Menjadi Ikan Besar di Kolam yang Kecil atau Menjadi Ikan Kecil di Kolam yang Besar?

Dalam perjalanan hidup, seringkali kita dihadapkan pada dilemma, bukan soal benar atau salah, tetapi soal arah dan tujuan hidup. Salah satu perumpamaan yang dapat menggambarkan pilihan dalam hidup dan karier tersebut adalah: “Apakah lebih baik menjadi ikan besar di kolam yang kecil, atau menjadi ikan kecil di kolam yang besar?” Perumpamaan ini terdengar simpel, namun menyimpan dimensi psikologis, sosial, dan sikap profesional yang cukup kompleks. Pilihan setiap orang berbeda-beda, dan setiap jalur memiliki tantangan tersendiri.

Kolam Kecil dan Kepemimpinan

Menjadi ikan besar di kolam kecil berarti berada di lingkungan yang lebih sempit, tapi dengan peluang untuk menonjol, memimpin, dan memberi dampak langsung yang lebih besar. Dalam konteks dunia akademik, hal ini tercermin pada dosen atau peneliti yang memilih berkarya di perguruan tinggi di daerah, bukan karena tidak mampu bersaing di kampus-kampus ternama, tetapi karena merasa di sana mereka bisa tumbuh dan berkontribusi lebih nyata.

Fenomena ini dikenal dengan istilah Big‑Fish‑Little‑Pond Effect (BFLPE). Menurut Marsh & Parker (1984), individu akan memiliki self-concept akademik yang lebih tinggi saat berada di lingkungan dengan tingkat kompetisi yang lebih rendah, dibandingkan dengan jika mereka berada di lingkungan kompetitif dengan standar tinggi, di mana mereka hanya akan menjadi "ikan kecil" di lingkungan tersebut (Marsh & Parker, 1984).

Penelitian Marsh & Hau (2003) yang dilakukan di 26 negara menemukan bahwa BFLPE ternyata bersifat lintas budaya dan mempengaruhi persepsi diri para responden secara konsisten. Ini menunjukkan bahwa berada di lingkungan di mana seseorang merasa mampu bersinar dapat membangun rasa percaya diri dan meningkatkan motivasi (PubMed, 2003).

Namun tentu saja, kolam kecil memiliki keterbatasan. Fasilitas bisa terbatas, akses terhadap kolaborasi akademik mungkin kurang, dan eksistensi di tingkat nasional atau internasional juga tidak optimal. Tapi dalam banyak kasus, di sanalah orang menemukan makna dan ruang untuk berkembang dengan tanpa harus mendapatkan tekanan yang tinggi.

Kolam Besar dan Tantangan Kompetisi

Di sisi lain, menjadi ikan kecil di kolam besar membuka peluang yang tidak dimiliki ketika berada di kolam kecil. Lingkungan kolaboratif berkelas dunia, fasilitas penelitian mutakhir, serta jejaring luas lintas institusi. Bagi sebagian orang, tantangan ini justru dapat memacu pertumbuhan diri secara eksponensial.

Namun, kolam besar juga membawa risiko yakni perasaan tersisih, kehilangan arah, atau terjebak dalam tekanan psikologis karena standar yang sangat tinggi. Dalam konteks ini, muncul efek lain yang disebut “Frog Pond Effect” di mana individu merasa kurang kompeten meskipun sebenarnya mereka berada di level yang tinggi, hanya karena perbandingan sosial dengan rekan-rekan di sekitarnya (Elsner & Isphording, 2015).

Bagi mereka yang belum siap mental dan kompetensinya, lingkungan seperti ini bisa memicu imposter syndrome (perasaan bahwa kita tidak pantas berada di sana), meskipun secara objektif kemampuannya dirasa cukup layak. Studi dari Academy of Management Journal (Katila et al., 2022) menunjukkan bahwa masuk ke lingkungan besar yang tidak sesuai dengan kesiapan individu bisa berdampak negatif terhadap kepercayaan diri dan performa kinerja seseorang (Katila et al., 2022).

Refleksi, Perlunya Mengukur Diri Sebelum Masuk ke Laut Lepas

Pilihan antara kolam kecil atau besar sebenarnya adalah panggilan untuk mengenali kapasitas dan kesiapan yang ada pada diri kita sendiri. Mengenal diri, baik dalam hal kompetensi, kesiapan mental, maupun visi hidup, adalah langkah penting sebelum terjun ke medan yang jauh lebih luas. Tidak semua orang siap berenang di laut lepas yang penuh dengan ikan hiu dan paus orca, sebelum mereka benar-benar terlatih mengarungi kolam yang lebih kecil.

Sebaliknya, tidak sedikit yang memilih untuk bertumbuh di kolam kecil terlebih dahulu, membangun pondasi kuat, sebelum nantinya berani menjajal kolam yang lebih besar atau bahkan masuk ke samudera yang luas.

Berenang di Jalur Sendiri

Akhirnya, pilihan antara kolam kecil dan besar bukan soal lebih baik atau lebih buruk, tetapi soal kesiapan dan arah hidup. Menjadi ikan besar di kolam kecil bukan berarti rendah hati, dan menjadi ikan kecil di kolam besar bukan berarti tidak berdaya. Keduanya bisa menjadi jalan sukses yang sah, selama dijalani dengan kesadaran penuh.

Yang penting adalah jangan sembarangan menyelam ke laut lepas hanya karena melihat orang lain mampu berenang dengan hebat. Seperti kata pepatah:
“Jangan menyelam ke laut kalau baru bisa berenang di kolam anak-anak.”
Ukur dirimu, kenali kekuatanmu, dan berenanglah dengan percaya diri di kolam yang sesuai dengan tahap pertumbuhanmu. Karena dalam setiap kolam, baik besar atau kecil, selalu ada peluang untuk belajar, bertumbuh, dan memberi dampak.

Referensi:
  • Marsh, H.W., & Parker, J.W. (1984). Determinants of student self-concept: Is it better to be a relatively large fish in a small pond even if you don’t learn to swim as well?
  • Marsh, H.W., & Hau, K.T. (2003). Big-fish–little-pond effect across 26 countries. Journal of Educational Psychology, 95(3), 593–603.
  • Elsner, B., & Isphording, I.E. (2015). A Big Fish in a Small Pond: Ability Rank and Human Capital Investment. IZA Discussion Paper.
  • Katila, R., Chen, E.L., & Piezunka, H. (2022). Reputation versus identity: The dynamics of strategic position in competitive fields. Academy of Management Journal, 65(1), 33-61.
  • MDPI Behavioral Sciences (2023). Perceived Overqualification, Career Aspirations and Motivation at Work.
  • Wikipedia (2024). Big-fish–little-pond effect, Frog Pond Effect
Artikel Selengkapnya...

Strategi Publikasi Jurnal Ilmiah Bereputasi dan Terindex Scopus Gratis (Free APC)

Dalam dunia akademik, publikasi ilmiah menjadi salah satu KPI atau tolak ukur penting untuk menilai kinerja dan kontribusi seorang peneliti/ dosen. Namun, di balik euforia “Publish or Perish”, para peneliti/ dosen kerap dihadapkan pada tantangan finansial yang cukup pelik yakni APC. Biaya publikasi (Article Processing Charges/APC) yang tinggi di jurnal-jurnal bereputasi kerap menjadi penghalang bagi banyak akademisi. Namun demikian, sejumlah alternatif yang “gratis/ free” atau tanpa APC sebenarnya masih tersedia, jika peneliti tahu harus mencari ke mana. Salah satu strategi yang bisa ditempuh adalah mencari jurnal open access yang terindeks di DOAJ (Directory of Open Access Journals), atau memilih jurnal hybrid dari penerbit besar seperti Elsevier, yang menyediakan opsi publikasi gratis (non-open access).

Mencari Jurnal Gratis: DOAJ dan Pilihan Hybrid

DOAJ merupakan direktori jurnal akses terbuka bereputasi yang menyediakan ribuan jurnal dari berbagai disiplin ilmu yang tidak memungut biaya APC. DOAJ secara aktif menyaring jurnal-jurnal yang terindikasi predator dan hanya mencantumkan jurnal yang lolos kriteria keterbukaan dan etika publikasi. Oleh karena itu, menelusuri DOAJ dan menyaring jurnal sesuai bidang masing-masing menjadi langkah strategis yang sangat penting bagi peneliti/ dosen.

Di sisi lain, beberapa penerbit besar seperti Elsevier, Springer, Wiley, dan Taylor & Francis juga menawarkan “Jurnal Hybrid”. Ini berarti, penulis dapat memilih untuk menerbitkan artikel mereka secara open access dengan membayar APC, atau secara tertutup (closed access) tanpa APC. Meskipun pilihan “Gratis” ini sangat menarik, namun ada implikasi penting yang harus menjadi bahan pertimbangan:
  1. Artikel tidak open access biasanya hanya dapat diakses oleh pengguna institusi berlangganan.
  2. Jumlah pembaca cenderung terbatas, karena akses dibatasi.
  3. Peluang jurnal untuk disitasi menjadi lebih kecil, karena pembaca yang tidak memiliki akses dan tidak bisa membaca secara langsung.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa artikel open access memiliki peluang atau probabilitas lebih tinggi untuk disitasi. Piwowar et al. (2018), pernah melakukan sebuah studi terhadap lebih dari 300.000 artikel ilmiah, yang menunjukkan bahwa artikel open access memiliki rata-rata 18% lebih banyak sitasi dibandingkan artikel yang bukan open access.

Kekurangan dan Kelebihan Publikasi Gratis/ Free APC

Kelebihan:
  • Tidak membebani peneliti dengan biaya APC yang mahal.
  • Dapat digunakan sebagai batu loncatan awal, terutama bagi peneliti muda/ pemula.
  • Legal dan etis selama diterbitkan di jurnal yang kredibel dan bereputasi.
Kekurangan:
  • Visibilitas artikel lebih rendah, terutama jika tidak open access.
  • Distribusi terbatas, karena hanya dapat diakses oleh komunitas terbatas.
  • Peluang disitasi juga berkurang, yang bisa memengaruhi jejak akademik seorang penulis dalam jangka panjang.
  • Beberapa jurnal yang menawarkan publikasi gratis sering kali memiliki waktu review lebih lama.
Oleh karena itu, pemilihan jurnal bukan hanya soal "gratis atau berbayar", tetapi juga perlu pertimbangan lain terkait strategi komunikasi ilmiah dalam jangka panjang terkait jumlah sitasi dan nilai H-index peneliti/ dosen.

Strategi Memilih Jurnal Bereputasi

Berikut beberapa strategi untuk memaksimalkan peluang publikasi tanpa biaya namun tetap berkualitas:
  1. Gunakan DOAJ sebagai pintu utama pencarian jurnal open access gratis. Cek apakah jurnal tersebut terindeks di Scopus, Web of Science, atau SINTA jika relevan.
  2. Manfaatkan jurnal-jurnal milik asosiasi keilmuan, yang sering kali tidak memungut biaya karena biaya publikasi disubsidi organisasi/ NGO.
  3. Cek kebijakan self-archiving (green open access) dari jurnal hybrid. Beberapa jurnal Elsevier mengizinkan versi accepted manuscript diunggah ke repositori institusi.
  4. Gunakan tools seperti “Journal Finder” dari Elsevier, Springer, dan Wiley untuk menyaring jurnal berdasarkan bidang, open access policy, dan APC.

Publikasi Gratis Masih Dimungkinkan, Asal Tahu Caranya

Menerbitkan artikel secara gratis masih sangat mungkin dilakukan tanpa mengorbankan kualitas, asalkan peneliti bersedia melakukan riset terlebih dahulu terhadap jurnal yang dituju. Platform seperti DOAJ memberikan kesempatan bagi banyak peneliti untuk tetap berkontribusi dalam dunia akademik secara global tanpa hambatan finansial dari APC. Namun, penting juga untuk menyadari bahwa publikasi yang tidak open access memiliki keterbatasan dalam hal keterbacaan dan peluang sitasi yang kecil.

Kunci sukses dalam publikasi bukan hanya menemukan jurnal yang gratis, tetapi juga memastikan jurnal tersebut bereputasi, sesuai scope bidang kita, dan menjangkau audiens yang tepat. Pada akhirnya, publikasi ilmiah bukanlah sekadar output, tetapi merupakan bagian dari dialog akademik yang lebih luas. Dan dalam dialog itu, keterbacaan dan dampak menjadi faktor yang tak boleh diabaikan.

Referensi:
  • Piwowar, H., Priem, J., Larivière, V., et al. (2018). The state of OA: a large-scale analysis of the prevalence and impact of Open Access articles. PeerJ, 6:e4375. https://doi.org/10.7717/peerj.4375
  • DOAJ. (2024). Directory of Open Access Journals. https://doaj.org
  • Elsevier. (2024). Open Access Options. https://www.elsevier.com/about/open-science/open-access
Artikel Selengkapnya...

Bagaimana Menjadi Ilmuwan yang Sukses?

Meniti karier di dunia sains adalah perjalanan yang panjang yang penuh lika-liku. Dalam manuskrip makalah yang berjudul "Successful Scientist: What’s the Winning Formula?" yang dirangkum dari simposium American Society for Nutrition (ASN) tahun 2014, berisi paparan sharing pengalaman dari lima ilmuwan ternama di dunia tentang apa yang diperlukan untuk menjadi ilmuwan yang sukses. Para panelis tersebut berasal dari beragam bidang dan sektor, mulai dari akademisi, industri, hingga lembaga pemerintah, dan mereka berbagi pengalaman serta prinsip yang membantu mereka untuk dapat bertahan dan berhasil di dalam meniti karir di bidang sains.

Jalan Menuju Sukses: Tidak Lurus, Tapi Berliku

Dr. Brian Wansink menggambarkan perjalanan menjadi ilmuwan sukses bukan sebagai garis lurus, melainkan sebuah garis berkelok yang penuh cabang dan persimpangan. Tantangan utama menjadi ilmuwan adalah semakin tingginya tingkat kompetisi dalam mendapatkan sumber pendanaan riset/ grant riset dan tingginya kualifikasi menjadi dosen tetap di kampus/ universitas ternama dan peneliti ahli di sebuah lembaga riset. Oleh karena itu, ilmuwan muda harus siap menghadapi kegagalan, baik dalam pengajuan dana penelitian maupun dalam submitting publikasi dari jurnal bereputasi. Namun, ada satu hal yang perlu untuk dipahami bahwa para ilmuwan besar pun dulu pernah mengalami kegagalan serupa.

Enam Strategi Utama untuk Meniti Karier Ilmiah

1. Cintai Pekerjaan Anda
Ilmuwan yang hebat mencintai pekerjaannya. Dr. Connie Weaver menekankan bahwa tujuan seharusnya bukan hanya kesuksesan, tetapi menjadi seseorang yang memberi kontibusi nyata lewat pekerjaan yang dinikmati sepenuh hati. Jika rasa cinta terhadap pekerjaan hilang, maka tidak ada salahnya untuk mulai menjajaki bidang lain yang lebih sesuai dengan passion anda.

2. Berani Mengambil Risiko
Inovasi besar dalam sains sering lahir dari keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Dr. Regan Bailey dan Dr. Wansink mengingatkan akan pentingnya bersikap terbuka atas setiap peluang yang ada dan tidak perlu takut akan sebuah kegagalan. Dalam sains, jika rencana A bisa gagal, masih ada banyak opsi lain untuk terus dicoba.

3. Pentingnya Membangun Jejaring
Networking menjadi salah satu kunci dalam membuka peluang, baik untuk kolaborasi penelitian maupun memperoleh posisi karier di kampus/ lembaga penelitian. Dr. Bailey menegaskan akan pentingnya menjalin relasi dengan tulus dan saling mendukung, bukan sekadar mencari keuntungan pribadi.

4. Hindari Terlalu Banyak Komitmen/ Janji
Dr. Marion Sewer mengingatkan pentingnya manajemen waktu dan keberanian untuk berkata “tidak”. Fokuslah pada kegiatan yang mendukung riset dan perkembangan karier, sehingga energi tidak tersita habis untuk hal-hal administratif atau kegiatan di luar fokus utama sebagai seorang ilmuwan.

5. Luangkan Waktu Untuk Healing
Ilmuwan juga manusia yang perlu waktu untuk menyegarkan diri dan pikiran. Berlibur, berolahraga, atau sekadar berkumpul bersama keluarga sangat penting untuk menjaga kesehatan mental dan fisik, sehingga tetap produktif.

6. Belajar Dari Kegagalan
Setiap kegagalan dalam riset adalah pelajaran. Dr. McBurney menyarankan untuk tidak berhenti setelah gagal, tetapi mencari tahu penyebab kegagalan dan mencoba lagi. Kegagalan adalah bagian dari proses menuju keberhasilan.

Strategi Sukses

Penjelasan Singkat

Contoh Aplikasi

Nikmati pekerjaan

Cintai apa yang Anda lakukan

Pilih topik riset yang memotivasi Anda

Ambil risiko

Berani keluar dari zona nyaman

Mencoba metodologi baru, kolaborasi lintas disiplin

Bangun jejaring

Perluas relasi profesional

Aktif di konferensi, LinkedIn

Hindari overcommit

Jangan terlalu banyak komitmen

Fokus pada komite atau proyek yang mendukung riset

Luangkan waktu pribadi

Seimbangkan hidup pribadi

Atur jadwal libur, olahraga, atau hobi

Berani gagal

Belajar dari kesalahan

Analisis kegagalan eksperimen, revisi proposal


Sepuluh Sifat yang Dimiliki Ilmuwan Sukses

Para panelis menyepakati bahwa ilmuwan sukses biasanya memiliki sebagian besar sifat sebagai berikut:
  1. Penuh semangat mengembangkan kariernya
  2. Pantang Menyerah & tangguh menghadapi kesulitan
  3. Detail namun visioner
  4. Berpikir kreatif
  5. Tekun dan gigih
  6. Menguasai bidangnya
  7. Mampu bekerja sama (kolaboratif)
  8. Bermotivasi tinggi
  9. Mampu berkomunikasi dengan baik
  10. Berpikir terbuka (open minded dan inovatif)
Satu hal yang perlu untuk kita pahami, bahwa tidak ada formula mustajab yang dapat menjamin keberhasilan ilmuwan di dunia sains. Setiap ilmuwan harus menemukan jalannya sendiri, yang sesuai dengan minat, kepribadian, dan gaya hidup mereka masing-masing. Kuncinya adalah menikmati prosesnya. Karena pada akhirnya, yang terpenting bukan hanya mencapai tujuan, tetapi juga bagaimana kita menikmati perjalanan menuju ke sana, dengan segala tantangan, kegagalan, dan keberhasilan yang diraihnya.

Referensi:
April J. Stull, Eric D. Ciappio,2014,Successful Scientist: What's the Winning Formula?, Advances in Nutrition,Volume 5, Issue 6,Pages 795-796,ISSN 2161-8313,https://doi.org/10.3945/an.114.007179.
Artikel Selengkapnya...

Kegagalan Yang Membuatmu Rendah Hati Lebih Baik daripada Kesuksesan yang Menumbuhkan Arogansi

Dalam perjalanan kehidupan, kita dihadapkan pada dua realitas yang tidak terelakkan: kegagalan dan keberhasilan di dalam hidup. Ada sebuah kutipan dari seorang bijak"A mistake that makes you humble is better than an achievement that makes you arrogant", kutipan ini mencerminkan nilai yang mendalam tentang pendidikan moral dari sebuah pengalaman hidup. Tulisan ini akan mengulas bagaimana sebuah kegagalan membentuk karakter humble atau rendah hati, dan mengapa keberhasilan yang instan dapat memicu munculnya arogansi, serta pentingnya membangun sikap rendah hati sebagai fondasi kepribadian.

Kegagalan sebagai Guru Kehidupan

Kegagalan dalam perkembangan psikologi seseorang sering dipandang sebagai tahap yang sangat penting untuk sebuah proses pembelajaran. Jean Piaget, seorang psikolog terkemuka, menyatakan bahwa proses belajar anak — dan juga orang dewasa — lahir dari proses asimilasi dan akumulasi terhadap pengalaman hidup, termasuk juga kegagalan yang dialaminya (Piaget, 1972). Kegagalan akan memaksa individu untuk meninjau ulang pemahaman, mengoreksi diri, dan dapat beradaptasi dengan realitas kehidupan yang ada.

Dalam konteks ini, kegagalan yang membawa kesadaran diri yang mendalam justru membuka jalan bagi kerendahan hati. Seorang ilmuwan besar, Sir Isaac Newton, pernah menyatakan: “If I have seen further, it is by standing on the shoulders of giants”. Meski pencapaiannya karyanya monumental, ia menyadari bahwa setiap keberhasilan yang ia capai lahir dari kerja kolaboratif dan upaya yang kolektif, bukan semata kekuatan dirinya pribadi. Kesadaran ini sering tumbuh dari pengalaman jatuh-bangun, bukan dari kemenangan yang ia raih.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fisher dan Frey (2015) menyebutkan bahwa kesalahan dalam proses pembelajaran akan mendorong perkembangan “growth mindset” yakni pola pikir yang melihat kegagalan sebagai sebuah peluang perbaikan, dan bukan akhir dari segalanya. Orang dengan growth mindset cenderung lebih rendah hati, karena memahami betapa rentannya diri terhadap kesalahan yang akan terjadi di kelak kemudian hari. Allah-Subhanahu wa ta'ala- berfirman di dalam Al-Qur’an:
"Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong. Sungguh, engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan dapat menyamai tingginya gunung." (QS. Al-Isra: 37)
"Dan apa saja musibah yang menimpamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. Asy-Syura: 30)
Keberhasilan dan Arogansi: Bahaya yang Mengintai

Berbeda dengan kegagalan yang mendewasakan, keberhasilan instan dapat menimbulkan efek sebaliknya jika tidak disertai kesadaran diri. Dalam psikologi sosial, terdapat istilah hubris syndrome, yaitu kondisi di mana seseorang yang terus-menerus mengalami keberhasilan mulai menunjukkan sikap arogansi, merasa superior, dan enggan mendengarkan masukan orang lain (Owen & Davidson, 2009). Arogansi ini dapat merusak hubungan interpersonal, menghambat kolaborasi, bahkan menjerumuskan individu pada keputusan buruk karena sifat yang terlalu percaya diri.

Studi lain dari Anderson et al. (2012) menemukan bahwa orang yang memperoleh status atau keberhasilan sering kali menilai diri lebih kompeten daripada kenyataannya (overconfidence bias). Efek ini menjadi lebih parah ketika keberhasilan diterima tanpa tantangan berarti atau tidak dikaitkan dengan sebuah refleksi diri. Rasulullah bersabda dalam sebuah haditsnya:
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat biji sawi dari kesombongan." (HR. Muslim no. 91)
"Barangsiapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya. Dan barangsiapa sombong, maka Allah akan menghinakannya."(HR. Muslim no. 2588)
Kerendahan Hati: Pilar Kepemimpinan dan Kebijaksanaan

Kerendahan hati yang lahir dari kegagalan tidak hanya membangun karakter pribadi tetapi juga menjadi kualitas utama dalam kepemimpinan yang efektif. Jim Collins dalam bukunya Good to Great (2001) menguraikan bahwa pemimpin-pemimpin hebat adalah mereka yang memiliki kombinasi antara tekad kuat dan kerendahan hati. Mereka cenderung mengakui kesalahan, belajar dari bawahannya, dan tidak mendewakan pencapaian pribadi.

Kerendahan hati membuat seseorang terus membuka diri terhadap kritik, masukan, dan pembelajaran sepanjang hayat. Ini penting bukan hanya dalam kehidupan pribadi seseorang akan tetapi juga dalam hidup bermasyarakat. Individu yang rendah hati cenderung memperkuat kohesi sosial, sedangkan arogansi justru akan memecah belah. Adapun keutamaan sifat rendah hati ini, Allah-Subhanahu wa ta'ala-sebut di dalam Al-Qur’an:
"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan 'salam'." (QS. Al-Furqan: 63)
Memaknai Proses Bukan dari Sekadar Capaian Semata

Pada akhirnya, hal ini mengajarkan kita bahwa nilai sejati sebuah proses pengalaman tidak terletak pada sukses atau gagal secara lahiriah, melainkan pada bagaimana pengalaman itu membentuk sifat hati dan akhlak kita. Kegagalan yang mengajarkan kerendahan hati adalah anugerah tersembunyi yang menuntun kita pada kebijaksanaan. Sebaliknya, keberhasilan instan yang mengaburkan pandangan kita hingga menumbuhkan arogansi adalah godaan yang sering menjatuhkan.

Sebagai refleksi, setiap individu dihadapkan pada pilihan: Apakah akan menjadikan kegagalanya sebagai guru atau cukup dengan mengagungkan prestasinya hingga ia sendiri kehilangan arah? Dunia yang penuh tantangan hari ini menuntut kita untuk lebih mengedepankan karakter, di mana kerendahan hati adalah salah satu sifat yang sangat berharga.

Referensi:
  • Anderson, C., Brion, S., Moore, D. A., & Kennedy, J. A. (2012). A status-enhancement account of overconfidence. Journal of Personality and Social Psychology, 103(4), 718-735.
  • Collins, J. (2001). Good to Great: Why Some Companies Make the Leap... and Others Don't. Harper Business.
  • Fisher, D., & Frey, N. (2015). Better learning through structured teaching: A framework for the gradual release of responsibility. ASCD.
  • Owen, D., & Davidson, J. (2009). Hubris syndrome: An acquired personality disorder? A study of US Presidents and UK Prime Ministers over the last 100 years. Brain, 132(5), 1396-1406.
  • Piaget, J. (1972). The psychology of the child. Basic Books.
Artikel Selengkapnya...

Jurnal Predator: Ancaman Bagi Integritas Publikasi Ilmiah

Dalam era perkembangan pesat publikasi ilmiah jurnal berbasis open access, hadir fenomena mengkhawatirkan berupa predatory journals atau jurnal predator. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Jeffrey Beall, seorang pustakawan dari University of Colorado Amerika Serikat, untuk menyebut penerbit yang mengeksploitasi skema open access demi keuntungan pribadi semata, dengan mengorbankan integritas ilmiah dan etika publikasi. Elmore dan Weston (2020) dalam Brief Communication di jurnal Toxicologic Pathology memberikan penjelasan yang cukup komprehensif bagi para penulis agar dapat mengenali dan menghindari jebakan dari jurnal predator.

Ciri-Ciri Jurnal Predator

Jurnal predator sekilas terlihat sekan-akan seperti jurnal ilmiah yang bereputasi, namun sejatinya menjalankan praktik yang tidak etis. Beberapa ciri utama dari jurnal predator diantaranya:

  • Tidak ada review jurnal atau jika mengklaim adanya peer review, tidak dilakukan secara benar atau hanya formalitas semata.
  • Memasang metrik seperti impact factor palsu yang tak dapat diverifikasi.
  • Menawarkan janji publikasi dalam waktu sangat cepat dan tidak realistis (hitungan hari dan minggu).
  • Menerima artikel apa pun selama penulis membayar, tanpa memperhatikan mutu konten atau relevansinya dalam dunia akademik.
  • Mencantumkan dewan editor palsu atau tanpa izin mereka.
  • Menggunakan nama atau situs yang mirip dengan jurnal ternama.
  • Kurang transparan soal biaya publikasi (article processing charge, APC) hingga penulis terjebak membayar mahal tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya.

Dampak Negatif Publikasi di Jurnal Predator

Publikasi di jurnal predator memiliki konsekuensi serius, antara lain:

  1. Merusak kualitas komunikasi ilmiah: Artikel bermutu rendah atau bahkan menyalahi metodologi ilmiah dapat lolos tanpa tinjauan dari pakar secara obyektif (blind review), sehingga berisiko menyebarkan informasi yang salah dan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan.
  2. Mengurangi visibilitas dan dampak riset: Jurnal predator jarang diindeks di basis data bereputasi seperti WOS atau SCImago. Akibatnya, karya penulis sulit ditemukan dan jarang dikutip oleh peneliti lainnya.
  3. Kerugian finansial dan kehilangan karya: Penulis harus membayar APC dengan biaya tinggi, namun artikel bisa dipublikasikan tanpa persetujuan (tanpa proses Galley Proof) terlebih dahulu atau bahkan artikel dapat terhapus dari database tanpa pemberitahuan kepada penulis, sehingga sulit diterbitkan ulang di jurnal lain.

Strategi Menghindari Jurnal Predator

Beberapa langkah praktis yang dapat kita lakukan untuk menghindari Jurnal Predator, di antaranya:

  • Periksa penulisan dan tata bahasa di archive situs jurnal tersebut; banyaknya kesalahan typo pada paper bisa menjadi indikator adanya penipuan.
  • Pastikan proses peer review dan biaya publikasi tercantum dengan jelas di website jurnal.
  • Cek apakah jurnal terindeks di database kredibel seperti WOS atau SCImago.
  • Verifikasi keanggotaan jurnal di organisasi etika publikasi seperti COPE, DOAJ, atau OASPA.
  • Manfaatkan alat bantu seperti Think. Check. Submit. untuk menilai kredibilitas jurnal.

Jurnal predator merupakan ancaman nyata bagi dunia akademik karena dapat menggerus kepercayaan publik terhadap publikasi ilmiah. Oleh sebab itu, penting bagi dosen dan peneliti untuk bersikap kritis, teliti, dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia guna memastikan jurnal yang dituju benar-benar bereputasi. Dengan begitu, integritas ilmiah tetap terjaga, dan upaya riset yang dilakukan dapat memberikan kontribusi nyata bagi ilmu pengetahuan.

Referensi:
Elmore SA, Weston EH. Predatory Journals: What They Are and How to Avoid Them. Toxicologic Pathology. 2020; 48 (4):607-610. doi:10.1177/ 0192623320920209

Artikel Selengkapnya...

Kondisi Meja Kerja, Cermin Pikiran atau Sekadar Stereotip Semata?

 


"Ada yang bilang kalau kerapihan meja kerja adalah refleksi dari kejernihan cara berpikir seseorang... "

Ungkapan ini kerap kita dengar, apalagi dalam konteks produktivitas dan manajemen waktu. Meja yang rapi sering diasosiasikan dengan pikiran yang sistematis, logis, dan efisien. Tapi benarkah demikian? Ataukah ini hanya stereotip semata?

"Ah…..Ndak juga. Meja kerja sangat rapi bisa jadi karena memang ndak pernah dipakai kerja,…..wkwkwkwk."

Sebuah sindiran yang mungkin asumsinya benar. Tak semua meja rapi adalah representasi dari kerja keras. Dalam beberapa kasus, meja justru bersih karena kosong aktivitas.

Silahkan lihat gambar di atas. Itu adalah potret meja kerja Albert Einstein, yang terlihat berantakan, penuh kertas, buku, dan catatan yang tampak acak-acakan. Tapi siapa yang bisa meragukan kedalaman berpikir dan kontribusi ilmiahnya terhadap dunia science? Bahkan ia sendiri pernah berkata:

"If a cluttered desk is a sign of a cluttered mind, of what, then, is an empty desk a sign of?"

Meja Semrawut, Pikiran Rumit? Belum Tentu.

Penelitian psikologi modern menunjukkan perspektif yang cukup menarik. Sebuah studi dari University of Minnesota oleh Kathleen Vohs (2013) menemukan bahwa lingkungan kerja yang berantakan justru dapat mendorong kreativitas. Partisipan yang bekerja di ruangan tak rapi justru menghasilkan ide-ide yang lebih inovatif dibanding mereka yang berada di lingkungan yang tertata rapi.

Lingkungan yang tidak terorganisir, menurut Vohs, mendorong otak untuk berpikir out of the box, tidak terbatas oleh kerangka berpikir yang kaku. Ini sejalan dengan karakter banyak ilmuwan besar dan seniman yang meja kerjanya jauh dari kata rapi seperti Einstein, Mark Twain, hingga Steve Jobs.

Sebaliknya, Meja Rapi = Fokus dan Disiplin

Namun, bukan berarti meja rapi tidak ada manfaatnya. Studi yang sama juga menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang bersih dan terorganisir cenderung membuat orang mampu membuat keputusan yang lebih hati-hati. Hal ini mengindikasikan bahwa keteraturan membantu dalam pengambilan keputusan yang sistematis dan rasional.

Jadi, Mana yang Lebih Baik?

Hmmm,….tentu tergantung perpektif masing-masing sesuai pada jenis pekerjaan dan gaya berpikir masing-masing individu. Untuk pekerjaan yang menuntut ketelitian dan terstruktur, seperti akuntan atau project manajemen, meja rapi mungkin lebih terlihat elegan di mata klien. Namun untuk pekerjaan yang bersifat kreatif, konseptual, dan ilmiah, seperti penulis, peneliti, atau seniman, meja berantakan kadang justru bisa menjadi “sumber inspirasi” untuk membantu menemukan ide baru.

Pada akhirnya, meja kerja adalah perpanjangan dari cara seseorang berpikir dan bekerja. Tidak ada satu standar yang benar untuk semua. Entah rapi atau berantakan, yang penting adalah meja itu berfungsi sebagai alat bantu, bukan sekadar pajangan untuk memenuhi ekspektasi seseorang.
Artikel Selengkapnya...

Benarkah Buku lebih Berdampak Nyata Daripada Jurnal Ilmiah?

Memang benar bahwa beberapa ilmuwan besar khususnya di bidang Humaniora dan Ilmu Sosial (HSS) lebih dikenal luas melalui karya-karya bukunya yang berdampak bagi masyarakat luas daripada publikasi jurnalnya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa dinamika akademik saat ini telah berkembang, dan publikasi di jurnal bereputasi termasuk jurnal terindex Scopus & WOS Q1-Q4 juga memainkan peran penting dalam pengakuan karya ilmiah dan penyebaran ilmu pengetahuan.

1. Buku dan jurnal memiliki fungsi yang berbeda namun saling melengkapi. Buku seringkali digunakan untuk menyampaikan argumen yang kompleks dan menyeluruh, sementara jurnal memungkinkan penyebaran temuan terkini atau ide gagasan dalam bentuk yang lebih ringkas dan sistematis serta dapat diuji secara peer-review.
2. Kualitas jurnal mencerminkan standar ilmiah. Untuk bisa menerbitkan jurnal bereputasi (Terindex Scopus maupun WOS Q1-Q4) maka perlu menjalani proses review yang sangat ketat. Artikel yang diterbitkan di dalamnya seringkali menjadi rujukan utama dalam pengembangan teori dan metodologi ilmiah, khususnya dalam konteks global. Karya ini juga menjadi tolok ukur objektif untuk menilai kualitas sebuah karya ilmiah.

3. Publikasi jurnal ilmiah memperluas jangkauan pengaruh. Seringkali buku memiliki jangkauan yang terbatas pada kalangan tertentu atau bahasa tertentu, sedangkan jurnal internasional yang bereputasi dapat menjangkau komunitas akademik secara global dan berkontribusi pada diskusi ilmiah para ilmuwan secara internasional.

4. Perubahan ekosistem akademik. Di banyak negara, termasuk Indonesia, sistem penilaian akademik kini menekankan pentingnya publikasi jurnal bereputasi untuk mendorong adanya transparansi, akuntabilitas, dan standarisasi kualitas karya tulis ilmiah. Hal ini bukan berarti mengabaikan pentingnya buku, namun hal ini dapat menciptakan equilibrium baru antara dua bentuk publikasi dengan format berbeda.

5. Banyak ilmuwan besar juga aktif menulis di jurnal. Jika kita menelusuri rekam jejak beberapa ilmuwan terkemuka saat ini, mereka tidak hanya menulis beberapa buku monumental, namun juga aktif mempublikasikan artikel di jurnal akademik sebagai bagian dari proses aktualisasi karya intelektual mereka.
Narasi yang menyatakan bahwa "ilmuwan hebat hanya akan dikenal lewat buku" kurang tepat dalam konteks akademik modern. Buku sangat penting, tetapi jurnal ilmiah juga krusial. Keduanya adalah medium intelektual yang valid dan perlu dipahami dalam konteksnya masing-masing.
Artikel Selengkapnya...

Ghana Hentikan Penyalahgunaan Gelar Kehormatan (Honoris causa): Bagaimana dengan Konoha?

Baru-baru ini, Ghana membuat gebrakan di bidang akademis yang layak untuk diapresiasi dan diteladani oleh negara lain, termasuk juga negri Konoha. Melalui Komisi Pendidikan Tinggi Ghana atau “Ghana Tertiary Education Commission” (GTEC), negara tersebut secara resmi melarang adanya penggunaan gelar Doktor dan Profesor kehormatan (Honoris causa) oleh pejabat publik, termasuk didalamnya para politisi, pebisnis, dan tokoh agama. Langkah ini tidak hanya bersifat simbolik, namun juga secara substansial melindungi integritas akademik dan etika pejabat publik.

Mengutip pernyataan resmi GTEC yang dilansir Premium Times Nigeria (edisi 3 Juni 2025), penggunaan gelar kehormatan oleh pejabat publik dinilai “tidak etis dan menyesatkan”, serta berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan. Komisi tersebut menegaskan akan mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang melanggar, dan akan menyebutkan nama pelanggar secara terbuka di media name and shame.

Mengapa Langkah Ini Penting?

Pertama, penggunaan gelar kehormatan secara tidak tepat adalah sebuah tindakan yang tidak etis. Gelar akademik seharusnya mencerminkan kerja keras intelektual, penelitian, dan kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan. Ketika gelar diberikan hanya karena posisi, kekuatan finansial, atau popularitas, maka nilainya akan merosot dan mencederai para akademisi.
Kedua, penyalahgunaan gelar honoris causa dapat menyesatkan publik. Tidak semua kalangan memahami perbedaan antara gelar akademik secara resmi dan gelar kehormatan. Seorang pejabat publik yang mencantumkan gelar “Dr.” atau “Prof.” di depan namanya dengan bebas di media dan dalam setiap dokumen negara dapat menciptakan ilusi kompetensi akademik yang sebenarnya tidak dimilikinya.

Ketiga, praktik ini membuka ruang terjadinya praktek jual-beli ijazah/ gelar. Dalam banyak kasus, gelar kehormatan diberikan oleh institusi tidak jelas atau bahkan universitas abal-abal (degree mills) dengan imbalan sejumlah uang. GTEC dalam pernyataannya menyebut fenomena ini sebagai ancaman nyata terhadap sistem pendidikan.

Terakhir, gelar kehormatan sering dipakai untuk politik praktis. Mereka yang tengah mencalonkan diri sebagai pejabat atau ingin memperluas pengaruh sosial kerap menyematkan gelar semu demi meningkatkan legitimasi. Ini adalah bentuk manipulasi simbolik yang sangat merugikan.

Layakkah Konoha Mencontoh?

Pertanyaan yang harus kita renungkan adalah: apakah kita juga berani membersihkan praktik serupa di negeri ini? Kita tak jarang melihat politisi memakai gelar kehormatan di baliho, surat resmi, dan panggung kampanye. Sering kali gelar itu berasal dari institusi yang tidak jelas atau bahkan universitas tanpa akreditasi.

Sudah waktunya lembaga-lembaga seperti Kementerian Pendidikan, BAN-PT, dan asosiasi para akademisi mengambil sikap. Jika Ghana –salah satu negara berkembang di Afrika- saja berani mengambil langkah tegas, mengapa Konoha belum?
Pelarangan pemberian gelar Honoris causa semacam ini bukan berarti menghapus penghargaan. Tapi gelar kehormatan seharusnya diberikan secara tertutup dan simbolis, bukan ditampilkan di kartu nama atau surat dinas. Ini demi menjaga makna pendidikan dan menghindari penyalahgunaan simbol akademik untuk kepentingan pribadi.

Ghana telah memberi pelajaran penting bahwa gelar Dr dan Prof bukanlah gelar yang menempel pada papan nama, melainkan simbol pencapaian dan integritas di bidang Ilmu Pengetahuan. Penyalahgunaan gelar oleh oknum pejabat publik adalah bentuk manipulasi akademik. Mari kita dorong agar negri ini mengikuti jejak langkah yang sama, demi publik yang lebih cerdas, dan pejabat yang lebih berintigritas.

Referensi:
  • Premium Times Nigeria. (3 Juni 2025). Ghana bans honorary doctorate, professor titles by public officials.
  • Legit.ng. (4 Juni 2025). Public officials banned from using honorary titles in Ghana.
  • GTEC Official Statement via GhanaWeb (31 Mei 2025).
Artikel Selengkapnya...
 
Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia