Indonesia Negeri Paling Dermawan, Perlukah Tata Kelola Pengumpulan Donasi?

Baru-baru ini, Charities Aid Foundation (CAF) kembali menempatkan Indonesia di peringkat nomor satu dalam World Giving Index (WGI) 2024. Prestasi ini tentu membanggakan. Indonesia tercatat sebagai “negara paling dermawan di dunia”, mengungguli negara-negara maju dan kaya seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Emirat Arab, hingga Arab Saudi.

Namun, ketika euforia ini menyeruak, muncul juga pertanyaan kritis: kok bisa? Bukankah ekonomi Indonesia belum sekuat negara-negara Barat atau Timur Tengah? Apakah dermawan kita benar-benar setulus itu, atau ada sisi lain yang perlu dicermati?

Dermawan karena Partisipasi, Bukan Jumlah

Perlu diketahui, bahwa variable WGI tak mengukur seberapa besar total donasi yang terkumpul di sebuah negara. Indeks ini menilai dari tingkat partisipasi masyarakat dalam aksi memberi: membantu orang asing, berdonasi uang, dan menjadi relawan.

Di Indonesia, partisipasi itu sangat tinggi:
·         9 dari 10 orang dewasa pernah berdonasi.
·         Hampir 7 dari 10 orang membantu orang asing.
·         Sekitar 6 dari 10 orang terlibat dalam kegiatan sukarela.

Inilah wajah Indonesia yang penuh empati. Budaya gotong royong dan solidaritas memang telah mendarah daging dalam kehidupan kita.

Sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya berbagi, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 261)
Dan sabda Rasulullah -Shallallahu ’alaihi wasallam-:
"Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah yang memberi, dan tangan di bawah adalah yang meminta." (HR. Bukhari dan Muslim)
Celah Penyelewengan di Era Sosial Media

Namun, fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa kedermawanan tanpa sistem pengawasan yang kuat bisa menjadi ladang subur bagi penipuan berkedok donasi. Di banyak negara maju, setiap lembaga penggalang dana wajib terdaftar resmi, laporan keuangannya diaudit, dan diawasi ketat untuk mencegah penyalahgunaan. Di Indonesia, pengawasan semacam ini masih lemah. Siapa saja bisa dengan mudah menggalang dana, bahkan hanya bermodal media sosial.

Kasus pasangan selebgram muslim mualaf di Inggris beberapa tahun silam menjadi contoh nyata, bagaimana kedermawanan publik bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Pasangan ini tampil seolah pasangan muslim yang taat: sang wanita berhijab, sang pria bersorban dan berjenggot, dan keduanya rajin mempublikasikan aktivitas keagamaan mereka, mulai dari sholat jamaah bersama keluarga hingga kegiatan pengajian bersama. Dengan citra islami yang mereka publikasikan, mereka berhasil menggaet banyak pengikut dari kalangan muslim semi-liberal di Inggris.

Dari ketenaran itu, mereka menggalang donasi hingga ratusan ribu poundsterling, yang konon diperuntukkan untuk muslim Rohingya, korban banjir di India, dan lainnya. Namun, dugaan kehidupan ganda mereka terbongkar saat netizen menemukan foto-foto yang menunjukkan gaya hidup mewah mereka di “second account” Instagram mereka. Tak hanya itu, muncul pula dugaan penyalahgunaan dana donasi yang berbuntut pembekuan dana tersebut oleh pihak berwenang.

Pelajaran penting dari kasus ini: bukan atribut agamanya yang salah, bukan hijabnya, bukan sorban atau jenggotnya. Yang keliru adalah orang-orang yang menjadikan agama sebagai komoditas dagangan untuk meraih keuntungan pribadi. Sosial media menjadi wahana subur untuk itu. Karena itulah kita, sebagai masyarakat, perlu lebih waspada dan menggunakan akal sehat dalam setiap interaksi digital kita.

Di sinilah pentingnya kita mengingat peringatan Nabi -Shallallahu ’alaihi wasallam-:
"Barang siapa menipu, maka ia bukan termasuk golonganku." (HR. Muslim)
Sungguh celaka orang yang menjadikan agama sebagai komoditas untuk meraih keuntungan pribadi.

Saatnya Tata Kelola Donasi Lebih Baik

Prestasi Indonesia di WGI 2024 sepatutnya menjadi momen refleksi: budaya berbagi harus diimbangi dengan budaya akuntabilitas. Pemerintah bersama lembaga-lembaga seperti BAZNAS, Kemenag, OJK, dan aparat penegak hukum harus memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap aktivitas penggalangan dana. Laporan keuangan harus transparan, audit wajib dilakukan, dan masyarakat harus lebih kritis sebelum menyalurkan donasi.

Sesuai dengan perintah Allah -Subhanahu wa ta'ala-agar amanah dijaga dengan baik:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil..." (QS. An-Nisa: 58)
Jangan sampai, karena ulah segelintir oknum, kepercayaan masyarakat pada aksi sosial justru runtuh. Jangan pula semangat berbagi kita tercoreng hanya karena kita lengah membedakan mana derma sejati dan mana tipu daya berkedok amal.

Kedermawanan adalah aset moral bangsa. Agar tetap mulia, ia harus dilandasi kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab. Di era digital, di mana penggalangan dana begitu mudah dilakukan, mari kita saling mengingatkan untuk berbagi dengan hati bersih dan akal yang sehat.
Artikel Selengkapnya...

Parkirologi, Jurusan Baru yang Gajinya Bisa Mengalahkan Lulusan S2 & S3

Yogyakarta kembali bikin geger, bukan karena demo mahasiswa atau konser Sheila on 7, tapi karena eksperimen seorang mahasiswa yang banting setir jadi tukang parkir selama seminggu. Hasilnya mengejutkan. Rp 2,5 juta cair, cash, tanpa revisi, tanpa skripsi, dan yang paling penting: tanpa tanda tangan dosen pembimbing.

“Wkwkwkwk... Ngalahin gaji dosen lulusan S2-S3 di kampus Jogja yg masih level Asisten Ahli!” tulis netizen, setengah ngakak setengah nangis. Ironis? Tentu. Kocak? Jelas. Miris? Sangat.

Coba bayangkan, seorang dosen yang kuliah bertahun-tahun, melewati badai tesis, publikasi dan disertasi, cuma dibayar seadanya. Sementara mahasiswa yang biasa ngopi di angkringan dan nugas mepet deadline, tiba-tiba bisa ngalahin slip gaji dosennya cuma dengan rompi oranye dan peluit. Kalau ini bukan plot twist hidup, entah apa lagi namanya.

Mungkin sudah saatnya universitas membuka jurusan baru: Parkirologi Terapan. Kurikulumnya simpel:

·         Semester 1: Teknik Peluit dan Bahasa Tubuh
·         Semester 2: Manajemen Uang Receh dan Strategi "Mas, Parkirnya 2 ribu Ya"
·         Semester 3: Etika Menunduk Saat Dikasih Uang
·         Semester 4: Magang di Pasar, Mall, Mie Gacoan dan Warung Kopi Hits

Lulusannya dijamin cepat kerja, tidak terikat jam kerja, dan bebas skripsi. Bandingkan dengan mahasiswa jurusan sastra atau fisipol yang lulusannya kadang masih bingung antara idealisme dan isi dompet.

Tapi jangan salah, ini bukan ajakan untuk menyerah pada dunia akademik. Pendidikan tetap penting, Lik! Minimal buat ngerti kalau uang Rp 2.500.000 seminggu itu berarti Rp 10 juta sebulan. Cuma, eksperimen ini bikin kita bertanya: kenapa yang berkeringat & harus mikir malah kalah sama yang berkeringat ngatur motor?

Mungkin jawabannya sederhana: di Indonesia, gelar bukan jaminan sejahtera, tapi parkir bisa. Dua ribumu tidak akan membuatmu miskin, tapi bisa membuat mereka kaya raya

Artikel Selengkapnya...

Jurnal Predator: Ancaman Bagi Integritas Publikasi Ilmiah

Dalam era perkembangan pesat publikasi ilmiah jurnal berbasis open access, hadir fenomena mengkhawatirkan berupa predatory journals atau jurnal predator. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Jeffrey Beall, seorang pustakawan dari University of Colorado Amerika Serikat, untuk menyebut penerbit yang mengeksploitasi skema open access demi keuntungan pribadi semata, dengan mengorbankan integritas ilmiah dan etika publikasi. Elmore dan Weston (2020) dalam Brief Communication di jurnal Toxicologic Pathology memberikan penjelasan yang cukup komprehensif bagi para penulis agar dapat mengenali dan menghindari jebakan dari jurnal predator.

Ciri-Ciri Jurnal Predator

Jurnal predator sekilas terlihat sekan-akan seperti jurnal ilmiah yang bereputasi, namun sejatinya menjalankan praktik yang tidak etis. Beberapa ciri utama dari jurnal predator diantaranya:

  • Tidak ada review jurnal atau jika mengklaim adanya peer review, tidak dilakukan secara benar atau hanya formalitas semata.
  • Memasang metrik seperti impact factor palsu yang tak dapat diverifikasi.
  • Menawarkan janji publikasi dalam waktu sangat cepat dan tidak realistis (hitungan hari dan minggu).
  • Menerima artikel apa pun selama penulis membayar, tanpa memperhatikan mutu konten atau relevansinya dalam dunia akademik.
  • Mencantumkan dewan editor palsu atau tanpa izin mereka.
  • Menggunakan nama atau situs yang mirip dengan jurnal ternama.
  • Kurang transparan soal biaya publikasi (article processing charge, APC) hingga penulis terjebak membayar mahal tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya.

Dampak Negatif Publikasi di Jurnal Predator

Publikasi di jurnal predator memiliki konsekuensi serius, antara lain:

  1. Merusak kualitas komunikasi ilmiah: Artikel bermutu rendah atau bahkan menyalahi metodologi ilmiah dapat lolos tanpa tinjauan dari pakar secara obyektif (blind review), sehingga berisiko menyebarkan informasi yang salah dan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan.
  2. Mengurangi visibilitas dan dampak riset: Jurnal predator jarang diindeks di basis data bereputasi seperti WOS atau SCImago. Akibatnya, karya penulis sulit ditemukan dan jarang dikutip oleh peneliti lainnya.
  3. Kerugian finansial dan kehilangan karya: Penulis harus membayar APC dengan biaya tinggi, namun artikel bisa dipublikasikan tanpa persetujuan (tanpa proses Galley Proof) terlebih dahulu atau bahkan artikel dapat terhapus dari database tanpa pemberitahuan kepada penulis, sehingga sulit diterbitkan ulang di jurnal lain.

Strategi Menghindari Jurnal Predator

Beberapa langkah praktis yang dapat kita lakukan untuk menghindari Jurnal Predator, di antaranya:

  • Periksa penulisan dan tata bahasa di archive situs jurnal tersebut; banyaknya kesalahan typo pada paper bisa menjadi indikator adanya penipuan.
  • Pastikan proses peer review dan biaya publikasi tercantum dengan jelas di website jurnal.
  • Cek apakah jurnal terindeks di database kredibel seperti WOS atau SCImago.
  • Verifikasi keanggotaan jurnal di organisasi etika publikasi seperti COPE, DOAJ, atau OASPA.
  • Manfaatkan alat bantu seperti Think. Check. Submit. untuk menilai kredibilitas jurnal.

Jurnal predator merupakan ancaman nyata bagi dunia akademik karena dapat menggerus kepercayaan publik terhadap publikasi ilmiah. Oleh sebab itu, penting bagi dosen dan peneliti untuk bersikap kritis, teliti, dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia guna memastikan jurnal yang dituju benar-benar bereputasi. Dengan begitu, integritas ilmiah tetap terjaga, dan upaya riset yang dilakukan dapat memberikan kontribusi nyata bagi ilmu pengetahuan.

Referensi:
Elmore SA, Weston EH. Predatory Journals: What They Are and How to Avoid Them. Toxicologic Pathology. 2020; 48 (4):607-610. doi:10.1177/ 0192623320920209

Artikel Selengkapnya...

Di Tengah Minimnya Dana Riset, Publikasi Ilmiah Indonesia Tembus Peringkat 37 Dunia versi Scimago

Jika kita membuka laman Scimago Journal & Country Rank, sebuah portal website berbasis data dari publikasi Scopus yang mengukur produktivitas ilmiah tiap negara, maka kita akan melihat bahwa dominasi Amerika Serikat masih sangat kuat. Jumlah publikasi ilmiah dari Negeri Paman Sam jauh melampaui negara lain. Namun, China dengan laju eksponensialnya kini menduduki peringkat kedua dan diprediksi akan segera menyalip AS dalam waktu dekat.

Di tengah hegemoni dua raksasa tersebut, posisi Indonesia ternyata cukup mengejutkan: kita berada di peringkat ke-37 dunia dalam output artikel jurnal ilmiah. Dalam konteks ini, Indonesia cukup unggul dari beberapa negara berkembang lainnya, bahkan dari sebagian negara yang cukup maju seperti New Zealand, Irlandia, bahkan Argentina. Di satu sisi, ini layak kita syukuri dan banggakan. Di sisi lain, hal ini menunjukkan adanya potensi besar yang kita miliki, jika para periset (kampus dan lembaga penelitian) didukung dengan kebijakan yang berpihak pada dunia sains & teknologi.

Bandingkan dengan peringkat Indonesia di FIFA yang sayangnya masih di kisaran 130-an dunia. Maka bisa dibilang, peringkat ilmiah kita di dunia jauh lebih “Kompetitif” dibanding peringkat sepakbola kita. Tentu, membandingkan keduanya mungkin seperti membandingkan apel dan jeruk, tapi ini menjadi cermin menarik, di bidang yang sering dipandang sepi, dan kurang menarik secara politik, kita justru tampil lebih baik.

Ketimpangan Dana dan Output Riset

Namun, mari kita bicara tentang satu hal yang sangat penting tapi sering luput dari perhatian: yakni tentang dana riset. Negara-negara dengan output jurnal tinggi memang umumnya memiliki investasi besar di bidang R&D (Research and Development). Berikut adalah perbandingan dana riset dari beberapa negara versi UNESCO dan OECD, 2023:

Negara

% PDB untuk R&D

Jumlah Publikasi (Scimago)

Amerika Serikat

3,45%

>1.200.000 artikel

China

2,55%

>1.000.000 artikel

Korea Selatan

4,81%

~350.000 artikel

Jepang

3,26%

~400.000 artikel

Jerman

3,14%

~450.000 artikel

Indonesia

0,24%

~31.000 artikel


Data ini menunjukkan bahwa output riset Indonesia sebenarnya tidak jelek-jelek amat jika dibandingkan dengan skala investasinya yang masih "ala kadarnya". Dengan anggaran hanya sekitar 0,24% dari PDB, hasil publikasi kita bisa dibilang cukup efisien. Namun, efisiensi ini tidak bisa terus-menerus diandalkan tanpa peningkatan kualitas dan infrastruktur yang memadai.

Pentingnya Menjadikan Riset sebagai Prioritas Bangsa

Riset bukanlah kemewahan. Ia adalah fondasi sebuah negara. Negara-negara yang mampu mengembangkan teknologi sendiri, menciptakan solusi atas masalah internal, dan membentuk kemandirian intelektual adalah negara yang mampu bertahan dalam jangka panjang. Riset adalah jalur menuju kedaulatan pangan, energi, kesehatan, hingga pertahanan dan keamanan.

Sebagai contoh, Vietnam, yang kini mulai menyalip Indonesia dalam beberapa indikator riset, telah menjadikan science and technology sebagai bagian dari strategi nasional. Mereka memahami bahwa pertumbuhan ekonomi dan daya saing global tak mungkin berkelanjutan tanpa fondasi riset yang kuat.

Indonesia pun harus mulai bergerak ke arah yang sama. Laboratorium yang memadai, sistem insentif bagi peneliti, kolaborasi antara kampus dan industri, serta keterbukaan akses terhadap data dan pendanaan harus diperbaiki secara sistemik. Dana riset bukan hanya soal anggaran, tapi soal visi dan misi jangka panjang.

Jika kita bisa bangga dengan peringkat ilmiah Indonesia di Scimago, maka itu adalah sinyal bahwa kita sebenarnya punya potensi besar. Tapi potensi saja tidaklah cukup. Tanpa dukungan ruang fiskal dan struktural yang kuat, potensi itu akan stagnan atau justru ditinggal negara lain. Maka, sudah saatnya riset menjadi prioritas nasional, bukan sekadar pelengkap visi misi saat musim kampanye.

Dan jika ada yang berkata, "Indonesia hanya jago bikin paper tapi aplikasinya mana?", maka jawabannya justru ada di sana: perbaiki jembatan antara riset dan implementasinya. Bangsa besar tidak lahir dari retorika, tapi dari kerja sunyi para ilmuwan yang diberi ruang untuk tumbuh dan berkarya.
Artikel Selengkapnya...

Kondisi Meja Kerja, Cermin Pikiran atau Sekadar Stereotip Semata?

 


"Ada yang bilang kalau kerapihan meja kerja adalah refleksi dari kejernihan cara berpikir seseorang... "

Ungkapan ini kerap kita dengar, apalagi dalam konteks produktivitas dan manajemen waktu. Meja yang rapi sering diasosiasikan dengan pikiran yang sistematis, logis, dan efisien. Tapi benarkah demikian? Ataukah ini hanya stereotip semata?

"Ah…..Ndak juga. Meja kerja sangat rapi bisa jadi karena memang ndak pernah dipakai kerja,…..wkwkwkwk."

Sebuah sindiran yang mungkin asumsinya benar. Tak semua meja rapi adalah representasi dari kerja keras. Dalam beberapa kasus, meja justru bersih karena kosong aktivitas.

Silahkan lihat gambar di atas. Itu adalah potret meja kerja Albert Einstein, yang terlihat berantakan, penuh kertas, buku, dan catatan yang tampak acak-acakan. Tapi siapa yang bisa meragukan kedalaman berpikir dan kontribusi ilmiahnya terhadap dunia science? Bahkan ia sendiri pernah berkata:

"If a cluttered desk is a sign of a cluttered mind, of what, then, is an empty desk a sign of?"

Meja Semrawut, Pikiran Rumit? Belum Tentu.

Penelitian psikologi modern menunjukkan perspektif yang cukup menarik. Sebuah studi dari University of Minnesota oleh Kathleen Vohs (2013) menemukan bahwa lingkungan kerja yang berantakan justru dapat mendorong kreativitas. Partisipan yang bekerja di ruangan tak rapi justru menghasilkan ide-ide yang lebih inovatif dibanding mereka yang berada di lingkungan yang tertata rapi.

Lingkungan yang tidak terorganisir, menurut Vohs, mendorong otak untuk berpikir out of the box, tidak terbatas oleh kerangka berpikir yang kaku. Ini sejalan dengan karakter banyak ilmuwan besar dan seniman yang meja kerjanya jauh dari kata rapi seperti Einstein, Mark Twain, hingga Steve Jobs.

Sebaliknya, Meja Rapi = Fokus dan Disiplin

Namun, bukan berarti meja rapi tidak ada manfaatnya. Studi yang sama juga menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang bersih dan terorganisir cenderung membuat orang mampu membuat keputusan yang lebih hati-hati. Hal ini mengindikasikan bahwa keteraturan membantu dalam pengambilan keputusan yang sistematis dan rasional.

Jadi, Mana yang Lebih Baik?

Hmmm,….tentu tergantung perpektif masing-masing sesuai pada jenis pekerjaan dan gaya berpikir masing-masing individu. Untuk pekerjaan yang menuntut ketelitian dan terstruktur, seperti akuntan atau project manajemen, meja rapi mungkin lebih terlihat elegan di mata klien. Namun untuk pekerjaan yang bersifat kreatif, konseptual, dan ilmiah, seperti penulis, peneliti, atau seniman, meja berantakan kadang justru bisa menjadi “sumber inspirasi” untuk membantu menemukan ide baru.

Pada akhirnya, meja kerja adalah perpanjangan dari cara seseorang berpikir dan bekerja. Tidak ada satu standar yang benar untuk semua. Entah rapi atau berantakan, yang penting adalah meja itu berfungsi sebagai alat bantu, bukan sekadar pajangan untuk memenuhi ekspektasi seseorang.
Artikel Selengkapnya...

Mengapa Orang Kaya Lebih Mudah Diterima di Masyarakat?

Dalam dinamika sosial masyarakat modern, sering kali kita melihat fenomena bahwa orang kaya lebih mudah diterima, disukai, dan dihormati dalam lingkungan sosial dibandingkan dengan orang miskin. Realita ini bukan hanya soal persepsi, tetapi juga berkaitan dengan kemampuan ekonomi yang memengaruhi cara seseorang membangun dan menjaga relasi sosial.

Orang kaya memiliki kelebihan dalam akses dan sumber daya yang membuat mereka lebih mudah diterima di berbagai kalangan. Mereka mampu mentraktir teman, memberi hadiah, mengundang untuk makan malam di restoran, atau bahkan membiayai acara kebersamaan yang mempererat hubungan sosial. Tindakan-tindakan ini tidak hanya dinilai sebagai kebaikan, tetapi juga membentuk citra sebagai pribadi yang dermawan dan menyenangkan. Sebaliknya, orang miskin sering kali tak memiliki kemampuan serupa. Bukan berarti mereka tidak ingin berbagi atau menjalin relasi, namun keterbatasan finansial kerap membuat mereka tampak pasif atau bahkan terkesan “menumpang” dalam pergaulan.

Dalam urusan menjaga silaturahmi, orang kaya pun memiliki keunggulan. Mereka bisa dengan mudah membeli tiket pesawat dan hadir di acara pernikahan, reuni, atau syukuran kolega yang tinggal nun jauh disana. Mereka dapat membawa oleh-oleh, hadiah, bahkan ikut memberikan sumbangan dalam acara tersebut. Keberadaan mereka dianggap sebagai bentuk perhatian yang tinggi. Bandingkan dengan orang miskin yang harus berpikir dua kali, bahkan untuk sekadar membeli tiket untuk biaya transportasi. Kadang bukan tidak mau datang, namun karena tidak mampu.

Relasi sosial juga sering dilihat dari kemampuan untuk memberi dukungan dalam beberapa momen penting para kolega. Ketika teman atau kolega diwisuda, membuka usaha, atau naik jabatan, orang kaya bisa mengirimkan bucket bunga, bingkisan, atau bahkan karangan bunga. Ini menjadi bentuk simbolis dari penghargaan dan dukungan. Orang miskin mungkin hanya bisa memberi ucapan lewat pesan singkat via WA atau komen di media sosial, mungkin niatnya tulus, namun sering kali tak dianggap setara dalam ekspresi sosial di masyarakat.

Kemampuan mobilitas juga menjadi faktor penting. Orang kaya bisa menjemput teman dari bandara atau stasiun menggunakan mobil pribadi yang nyaman. Mereka bisa menjadi tuan rumah yang baik dalam berbagai kesempatan. Sementara orang miskin? Kalaupun menjemput, mungkin hanya bisa naik motor, atau bahkan sepeda yang walau bermakna, tetap saja dianggap “kurang pantas” dalam norma sosial masyarakat hedonis.

Inilah mengapa masyarakat kita cenderung lebih "menerima" keberadaan orang kaya. Bukan semata karena kekayaan itu sendiri, tapi karena kekayaan memberi alat dan peluang untuk memperkuat relasi sosial secara nyata. Dalam masyarakat yang sering kali menilai bentuk perhatian dari besaran nilai materi, orang kaya memang punya “amunisi” lebih.

Lalu, apakah artinya orang miskin tidak punya solusi? Tentu ada. Salah satunya adalah memperkuat kualitas diri dan kehadiran yang tulus. Kejujuran, empati, kerja keras, dan integritas masih memiliki nilai tinggi dalam relasi sosial yang sehat. Selain itu, membangun jejaring dan meningkatkan pendidikan serta keterampilan bisa menjadi jembatan untuk memperluas peluang, termasuk didalamnya peluang ekonomi dan relasi. Tidak harus kaya raya, tetapi cukup agar mampu menjalin hubungan sosial yang setara dan bermakna.

Pada akhirnya, masyarakat perlu belajar untuk menilai seseorang tidak hanya dari apa yang bisa ia berikan secara materi, tapi juga dari kualitas kepribadian dan ketulusan relasi. Namun, tak bisa dimungkiri: dalam realitas sosial yang ada hari ini, orang kaya memang lebih mudah diterima karena mereka punya lebih banyak cara untuk hadir, memberi, dan menunjukkan perhatian.
Artikel Selengkapnya...

Benarkah Buku lebih Berdampak Nyata Daripada Jurnal Ilmiah?

Memang benar bahwa beberapa ilmuwan besar khususnya di bidang Humaniora dan Ilmu Sosial (HSS) lebih dikenal luas melalui karya-karya bukunya yang berdampak bagi masyarakat luas daripada publikasi jurnalnya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa dinamika akademik saat ini telah berkembang, dan publikasi di jurnal bereputasi termasuk jurnal terindex Scopus & WOS Q1-Q4 juga memainkan peran penting dalam pengakuan karya ilmiah dan penyebaran ilmu pengetahuan.

1. Buku dan jurnal memiliki fungsi yang berbeda namun saling melengkapi. Buku seringkali digunakan untuk menyampaikan argumen yang kompleks dan menyeluruh, sementara jurnal memungkinkan penyebaran temuan terkini atau ide gagasan dalam bentuk yang lebih ringkas dan sistematis serta dapat diuji secara peer-review.
2. Kualitas jurnal mencerminkan standar ilmiah. Untuk bisa menerbitkan jurnal bereputasi (Terindex Scopus maupun WOS Q1-Q4) maka perlu menjalani proses review yang sangat ketat. Artikel yang diterbitkan di dalamnya seringkali menjadi rujukan utama dalam pengembangan teori dan metodologi ilmiah, khususnya dalam konteks global. Karya ini juga menjadi tolok ukur objektif untuk menilai kualitas sebuah karya ilmiah.

3. Publikasi jurnal ilmiah memperluas jangkauan pengaruh. Seringkali buku memiliki jangkauan yang terbatas pada kalangan tertentu atau bahasa tertentu, sedangkan jurnal internasional yang bereputasi dapat menjangkau komunitas akademik secara global dan berkontribusi pada diskusi ilmiah para ilmuwan secara internasional.

4. Perubahan ekosistem akademik. Di banyak negara, termasuk Indonesia, sistem penilaian akademik kini menekankan pentingnya publikasi jurnal bereputasi untuk mendorong adanya transparansi, akuntabilitas, dan standarisasi kualitas karya tulis ilmiah. Hal ini bukan berarti mengabaikan pentingnya buku, namun hal ini dapat menciptakan equilibrium baru antara dua bentuk publikasi dengan format berbeda.

5. Banyak ilmuwan besar juga aktif menulis di jurnal. Jika kita menelusuri rekam jejak beberapa ilmuwan terkemuka saat ini, mereka tidak hanya menulis beberapa buku monumental, namun juga aktif mempublikasikan artikel di jurnal akademik sebagai bagian dari proses aktualisasi karya intelektual mereka.
Narasi yang menyatakan bahwa "ilmuwan hebat hanya akan dikenal lewat buku" kurang tepat dalam konteks akademik modern. Buku sangat penting, tetapi jurnal ilmiah juga krusial. Keduanya adalah medium intelektual yang valid dan perlu dipahami dalam konteksnya masing-masing.
Artikel Selengkapnya...

Ghana Hentikan Penyalahgunaan Gelar Kehormatan (Honoris causa): Bagaimana dengan Konoha?

Baru-baru ini, Ghana membuat gebrakan di bidang akademis yang layak untuk diapresiasi dan diteladani oleh negara lain, termasuk juga negri Konoha. Melalui Komisi Pendidikan Tinggi Ghana atau “Ghana Tertiary Education Commission” (GTEC), negara tersebut secara resmi melarang adanya penggunaan gelar Doktor dan Profesor kehormatan (Honoris causa) oleh pejabat publik, termasuk didalamnya para politisi, pebisnis, dan tokoh agama. Langkah ini tidak hanya bersifat simbolik, namun juga secara substansial melindungi integritas akademik dan etika pejabat publik.

Mengutip pernyataan resmi GTEC yang dilansir Premium Times Nigeria (edisi 3 Juni 2025), penggunaan gelar kehormatan oleh pejabat publik dinilai “tidak etis dan menyesatkan”, serta berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan. Komisi tersebut menegaskan akan mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang melanggar, dan akan menyebutkan nama pelanggar secara terbuka di media name and shame.

Mengapa Langkah Ini Penting?

Pertama, penggunaan gelar kehormatan secara tidak tepat adalah sebuah tindakan yang tidak etis. Gelar akademik seharusnya mencerminkan kerja keras intelektual, penelitian, dan kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan. Ketika gelar diberikan hanya karena posisi, kekuatan finansial, atau popularitas, maka nilainya akan merosot dan mencederai para akademisi.
Kedua, penyalahgunaan gelar honoris causa dapat menyesatkan publik. Tidak semua kalangan memahami perbedaan antara gelar akademik secara resmi dan gelar kehormatan. Seorang pejabat publik yang mencantumkan gelar “Dr.” atau “Prof.” di depan namanya dengan bebas di media dan dalam setiap dokumen negara dapat menciptakan ilusi kompetensi akademik yang sebenarnya tidak dimilikinya.

Ketiga, praktik ini membuka ruang terjadinya praktek jual-beli ijazah/ gelar. Dalam banyak kasus, gelar kehormatan diberikan oleh institusi tidak jelas atau bahkan universitas abal-abal (degree mills) dengan imbalan sejumlah uang. GTEC dalam pernyataannya menyebut fenomena ini sebagai ancaman nyata terhadap sistem pendidikan.

Terakhir, gelar kehormatan sering dipakai untuk politik praktis. Mereka yang tengah mencalonkan diri sebagai pejabat atau ingin memperluas pengaruh sosial kerap menyematkan gelar semu demi meningkatkan legitimasi. Ini adalah bentuk manipulasi simbolik yang sangat merugikan.

Layakkah Konoha Mencontoh?

Pertanyaan yang harus kita renungkan adalah: apakah kita juga berani membersihkan praktik serupa di negeri ini? Kita tak jarang melihat politisi memakai gelar kehormatan di baliho, surat resmi, dan panggung kampanye. Sering kali gelar itu berasal dari institusi yang tidak jelas atau bahkan universitas tanpa akreditasi.

Sudah waktunya lembaga-lembaga seperti Kementerian Pendidikan, BAN-PT, dan asosiasi para akademisi mengambil sikap. Jika Ghana –salah satu negara berkembang di Afrika- saja berani mengambil langkah tegas, mengapa Konoha belum?
Pelarangan pemberian gelar Honoris causa semacam ini bukan berarti menghapus penghargaan. Tapi gelar kehormatan seharusnya diberikan secara tertutup dan simbolis, bukan ditampilkan di kartu nama atau surat dinas. Ini demi menjaga makna pendidikan dan menghindari penyalahgunaan simbol akademik untuk kepentingan pribadi.

Ghana telah memberi pelajaran penting bahwa gelar Dr dan Prof bukanlah gelar yang menempel pada papan nama, melainkan simbol pencapaian dan integritas di bidang Ilmu Pengetahuan. Penyalahgunaan gelar oleh oknum pejabat publik adalah bentuk manipulasi akademik. Mari kita dorong agar negri ini mengikuti jejak langkah yang sama, demi publik yang lebih cerdas, dan pejabat yang lebih berintigritas.

Referensi:
  • Premium Times Nigeria. (3 Juni 2025). Ghana bans honorary doctorate, professor titles by public officials.
  • Legit.ng. (4 Juni 2025). Public officials banned from using honorary titles in Ghana.
  • GTEC Official Statement via GhanaWeb (31 Mei 2025).
Artikel Selengkapnya...

Politik dan Panggung Kehidupan: Ketika Politisi Berperan Sebagai Aktor

Ada satu hal yang sering kali luput dari kesadaran publik, bahkan dalam masyarakat yang mengaku melek politik sekalipun, bahwa sebagian besar politisi pada hakikatnya adalah seorang Aktor”. Mereka tampil di hadapan publik tidak hanya sebagai politisi, tetapi juga sebagai figur yang membangun narasi, memainkan emosi, dan mempersonifikasi harapan rakyat. Politik bukan hanya tentang kebijakan dan ideologi; ia juga tentang pertunjukan. Ada aktor yang begitu meyakinkan, begitu otentik, sehingga seolah-olah pantas mendapatkan penghargaan setingkat Oscar. Ada pula aktor yang terlihat setengah hati dalam memainkan perannya, sehingga nampak canggung, dan mudah terbaca topengnya, aktor yang kedua memainkan peran secara medioker.

Sejak era digital mengubah wajah politik pada pertengahan abad ke-20, Pencitraantelah menjadi unsur penting dalam dunia politik. Seperti dalam debat calon presiden AS -Richard Nixon vs. John F. Kennedy -tahun 1960. Warga Amerika yang menonton debat lewat televisi merasa bahwa JF. Kennedy "telah menang" karena penampilannya yang terlihat meyakinkan dan penuh percaya diri, sedangkan Nixon tampak lesu, grogi dan berkeringat. Padahal isi argumen mereka nyaris sama. Peristiwa ini menjadi awal dari era politik modern di mana estetika dan retorika sering mengalahkan substansi.

Politisi -sadar atau tidak- mulai menyesuaikan diri dengan dunia yang menuntut mereka menjadi "persona publik" yang menarik. Mereka mulai menyewa konsultan media, belajar cara public speaking, serta teknik untuk membaca bahasa tubuh dari lawan bicaranya. Mereka belajar bagaimana menangis di waktu yang tepat, tersenyum di tengah cobaan, dan menyentuh bahu rakyat kecil saat kamera sedang merekam.

Ini bukan teori konspirasi, melainkan realitas dalam politik kontemporer. Seperti yang disampaikan oleh sejarawan politik Christopher Lasch dalam The Culture of Narcissism (1979), politisi modern bukan lagi pemimpin substantif, melainkan tokoh publik yang piawai membangun citra. Mereka tidak memimpin dari keyakinan, melainkan dari persepsi. Lasch bahkan menyebut mereka sebagai "performers in the age of narcissism."

Kita bisa melihat jejak narasi ini dalam berbagai peristiwa sejarah dunia. Contohnya, Benito Mussolini di Italia, seorang mantan jurnalis dan orator ulung, yang membangun citra "Manusia Super" melalui teatrikalitas yang dramatis. Atau Joseph Stalin, yang awalnya tampak sebagai pemersatu bangsa, namun lambat laun membuka topengnya sebagai diktator brutal. Bahkan tokoh seperti Aung San Suu Kyi yang dulu dipuja sebagai simbol demokrasi, belakangan mendapat kritik keras karena sikap diamnya terhadap krisis Rohingya. Semua ini menunjukkan bahwa figur bisa berubah. Topeng bisa terbuka. Sejarah penuh dengan contoh semacam ini.

Oleh karena itu, adalah wajar dan sehat jika kita menyisakan ruang untuk skeptis terhadap para politisi. Skeptisisme bukanlah sinisme. Ia bukan berarti membenci semua tokoh atau mencurigai setiap langkah mereka. Skeptisisme adalah bentuk kedewasaan berpolitik—kesadaran bahwa loyalitas seharusnya ditujukan pada nilai (value), bukan pada figur (personality). Karena nilai adalah kompas moral yang relatif stabil, sedangkan figur bisa berubah oleh waktu, godaan kekuasaan, atau kelemahan lain yang sersifat manusiawi.

Terkait dengan hal ini, George Orwell dalam novelnya Animal Farm (1945) pernah mengatakan: “All animals are equal, but some animals are more equal than others.” Politik, ketika dijalankan tanpa kontrol publik dan kesadaran nilai, mudah berubah menjadi panggung manipulasi. Figur yang semula dielu-elukan bisa menjadi simbol tirani. Yang terlihat jujur hari ini, bisa terbukti korup di esok hari.

Memahami politisi sebagai aktor bukan berarti menafikan peran penting mereka dalam demokrasi. Namun, pemahaman ini membantu kita menjaga jarak kritis dan menahan diri dari pengkultusan individu. Kita perlu menyadari bahwa politik adalah ranah penuh kepentingan, pencitraan, dan permainan persepsi. Dalam lanskap seperti ini, hanya nilai “value” yang layak kita pertahankan secara loyal.

Tetaplah mencintai keadilan, memperjuangkan kebenaran, dan bersuara untuk keadaban. Tapi jangan pernah menggantungkan harapan secara total pada figur mana pun. Karena sebagaimana sejarah telah berkali-kali mengajarkan kita: wajah-wajah politik bisa berubah, tapi nilai adalah satu-satunya jangkar yang akan tetap menuntun kita.

Wallahu a’lam.
Artikel Selengkapnya...
 
Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia