Jika kita membuka laman Scimago Journal & Country
Rank, sebuah portal website berbasis data dari publikasi Scopus yang
mengukur produktivitas ilmiah tiap negara, maka kita akan melihat bahwa
dominasi Amerika Serikat masih sangat kuat. Jumlah publikasi ilmiah dari Negeri
Paman Sam jauh melampaui negara lain. Namun, China dengan laju eksponensialnya
kini menduduki peringkat kedua dan diprediksi akan segera menyalip AS dalam
waktu dekat.
Di tengah hegemoni dua raksasa
tersebut, posisi Indonesia ternyata cukup mengejutkan: kita berada di peringkat
ke-37 dunia dalam output artikel jurnal ilmiah. Dalam konteks ini, Indonesia
cukup unggul dari beberapa negara berkembang lainnya, bahkan dari sebagian
negara yang cukup maju seperti New Zealand, Irlandia, bahkan Argentina. Di satu
sisi, ini layak kita syukuri dan banggakan. Di sisi lain, hal ini menunjukkan adanya
potensi besar yang kita miliki, jika para periset (kampus dan lembaga
penelitian) didukung dengan kebijakan yang berpihak pada dunia sains &
teknologi.
Bandingkan dengan peringkat Indonesia di FIFA yang sayangnya
masih di kisaran 130-an dunia. Maka bisa dibilang, peringkat ilmiah kita di
dunia jauh lebih “Kompetitif” dibanding peringkat sepakbola kita. Tentu,
membandingkan keduanya mungkin seperti membandingkan apel dan jeruk, tapi ini
menjadi cermin menarik, di bidang yang
sering dipandang sepi, dan kurang menarik secara politik, kita justru tampil
lebih baik.
Ketimpangan
Dana dan Output Riset
Namun, mari kita bicara tentang satu
hal yang sangat penting tapi sering luput dari perhatian: yakni tentang dana riset. Negara-negara dengan
output jurnal tinggi memang umumnya memiliki investasi besar di bidang R&D
(Research and Development). Berikut adalah perbandingan dana riset dari beberapa
negara versi UNESCO dan OECD, 2023:
Negara |
%
PDB untuk R&D |
Jumlah
Publikasi (Scimago) |
Amerika
Serikat |
3,45% |
>1.200.000
artikel |
China |
2,55% |
>1.000.000
artikel |
Korea
Selatan |
4,81% |
~350.000
artikel |
Jepang |
3,26% |
~400.000
artikel |
Jerman |
3,14% |
~450.000
artikel |
Indonesia |
0,24% |
~31.000
artikel |
Data ini menunjukkan bahwa output riset Indonesia sebenarnya tidak jelek-jelek amat jika dibandingkan dengan skala investasinya yang masih "ala kadarnya". Dengan anggaran hanya sekitar 0,24% dari PDB, hasil publikasi kita bisa dibilang cukup efisien. Namun, efisiensi ini tidak bisa terus-menerus diandalkan tanpa peningkatan kualitas dan infrastruktur yang memadai.
Pentingnya
Menjadikan Riset sebagai Prioritas Bangsa
Riset bukanlah kemewahan. Ia adalah fondasi sebuah negara. Negara-negara yang mampu mengembangkan teknologi sendiri, menciptakan solusi atas masalah internal, dan membentuk kemandirian intelektual adalah negara yang mampu bertahan dalam jangka panjang. Riset adalah jalur menuju kedaulatan pangan, energi, kesehatan, hingga pertahanan dan keamanan.
Sebagai contoh, Vietnam, yang kini mulai menyalip Indonesia dalam beberapa indikator riset, telah menjadikan science and technology sebagai bagian dari strategi nasional. Mereka memahami bahwa pertumbuhan ekonomi dan daya saing global tak mungkin berkelanjutan tanpa fondasi riset yang kuat.
Indonesia pun harus mulai bergerak ke arah yang sama. Laboratorium yang memadai, sistem insentif bagi peneliti, kolaborasi antara kampus dan industri, serta keterbukaan akses terhadap data dan pendanaan harus diperbaiki secara sistemik. Dana riset bukan hanya soal anggaran, tapi soal visi dan misi jangka panjang.
Jika kita bisa bangga dengan peringkat ilmiah Indonesia di Scimago, maka itu adalah sinyal bahwa kita sebenarnya punya potensi besar. Tapi potensi saja tidaklah cukup. Tanpa dukungan ruang fiskal dan struktural yang kuat, potensi itu akan stagnan atau justru ditinggal negara lain. Maka, sudah saatnya riset menjadi prioritas nasional, bukan sekadar pelengkap visi misi saat musim kampanye.
Dan jika ada yang berkata, "Indonesia hanya jago bikin paper tapi aplikasinya mana?", maka jawabannya justru ada di sana: perbaiki jembatan antara riset dan implementasinya. Bangsa besar tidak lahir dari retorika, tapi dari kerja sunyi para ilmuwan yang diberi ruang untuk tumbuh dan berkarya.