Kegagalan Yang Membuatmu Rendah Hati Lebih Baik daripada Kesuksesan yang Menumbuhkan Arogansi

Posted on
  • Sunday, June 29, 2025
  • by
  • in
  • Label: , ,
  • Dalam perjalanan kehidupan, kita dihadapkan pada dua realitas yang tidak terelakkan: kegagalan dan keberhasilan di dalam hidup. Ada sebuah kutipan dari seorang bijak"A mistake that makes you humble is better than an achievement that makes you arrogant", kutipan ini mencerminkan nilai yang mendalam tentang pendidikan moral dari sebuah pengalaman hidup. Tulisan ini akan mengulas bagaimana sebuah kegagalan membentuk karakter humble atau rendah hati, dan mengapa keberhasilan yang instan dapat memicu munculnya arogansi, serta pentingnya membangun sikap rendah hati sebagai fondasi kepribadian.

    Kegagalan sebagai Guru Kehidupan

    Kegagalan dalam perkembangan psikologi seseorang sering dipandang sebagai tahap yang sangat penting untuk sebuah proses pembelajaran. Jean Piaget, seorang psikolog terkemuka, menyatakan bahwa proses belajar anak — dan juga orang dewasa — lahir dari proses asimilasi dan akumulasi terhadap pengalaman hidup, termasuk juga kegagalan yang dialaminya (Piaget, 1972). Kegagalan akan memaksa individu untuk meninjau ulang pemahaman, mengoreksi diri, dan dapat beradaptasi dengan realitas kehidupan yang ada.

    Dalam konteks ini, kegagalan yang membawa kesadaran diri yang mendalam justru membuka jalan bagi kerendahan hati. Seorang ilmuwan besar, Sir Isaac Newton, pernah menyatakan: “If I have seen further, it is by standing on the shoulders of giants”. Meski pencapaiannya karyanya monumental, ia menyadari bahwa setiap keberhasilan yang ia capai lahir dari kerja kolaboratif dan upaya yang kolektif, bukan semata kekuatan dirinya pribadi. Kesadaran ini sering tumbuh dari pengalaman jatuh-bangun, bukan dari kemenangan yang ia raih.

    Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fisher dan Frey (2015) menyebutkan bahwa kesalahan dalam proses pembelajaran akan mendorong perkembangan “growth mindset” yakni pola pikir yang melihat kegagalan sebagai sebuah peluang perbaikan, dan bukan akhir dari segalanya. Orang dengan growth mindset cenderung lebih rendah hati, karena memahami betapa rentannya diri terhadap kesalahan yang akan terjadi di kelak kemudian hari. Allah-Subhanahu wa ta'ala- berfirman di dalam Al-Qur’an:
    "Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong. Sungguh, engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan dapat menyamai tingginya gunung." (QS. Al-Isra: 37)
    "Dan apa saja musibah yang menimpamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. Asy-Syura: 30)
    Keberhasilan dan Arogansi: Bahaya yang Mengintai

    Berbeda dengan kegagalan yang mendewasakan, keberhasilan instan dapat menimbulkan efek sebaliknya jika tidak disertai kesadaran diri. Dalam psikologi sosial, terdapat istilah hubris syndrome, yaitu kondisi di mana seseorang yang terus-menerus mengalami keberhasilan mulai menunjukkan sikap arogansi, merasa superior, dan enggan mendengarkan masukan orang lain (Owen & Davidson, 2009). Arogansi ini dapat merusak hubungan interpersonal, menghambat kolaborasi, bahkan menjerumuskan individu pada keputusan buruk karena sifat yang terlalu percaya diri.

    Studi lain dari Anderson et al. (2012) menemukan bahwa orang yang memperoleh status atau keberhasilan sering kali menilai diri lebih kompeten daripada kenyataannya (overconfidence bias). Efek ini menjadi lebih parah ketika keberhasilan diterima tanpa tantangan berarti atau tidak dikaitkan dengan sebuah refleksi diri. Rasulullah bersabda dalam sebuah haditsnya:
    "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat biji sawi dari kesombongan." (HR. Muslim no. 91)
    "Barangsiapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya. Dan barangsiapa sombong, maka Allah akan menghinakannya."(HR. Muslim no. 2588)
    Kerendahan Hati: Pilar Kepemimpinan dan Kebijaksanaan

    Kerendahan hati yang lahir dari kegagalan tidak hanya membangun karakter pribadi tetapi juga menjadi kualitas utama dalam kepemimpinan yang efektif. Jim Collins dalam bukunya Good to Great (2001) menguraikan bahwa pemimpin-pemimpin hebat adalah mereka yang memiliki kombinasi antara tekad kuat dan kerendahan hati. Mereka cenderung mengakui kesalahan, belajar dari bawahannya, dan tidak mendewakan pencapaian pribadi.

    Kerendahan hati membuat seseorang terus membuka diri terhadap kritik, masukan, dan pembelajaran sepanjang hayat. Ini penting bukan hanya dalam kehidupan pribadi seseorang akan tetapi juga dalam hidup bermasyarakat. Individu yang rendah hati cenderung memperkuat kohesi sosial, sedangkan arogansi justru akan memecah belah. Adapun keutamaan sifat rendah hati ini, Allah-Subhanahu wa ta'ala-sebut di dalam Al-Qur’an:
    "Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan 'salam'." (QS. Al-Furqan: 63)
    Memaknai Proses Bukan dari Sekadar Capaian Semata

    Pada akhirnya, hal ini mengajarkan kita bahwa nilai sejati sebuah proses pengalaman tidak terletak pada sukses atau gagal secara lahiriah, melainkan pada bagaimana pengalaman itu membentuk sifat hati dan akhlak kita. Kegagalan yang mengajarkan kerendahan hati adalah anugerah tersembunyi yang menuntun kita pada kebijaksanaan. Sebaliknya, keberhasilan instan yang mengaburkan pandangan kita hingga menumbuhkan arogansi adalah godaan yang sering menjatuhkan.

    Sebagai refleksi, setiap individu dihadapkan pada pilihan: Apakah akan menjadikan kegagalanya sebagai guru atau cukup dengan mengagungkan prestasinya hingga ia sendiri kehilangan arah? Dunia yang penuh tantangan hari ini menuntut kita untuk lebih mengedepankan karakter, di mana kerendahan hati adalah salah satu sifat yang sangat berharga.

    Referensi:
    • Anderson, C., Brion, S., Moore, D. A., & Kennedy, J. A. (2012). A status-enhancement account of overconfidence. Journal of Personality and Social Psychology, 103(4), 718-735.
    • Collins, J. (2001). Good to Great: Why Some Companies Make the Leap... and Others Don't. Harper Business.
    • Fisher, D., & Frey, N. (2015). Better learning through structured teaching: A framework for the gradual release of responsibility. ASCD.
    • Owen, D., & Davidson, J. (2009). Hubris syndrome: An acquired personality disorder? A study of US Presidents and UK Prime Ministers over the last 100 years. Brain, 132(5), 1396-1406.
    • Piaget, J. (1972). The psychology of the child. Basic Books.
     
    Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia