tercela atau mulia.

Nabi Daud dan Nabi Sulaiman -Alaihisallam- adalah seorang Raja dan memiliki kekayaan yang tak seorangpun mampu menandinginya di zamannya, akan tetapi mereka berdua dikenal sebagai pribadi yang shaleh serta Zuhud terhadap dunia.

Dunia ada di genggaman tangannya akan tetapi hati mereka di akherat.

Menjadi kaya itu bukanlah ketika kamu mampu membeli segala sesuatu,...... 
Namun menjadi kaya itu adalah, ketika segala sesuatu..........
tidak mampu membelimu,.....membeli prinsipmu,.....membeli integritasmu...
Artikel Selengkapnya...

Bagaimana Pandangan Islam tentang Rasisme?

Tidak ada keutamaan orang Arab atas orang ajam (non Arab). Tidak pula Orang Asia atas bangsa Eropa. Islam tidak pernah mengatakan bahwa orang Arab lebih mulia sementara orang Bule (Eropa) tercela.

Di Arab sendiri kita mengenal sosok yang bernama Abu Jahal, Abu Lahab, Abdullah bin Ubay bin Salul dan yang semisal dengan mereka. Tidaklah disebut nama mereka, kecuali umat Islam mendoakan dengan doa kejelekan untuk mereka. Laknatullah alaih (Semoga Allah Ta'alla melaknat mereka). Padahal mereka bertiga adalah orang-orang Arab.
Kitapun mengenal Ulama besar yang bernama Muhammad bin Ismail Al-Bukhari atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari? Darimana beliau berasal? Dari negri Bukhara (Eropa Timur) beliau adalah orang yang berkulit putih.
Kitapun mengenal Sahabat Nabi yang bernama Suhaib Ar-Rumi. Meskipun ahli sejarah berpendapat bahwa Sahabat Suhaib tidak asli keturunan bangsa Romawi akan tetapi disebutkan dalam kitab Tarikh bahwa beliau seseorang yang berambut pirang (Orang bule).
Tidaklah disebut nama Imam Bukhari kecuali umat Islam mendoakan kebaikan untuk beliau -Rahimahullah- (Semoga Allah Ta'alla Merahmati beliau). Dan Tidaklah disebut nama Sahabat Suhaib Ar-Rumi kecuali diiringi doa -RadhiAllahuanhu- (Semoga Allah Ta'alla Meridhainya).
Maka siapapun anda? Apakah anda orang Arab, Orang Tiongkok, Orang Jawa, Orang Sunda, Orang Batak, Orang Papua. Apakah anda orang berkulit putih, sawo matang maupun berkulit gelap. Apakah anda berambut lurus, bergelombang maupun berambut keriting. Disisi Allah Ta'alla anda adalah sama, yang membedakan hanyalah keimanan dan ketakwaannya, itu saja.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)
Anda yang tampan, yang cantik maupun anda yang biasa-biasa saja, dimata Allah Ta’alla anda adalah sama. Anda menjadi orang kaya maupun menjadi orang miskin, Allah Ta’alla tidak membeda-bedakannya. Tetapi Allah Ta’alla melihat kepada hati dan juga amal-amalan kita.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata: Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa (wajah) kalian dan tidak pula harta-harta kalian akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amalan-amalan kalian" (HR. Muslim)
Artikel Selengkapnya...
 
Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia