Dalam perjalanan kehidupan, kita
dihadapkan pada dua realitas yang tidak terelakkan: kegagalan dan keberhasilan
di dalam hidup. Ada sebuah kutipan dari seorang bijak"A mistake that
makes you humble is better than an achievement that makes you arrogant",
kutipan ini mencerminkan nilai yang mendalam tentang pendidikan moral dari sebuah
pengalaman hidup. Tulisan ini akan mengulas bagaimana sebuah kegagalan membentuk
karakter humble atau rendah hati, dan mengapa keberhasilan yang instan dapat
memicu munculnya arogansi, serta pentingnya membangun sikap rendah hati sebagai
fondasi kepribadian.
Kegagalan
sebagai Guru Kehidupan
Kegagalan dalam perkembangan psikologi
seseorang sering dipandang sebagai tahap yang sangat penting untuk sebuah
proses pembelajaran. Jean Piaget, seorang psikolog terkemuka, menyatakan bahwa
proses belajar anak — dan juga orang dewasa — lahir dari proses asimilasi dan
akumulasi terhadap pengalaman hidup, termasuk juga kegagalan yang dialaminya (Piaget,
1972). Kegagalan akan memaksa individu untuk meninjau ulang pemahaman,
mengoreksi diri, dan dapat beradaptasi dengan realitas kehidupan yang ada.
Dalam konteks ini, kegagalan yang
membawa kesadaran diri yang mendalam justru membuka jalan bagi kerendahan hati.
Seorang ilmuwan besar, Sir Isaac Newton, pernah menyatakan: “If I have seen
further, it is by standing on the shoulders of giants”. Meski pencapaiannya
karyanya monumental, ia menyadari bahwa setiap keberhasilan yang ia capai lahir
dari kerja kolaboratif dan upaya yang kolektif, bukan semata kekuatan dirinya pribadi.
Kesadaran ini sering tumbuh dari pengalaman jatuh-bangun, bukan dari kemenangan
yang ia raih.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Fisher dan Frey (2015) menyebutkan bahwa kesalahan dalam proses pembelajaran akan
mendorong perkembangan “growth mindset” yakni pola pikir yang melihat kegagalan sebagai sebuah peluang
perbaikan, dan bukan akhir dari segalanya. Orang dengan growth mindset
cenderung lebih rendah hati, karena memahami betapa rentannya diri terhadap
kesalahan yang akan terjadi di kelak kemudian hari. Allah-Subhanahu wa ta'ala- berfirman di dalam Al-Qur’an:
"Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong. Sungguh, engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan dapat menyamai tingginya gunung." (QS. Al-Isra: 37)
"Dan apa saja musibah yang menimpamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. Asy-Syura: 30)
Keberhasilan
dan Arogansi: Bahaya yang Mengintai
Berbeda dengan kegagalan yang
mendewasakan, keberhasilan instan dapat menimbulkan efek sebaliknya jika tidak
disertai kesadaran diri. Dalam psikologi sosial, terdapat istilah hubris
syndrome, yaitu kondisi di mana seseorang yang terus-menerus mengalami
keberhasilan mulai menunjukkan sikap arogansi, merasa superior, dan enggan
mendengarkan masukan orang lain (Owen & Davidson, 2009). Arogansi ini dapat
merusak hubungan interpersonal, menghambat kolaborasi, bahkan menjerumuskan
individu pada keputusan buruk karena sifat yang terlalu percaya diri.
Studi lain dari Anderson et al.
(2012) menemukan bahwa orang yang memperoleh status atau keberhasilan sering
kali menilai diri lebih kompeten daripada kenyataannya (overconfidence bias).
Efek ini menjadi lebih parah ketika keberhasilan diterima tanpa tantangan
berarti atau tidak dikaitkan dengan sebuah refleksi diri. Rasulullah
bersabda dalam sebuah haditsnya:
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat biji sawi dari kesombongan." (HR. Muslim no. 91)
"Barangsiapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya. Dan barangsiapa sombong, maka Allah akan menghinakannya."(HR. Muslim no. 2588)
Kerendahan
Hati: Pilar Kepemimpinan dan Kebijaksanaan
Kerendahan hati yang lahir dari kegagalan
tidak hanya membangun karakter pribadi tetapi juga menjadi kualitas utama dalam
kepemimpinan yang efektif. Jim Collins dalam bukunya Good to Great
(2001) menguraikan bahwa pemimpin-pemimpin hebat adalah mereka yang memiliki
kombinasi antara tekad kuat dan kerendahan hati. Mereka cenderung mengakui
kesalahan, belajar dari bawahannya, dan tidak mendewakan pencapaian pribadi.
Kerendahan hati membuat seseorang
terus membuka diri terhadap kritik, masukan, dan pembelajaran sepanjang hayat.
Ini penting bukan hanya dalam kehidupan pribadi seseorang akan tetapi juga
dalam hidup bermasyarakat. Individu yang rendah hati cenderung memperkuat
kohesi sosial, sedangkan arogansi justru akan memecah belah. Adapun keutamaan sifat rendah hati ini, Allah-Subhanahu
wa ta'ala-sebut di dalam Al-Qur’an:
"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan 'salam'." (QS. Al-Furqan: 63)
Memaknai
Proses Bukan dari Sekadar Capaian Semata
Pada akhirnya, hal ini mengajarkan
kita bahwa nilai sejati sebuah proses pengalaman tidak terletak pada sukses
atau gagal secara lahiriah, melainkan pada bagaimana pengalaman itu membentuk sifat
hati dan akhlak kita. Kegagalan yang mengajarkan kerendahan hati adalah
anugerah tersembunyi yang menuntun kita pada kebijaksanaan. Sebaliknya,
keberhasilan instan yang mengaburkan pandangan kita hingga menumbuhkan arogansi
adalah godaan yang sering menjatuhkan.
Sebagai refleksi, setiap individu
dihadapkan pada pilihan: Apakah akan menjadikan kegagalanya sebagai guru atau cukup
dengan mengagungkan prestasinya hingga ia sendiri kehilangan arah? Dunia yang
penuh tantangan hari ini menuntut kita untuk lebih mengedepankan karakter, di
mana kerendahan hati adalah salah satu sifat yang sangat berharga.
Referensi:
- Anderson, C., Brion, S., Moore, D. A., & Kennedy, J. A. (2012). A status-enhancement account of overconfidence. Journal of Personality and Social Psychology, 103(4), 718-735.
- Collins, J. (2001). Good to Great: Why Some Companies Make the Leap... and Others Don't. Harper Business.
- Fisher, D., & Frey, N. (2015). Better learning through structured teaching: A framework for the gradual release of responsibility. ASCD.
- Owen, D., & Davidson, J. (2009). Hubris syndrome: An acquired personality disorder? A study of US Presidents and UK Prime Ministers over the last 100 years. Brain, 132(5), 1396-1406.
- Piaget, J. (1972). The psychology of the child. Basic Books.