Mewaspadai Sosiopat: Mereka Ingin Tahu Segalanya Tentangmu, Tapi Tak Pernah Membuka Dirinya

Dalam bukunya yang berjudul The Sociopath Next Door (2005), Martha Stout menyampaikan satu fakta yang menarik: bahwa sekitar 4% populasi, atau satu dari 25 orang, adalah seorang sosiopat yakni individu yang tidak memiliki hati nurani, tidak mampu merasakan empati, dan menjalani hidup dengan agenda tersembunyi yang seringkali merugikan orang lain. Yang lebih mengejutkan, mereka biasanya tak tampak mencurigakan. Mereka bisa jadi orang yang ramah, komunikatif, bahkan tampak sangat care dan peduli kepadamu.

Salah satu ciri khas yang paling berbahaya dari seorang sosiopat, menurut Stout, adalah kecenderungan mereka untuk menggali informasi pribadi dari orang lain sambil merahasiakan identitas dan motif pada diri mereka sendiri. Mereka tampak tertarik pada hidupmu: bertanya tentang dirimu, apa yang kamu kerjakan, apa yang kamu lakukan dan komunikasikan dengan orang lain, bagaimana relasi dan circle mu, rencanamu, apa yang kamu baca, apa yang kamu tulis dan seterusnya. Mereka akan terlihat seolah menjadi pendengar yang baik, namun tetaplah berhati-hati dan jangan terkecoh.

Ketika kamu mulai mencoba menanyakan balik: “Bagaimana dengan kamu?”, jawabannya mendadak menjadi kabur dan tertutup, atau dialihkan dengan pembicaraan lain, baik itu lelucon, atau malah dikembalikan ke dirimu lagi. Mereka mencoba menghindari kerentanan. Dalam bab-bab awal bukunya, Stout menegaskan bahwa sosiopat akan menciptakan ilusi kedekatan hanya untuk mengendalikan narasi, bukan untuk membangun hubungan relasi yang sejati. Mereka haus akan kendali, dan informasi yang akan dipakai untuk alat “Kekuasaan” bagi mereka.

Fenomena ini sangat mirip dengan peringatan dalam Al-Qur'an terkait orang-orang yang menyimpan niat buruk di balik wajah ramah mereka. Allah -Subhanahuwataala- berfirman:
"Di antara manusia ada yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah akan isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (darimu), ia berjalan di bumi untuk membuat kerusakan padanya dan membinasakan tanaman-tanaman dan binatang ternak; dan Allah tidak menyukai kerusakan."(QS. Al-Baqarah: 204–205)
Ayat ini menggambarkan sosok yang memanipulasi persepsi melalui kata-kata manis, namun menyembunyikan kerusakan yang direncanakan. Ini selaras dengan karakter sosiopat yang penuh kepura-puraan, namun berniat menguasai.

Hal ini sejalan dengan konsep yang dikemukakan oleh psikolog klinis George K. Simon dalam bukunya In Sheep’s Clothing: Understanding and Dealing with Manipulative People (2010). Simon menjelaskan bahwa pelaku manipulasi psikologis sering menggunakan teknik yang disebut selective disclosure, yakni membagikan informasi secara terbatas, terkontrol, dan diseleksi dengan cermat untuk membentuk persepsi orang lain sesuai kepentingannya. Dengan kata lain, mereka menciptakan persona palsu sambil menyembunyikan aspek-aspek diri yang sebenarnya.

Selective disclosure bukan sekadar “malas cerita.” Tapi ini adalah sebuah taktik manipulatif. Simon kemudian menyatakan:
“Manipulative individuals know the power of information. They keep their own cards close while prying into yours, exploiting your openness and trust.”(Simon, 2010, hlm. 41)
Taktik ini memungkinkan mereka untuk menciptakan ketimpangan relasi: kamu menjadi transparan dan terbuka, sementara mereka tetap buram dan tertutup. Dan dalam ketimpangan ini, “Kuasa” akan berpihak kepada mereka.

Lebih parahnya, ketulusanmu bisa dijadikan alat. Informasi tentang luka batinmu bisa digunakan untuk mengontrolmu di kemudian hari, entah untuk membangkitkan rasa bersalah, menciptakan ketergantungan emosional, atau bahkan memanipulasi keputusan penting dalam hidupmu. Dalam hal ini, Martha Stout mengingatkan:
“The most dangerous predators wear the best disguises. They don’t threaten you with claws, they offer you empathy, or at least, what looks like it.” (Stout, 2005, hlm. 28)
Dalam Islam, kita diajarkan untuk berhati-hati terhadap orang yang memiliki dua wajah dan tidak konsisten dalam bersikap. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Kamu akan mendapati seburuk-buruk manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang mempunyai dua wajah: dia mendatangi satu kelompok dengan satu wajah, dan kelompok lain dengan wajah yang lain." (HR. Bukhari, no. 7179; Muslim, no. 2526)
Hadis ini menggarisbawahi pentingnya keterbukaan dan kejujuran, serta peringatan akan bahaya orang yang memanipulasi identitas dan informasi untuk keuntungan pribadi.

Mengembalikan Kendali ke Diri Sendiri

Maka penting untuk diingat bahwa relasi yang sehat adalah relasi yang bersifat timbal balik dan adanya equality, baik dalam berbagi cerita maupun dalam membuka diri. Bila seseorang terlalu cepat masuk ke ruang pribadimu tapi selalu menghindar saat kamu mencoba mengenal mereka lebih dalam, maka itu adalah pertanda bahaya. Kedekatan emosional bukan dibangun lewat satu pihak yang membuka hati, sementara pihak lain menyusun strategi dengan kartu trufnya.

Waspada bukan berarti curiga pada semua orang. Tapi seperti yang Martha Stout sarankan, kita harus berani percaya pada intuisi pribadi, terutama ketika merasa bahwa sebuah relasi menjadi tidak sehat karena terlalu cepat, terlalu dalam, dan terlalu berat sebelah.

Sosiopat tidak bisa dikenali dari wajah atau penampilan luar mereka. Tapi mereka bisa dikenali dari cara mereka berinteraksi: ingin tahu segalanya tentangmu, tapi tak pernah benar-benar membiarkanmu mengenal mereka.

Islam menekankan prinsip husnuzan (berprasangka baik), namun juga tatshabbut (verifikasi) dan al-hazr (kewaspadaan) terhadap tipu daya. Dalam Surah Al-Hujurat ayat 6, Allah menegaskan:
"Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti..."(QS. Al-Hujurat: 6)
Ayat ini menunjukkan bahwa sikap kritis dan kehati-hatian bukanlah bentuk kebencian, melainkan bentuk ke hati-hatian dan perlindungan terhadap diri dan kebenaran.

Referensi:
  • Al-Qur'an: QS. Al-Baqarah: 204–205, QS. Al-Hujurat: 6
  • HR. Bukhari (7179), HR. Muslim (2526)
  • Simon, George K. In Sheep’s Clothing: Understanding and Dealing with Manipulative People. Parkhurst Brothers, 2010.
  • Stout, Martha. The Sociopath Next Door. Broadway Books, 2005
Artikel Selengkapnya...

Indonesia Negeri Paling Dermawan, Perlukah Tata Kelola Pengumpulan Donasi?

Baru-baru ini, Charities Aid Foundation (CAF) kembali menempatkan Indonesia di peringkat nomor satu dalam World Giving Index (WGI) 2024. Prestasi ini tentu membanggakan. Indonesia tercatat sebagai “negara paling dermawan di dunia”, mengungguli negara-negara maju dan kaya seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Emirat Arab, hingga Arab Saudi.

Namun, ketika euforia ini menyeruak, muncul juga pertanyaan kritis: kok bisa? Bukankah ekonomi Indonesia belum sekuat negara-negara Barat atau Timur Tengah? Apakah dermawan kita benar-benar setulus itu, atau ada sisi lain yang perlu dicermati?

Dermawan karena Partisipasi, Bukan Jumlah

Perlu diketahui, bahwa variable WGI tak mengukur seberapa besar total donasi yang terkumpul di sebuah negara. Indeks ini menilai dari tingkat partisipasi masyarakat dalam aksi memberi: membantu orang asing, berdonasi uang, dan menjadi relawan.

Di Indonesia, partisipasi itu sangat tinggi:
·         9 dari 10 orang dewasa pernah berdonasi.
·         Hampir 7 dari 10 orang membantu orang asing.
·         Sekitar 6 dari 10 orang terlibat dalam kegiatan sukarela.

Inilah wajah Indonesia yang penuh empati. Budaya gotong royong dan solidaritas memang telah mendarah daging dalam kehidupan kita.

Sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya berbagi, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 261)
Dan sabda Rasulullah -Shallallahu ’alaihi wasallam-:
"Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah yang memberi, dan tangan di bawah adalah yang meminta." (HR. Bukhari dan Muslim)
Celah Penyelewengan di Era Sosial Media

Namun, fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa kedermawanan tanpa sistem pengawasan yang kuat bisa menjadi ladang subur bagi penipuan berkedok donasi. Di banyak negara maju, setiap lembaga penggalang dana wajib terdaftar resmi, laporan keuangannya diaudit, dan diawasi ketat untuk mencegah penyalahgunaan. Di Indonesia, pengawasan semacam ini masih lemah. Siapa saja bisa dengan mudah menggalang dana, bahkan hanya bermodal media sosial.

Kasus pasangan selebgram muslim mualaf di Inggris beberapa tahun silam menjadi contoh nyata, bagaimana kedermawanan publik bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Pasangan ini tampil seolah pasangan muslim yang taat: sang wanita berhijab, sang pria bersorban dan berjenggot, dan keduanya rajin mempublikasikan aktivitas keagamaan mereka, mulai dari sholat jamaah bersama keluarga hingga kegiatan pengajian bersama. Dengan citra islami yang mereka publikasikan, mereka berhasil menggaet banyak pengikut dari kalangan muslim semi-liberal di Inggris.

Dari ketenaran itu, mereka menggalang donasi hingga ratusan ribu poundsterling, yang konon diperuntukkan untuk muslim Rohingya, korban banjir di India, dan lainnya. Namun, dugaan kehidupan ganda mereka terbongkar saat netizen menemukan foto-foto yang menunjukkan gaya hidup mewah mereka di “second account” Instagram mereka. Tak hanya itu, muncul pula dugaan penyalahgunaan dana donasi yang berbuntut pembekuan dana tersebut oleh pihak berwenang.

Pelajaran penting dari kasus ini: bukan atribut agamanya yang salah, bukan hijabnya, bukan sorban atau jenggotnya. Yang keliru adalah orang-orang yang menjadikan agama sebagai komoditas dagangan untuk meraih keuntungan pribadi. Sosial media menjadi wahana subur untuk itu. Karena itulah kita, sebagai masyarakat, perlu lebih waspada dan menggunakan akal sehat dalam setiap interaksi digital kita.

Di sinilah pentingnya kita mengingat peringatan Nabi -Shallallahu ’alaihi wasallam-:
"Barang siapa menipu, maka ia bukan termasuk golonganku." (HR. Muslim)
Sungguh celaka orang yang menjadikan agama sebagai komoditas untuk meraih keuntungan pribadi.

Saatnya Tata Kelola Donasi Lebih Baik

Prestasi Indonesia di WGI 2024 sepatutnya menjadi momen refleksi: budaya berbagi harus diimbangi dengan budaya akuntabilitas. Pemerintah bersama lembaga-lembaga seperti BAZNAS, Kemenag, OJK, dan aparat penegak hukum harus memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap aktivitas penggalangan dana. Laporan keuangan harus transparan, audit wajib dilakukan, dan masyarakat harus lebih kritis sebelum menyalurkan donasi.

Sesuai dengan perintah Allah -Subhanahu wa ta'ala-agar amanah dijaga dengan baik:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil..." (QS. An-Nisa: 58)
Jangan sampai, karena ulah segelintir oknum, kepercayaan masyarakat pada aksi sosial justru runtuh. Jangan pula semangat berbagi kita tercoreng hanya karena kita lengah membedakan mana derma sejati dan mana tipu daya berkedok amal.

Kedermawanan adalah aset moral bangsa. Agar tetap mulia, ia harus dilandasi kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab. Di era digital, di mana penggalangan dana begitu mudah dilakukan, mari kita saling mengingatkan untuk berbagi dengan hati bersih dan akal yang sehat.
Artikel Selengkapnya...

Parkirologi, Jurusan Baru yang Gajinya Bisa Mengalahkan Lulusan S2 & S3

Yogyakarta kembali bikin geger, bukan karena demo mahasiswa atau konser Sheila on 7, tapi karena eksperimen seorang mahasiswa yang banting setir jadi tukang parkir selama seminggu. Hasilnya mengejutkan. Rp 2,5 juta cair, cash, tanpa revisi, tanpa skripsi, dan yang paling penting: tanpa tanda tangan dosen pembimbing.

“Wkwkwkwk... Ngalahin gaji dosen lulusan S2-S3 di kampus Jogja yg masih level Asisten Ahli!” tulis netizen, setengah ngakak setengah nangis. Ironis? Tentu. Kocak? Jelas. Miris? Sangat.

Coba bayangkan, seorang dosen yang kuliah bertahun-tahun, melewati badai tesis, publikasi dan disertasi, cuma dibayar seadanya. Sementara mahasiswa yang biasa ngopi di angkringan dan nugas mepet deadline, tiba-tiba bisa ngalahin slip gaji dosennya cuma dengan rompi oranye dan peluit. Kalau ini bukan plot twist hidup, entah apa lagi namanya.

Mungkin sudah saatnya universitas membuka jurusan baru: Parkirologi Terapan. Kurikulumnya simpel:

·         Semester 1: Teknik Peluit dan Bahasa Tubuh
·         Semester 2: Manajemen Uang Receh dan Strategi "Mas, Parkirnya 2 ribu Ya"
·         Semester 3: Etika Menunduk Saat Dikasih Uang
·         Semester 4: Magang di Pasar, Mall, Mie Gacoan dan Warung Kopi Hits

Lulusannya dijamin cepat kerja, tidak terikat jam kerja, dan bebas skripsi. Bandingkan dengan mahasiswa jurusan sastra atau fisipol yang lulusannya kadang masih bingung antara idealisme dan isi dompet.

Tapi jangan salah, ini bukan ajakan untuk menyerah pada dunia akademik. Pendidikan tetap penting, Lik! Minimal buat ngerti kalau uang Rp 2.500.000 seminggu itu berarti Rp 10 juta sebulan. Cuma, eksperimen ini bikin kita bertanya: kenapa yang berkeringat & harus mikir malah kalah sama yang berkeringat ngatur motor?

Mungkin jawabannya sederhana: di Indonesia, gelar bukan jaminan sejahtera, tapi parkir bisa. Dua ribumu tidak akan membuatmu miskin, tapi bisa membuat mereka kaya raya

Artikel Selengkapnya...

Mengapa Orang Kaya Lebih Mudah Diterima di Masyarakat?

Dalam dinamika sosial masyarakat modern, sering kali kita melihat fenomena bahwa orang kaya lebih mudah diterima, disukai, dan dihormati dalam lingkungan sosial dibandingkan dengan orang miskin. Realita ini bukan hanya soal persepsi, tetapi juga berkaitan dengan kemampuan ekonomi yang memengaruhi cara seseorang membangun dan menjaga relasi sosial.

Orang kaya memiliki kelebihan dalam akses dan sumber daya yang membuat mereka lebih mudah diterima di berbagai kalangan. Mereka mampu mentraktir teman, memberi hadiah, mengundang untuk makan malam di restoran, atau bahkan membiayai acara kebersamaan yang mempererat hubungan sosial. Tindakan-tindakan ini tidak hanya dinilai sebagai kebaikan, tetapi juga membentuk citra sebagai pribadi yang dermawan dan menyenangkan. Sebaliknya, orang miskin sering kali tak memiliki kemampuan serupa. Bukan berarti mereka tidak ingin berbagi atau menjalin relasi, namun keterbatasan finansial kerap membuat mereka tampak pasif atau bahkan terkesan “menumpang” dalam pergaulan.

Dalam urusan menjaga silaturahmi, orang kaya pun memiliki keunggulan. Mereka bisa dengan mudah membeli tiket pesawat dan hadir di acara pernikahan, reuni, atau syukuran kolega yang tinggal nun jauh disana. Mereka dapat membawa oleh-oleh, hadiah, bahkan ikut memberikan sumbangan dalam acara tersebut. Keberadaan mereka dianggap sebagai bentuk perhatian yang tinggi. Bandingkan dengan orang miskin yang harus berpikir dua kali, bahkan untuk sekadar membeli tiket untuk biaya transportasi. Kadang bukan tidak mau datang, namun karena tidak mampu.

Relasi sosial juga sering dilihat dari kemampuan untuk memberi dukungan dalam beberapa momen penting para kolega. Ketika teman atau kolega diwisuda, membuka usaha, atau naik jabatan, orang kaya bisa mengirimkan bucket bunga, bingkisan, atau bahkan karangan bunga. Ini menjadi bentuk simbolis dari penghargaan dan dukungan. Orang miskin mungkin hanya bisa memberi ucapan lewat pesan singkat via WA atau komen di media sosial, mungkin niatnya tulus, namun sering kali tak dianggap setara dalam ekspresi sosial di masyarakat.

Kemampuan mobilitas juga menjadi faktor penting. Orang kaya bisa menjemput teman dari bandara atau stasiun menggunakan mobil pribadi yang nyaman. Mereka bisa menjadi tuan rumah yang baik dalam berbagai kesempatan. Sementara orang miskin? Kalaupun menjemput, mungkin hanya bisa naik motor, atau bahkan sepeda yang walau bermakna, tetap saja dianggap “kurang pantas” dalam norma sosial masyarakat hedonis.

Inilah mengapa masyarakat kita cenderung lebih "menerima" keberadaan orang kaya. Bukan semata karena kekayaan itu sendiri, tapi karena kekayaan memberi alat dan peluang untuk memperkuat relasi sosial secara nyata. Dalam masyarakat yang sering kali menilai bentuk perhatian dari besaran nilai materi, orang kaya memang punya “amunisi” lebih.

Lalu, apakah artinya orang miskin tidak punya solusi? Tentu ada. Salah satunya adalah memperkuat kualitas diri dan kehadiran yang tulus. Kejujuran, empati, kerja keras, dan integritas masih memiliki nilai tinggi dalam relasi sosial yang sehat. Selain itu, membangun jejaring dan meningkatkan pendidikan serta keterampilan bisa menjadi jembatan untuk memperluas peluang, termasuk didalamnya peluang ekonomi dan relasi. Tidak harus kaya raya, tetapi cukup agar mampu menjalin hubungan sosial yang setara dan bermakna.

Pada akhirnya, masyarakat perlu belajar untuk menilai seseorang tidak hanya dari apa yang bisa ia berikan secara materi, tapi juga dari kualitas kepribadian dan ketulusan relasi. Namun, tak bisa dimungkiri: dalam realitas sosial yang ada hari ini, orang kaya memang lebih mudah diterima karena mereka punya lebih banyak cara untuk hadir, memberi, dan menunjukkan perhatian.
Artikel Selengkapnya...

Ghana Hentikan Penyalahgunaan Gelar Kehormatan (Honoris causa): Bagaimana dengan Konoha?

Baru-baru ini, Ghana membuat gebrakan di bidang akademis yang layak untuk diapresiasi dan diteladani oleh negara lain, termasuk juga negri Konoha. Melalui Komisi Pendidikan Tinggi Ghana atau “Ghana Tertiary Education Commission” (GTEC), negara tersebut secara resmi melarang adanya penggunaan gelar Doktor dan Profesor kehormatan (Honoris causa) oleh pejabat publik, termasuk didalamnya para politisi, pebisnis, dan tokoh agama. Langkah ini tidak hanya bersifat simbolik, namun juga secara substansial melindungi integritas akademik dan etika pejabat publik.

Mengutip pernyataan resmi GTEC yang dilansir Premium Times Nigeria (edisi 3 Juni 2025), penggunaan gelar kehormatan oleh pejabat publik dinilai “tidak etis dan menyesatkan”, serta berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan. Komisi tersebut menegaskan akan mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang melanggar, dan akan menyebutkan nama pelanggar secara terbuka di media name and shame.

Mengapa Langkah Ini Penting?

Pertama, penggunaan gelar kehormatan secara tidak tepat adalah sebuah tindakan yang tidak etis. Gelar akademik seharusnya mencerminkan kerja keras intelektual, penelitian, dan kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan. Ketika gelar diberikan hanya karena posisi, kekuatan finansial, atau popularitas, maka nilainya akan merosot dan mencederai para akademisi.
Kedua, penyalahgunaan gelar honoris causa dapat menyesatkan publik. Tidak semua kalangan memahami perbedaan antara gelar akademik secara resmi dan gelar kehormatan. Seorang pejabat publik yang mencantumkan gelar “Dr.” atau “Prof.” di depan namanya dengan bebas di media dan dalam setiap dokumen negara dapat menciptakan ilusi kompetensi akademik yang sebenarnya tidak dimilikinya.

Ketiga, praktik ini membuka ruang terjadinya praktek jual-beli ijazah/ gelar. Dalam banyak kasus, gelar kehormatan diberikan oleh institusi tidak jelas atau bahkan universitas abal-abal (degree mills) dengan imbalan sejumlah uang. GTEC dalam pernyataannya menyebut fenomena ini sebagai ancaman nyata terhadap sistem pendidikan.

Terakhir, gelar kehormatan sering dipakai untuk politik praktis. Mereka yang tengah mencalonkan diri sebagai pejabat atau ingin memperluas pengaruh sosial kerap menyematkan gelar semu demi meningkatkan legitimasi. Ini adalah bentuk manipulasi simbolik yang sangat merugikan.

Layakkah Konoha Mencontoh?

Pertanyaan yang harus kita renungkan adalah: apakah kita juga berani membersihkan praktik serupa di negeri ini? Kita tak jarang melihat politisi memakai gelar kehormatan di baliho, surat resmi, dan panggung kampanye. Sering kali gelar itu berasal dari institusi yang tidak jelas atau bahkan universitas tanpa akreditasi.

Sudah waktunya lembaga-lembaga seperti Kementerian Pendidikan, BAN-PT, dan asosiasi para akademisi mengambil sikap. Jika Ghana –salah satu negara berkembang di Afrika- saja berani mengambil langkah tegas, mengapa Konoha belum?
Pelarangan pemberian gelar Honoris causa semacam ini bukan berarti menghapus penghargaan. Tapi gelar kehormatan seharusnya diberikan secara tertutup dan simbolis, bukan ditampilkan di kartu nama atau surat dinas. Ini demi menjaga makna pendidikan dan menghindari penyalahgunaan simbol akademik untuk kepentingan pribadi.

Ghana telah memberi pelajaran penting bahwa gelar Dr dan Prof bukanlah gelar yang menempel pada papan nama, melainkan simbol pencapaian dan integritas di bidang Ilmu Pengetahuan. Penyalahgunaan gelar oleh oknum pejabat publik adalah bentuk manipulasi akademik. Mari kita dorong agar negri ini mengikuti jejak langkah yang sama, demi publik yang lebih cerdas, dan pejabat yang lebih berintigritas.

Referensi:
  • Premium Times Nigeria. (3 Juni 2025). Ghana bans honorary doctorate, professor titles by public officials.
  • Legit.ng. (4 Juni 2025). Public officials banned from using honorary titles in Ghana.
  • GTEC Official Statement via GhanaWeb (31 Mei 2025).
Artikel Selengkapnya...

Antara Usaha Warteg dan Tukang Parkir, Mana Yang Lebih Menguntungkan?

Di negeri +62 ini, keajaiban bukan cuma ada di sinetron atau iklan sirup marjan. Di depan warteg, hal-hal tak lazim kerap terjadi tiap hari. Bayangkan: pemilik warteg yang mesti bangun jam 4 pagi (subuh), muka masih kucel & masih nempel bantal, harus langsung meluncur ke pasar demi dapet cabe rawit segar yang harganya kayak harga saham gorengan & koin crypto micin -naik turun ndak karuan-.

Sesampainya di rumah, si ibu warteg belum sempat leyeh-leyeh ngopi, langsung harus goreng tempe, tumis kangkung, nyiapin ayam kecap, dan ngepel lantai sambil mikirin harga gas elpiji yang mulai langka. Semua itu demi dapetin cuan yang hanya Rp 500 perak dari sepotong gorengan yang dia jual. Itu pun belum termasuk risiko gorengan gak laku, atau pelanggan cuma pesen nasi doing tanpa lauk.

Tapi, di pojokan warteg, duduklah dia: Sang Tukang Parkir. Tanpa harus menggoreng, tanpa harus menumis, tanpa harus kecipratan minyak goring panas. Cuma bermodal rompi neon, kursi plastik, dan gesture tangan penuh wibawa: “Minggir dikit, Bang… dikit lagi… nah pas!” Lalu “prak!” tangan kanan minta Rp 2.000

Bro… dari mana rumus ekonomi ini berasal?

Si ibu warteg ngitung tiap sendok sayur biar pas margin-nya. Sementara si tukang parkir, dalam hitungan menit, bisa dapet cuan 4x lipat dari gorengan Ibu warteg. Kalau diseriusin, ini udah kayak perbandingan antara nelayan yang mancing seharian dapet dua ikan, sama orang yang tinggal ambil ikan di pelelangan ikan pinggir pantai.

Dan yang lebih ngenes lagi, semua ketidakadilan ini diterima begitu saja oleh masyarakat dengan penuh legowo. Gak ada yang demo, gak ada yang nuntut audit rompi tukang parkir. Malah kadang pelanggan lebih takut sama tukang parkir daripada sama satpam BCA, karena saking galaknya.

Sehingga kemudian timbul pertanyaan di benak saya, kira-kira “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” itu, letaknya di mana ya? Apakah di belakang warteg? Di balik etalase gorengan? Atau masih ngantri di kantor kelurahan?

Tapi ya sudahlah, beginilah hidup di negeri penuh kreatifitas. Kadang kita kerja keras, kadang kita kerja cerdas, kadang kita cuma butuh... parkir.

Yang penting, jangan lupa bayar gorengan. Dan jangan lupa bayar tukang parkir seikhlasnya walaupun sulit banget untuk ikhlas. Tapi plis, minimal senyumin juga si Ibu warteg. Soalnya dia yang bikin kamu tetap bisa makan murah, kenyang, dan penuh rasa... meski belum tentu ada “Keadilan”.

Artikel Selengkapnya...

Jangan Remehkan Hutang: Amanah Dunia, Beban Akhirat

 
Tahukah Anda bahwa ayat terpanjang dalam Al-Qur'an bukan berbicara tentang shalat, puasa, jihad, atau zakat? Ayat terpanjang itu justru membahas tentang hutang piutang. Ya, benar. Surat Al-Baqarah ayat 282 adalah ayat terpanjang dalam mushaf Al-Quran, dan secara luar biasa ia membahas detil demi detil transaksi hutang: tulislah, saksikanlah, jujurlah, amanahlah.

Ini bukan sekadar pesan ekonomi, ini adalah pesan keadilan sosial dan tanggung jawab moral. Allah yang Maha Mengetahui meletakkan urgensi persoalan hutang pada tempat yang sangat tinggi. Bukan tanpa sebab. Hutang adalah ujian akhlak, dan sering kali menjadi sumber keretakan hubungan persaudaraan, kerusakan masyarakat, bahkan akhirat seseorang.

Lebih mengejutkan lagi, Rasulullah ﷺ menyampaikan bahwa orang yang terbunuh di medan jihad—yang darahnya tumpah demi agama, tidak serta-merta mendapatkan status syahid, jika ia masih meninggalkan hutang yang belum diselesaikan. 
“Seluruh dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim)
Maka pertanyaannya: mengapa ada sebagian orang, bahkan tokoh agama yang kita pandang sebagai ustadz dan panutan umat, begitu meremehkan urusan hutang? Bahkan dengan entengnya berkata, "Itu hanya masalah duniawi, masalah hutang,...ngemplang, jadi tidak perlu untuk dibesar-besarkan"

Masalah duniawi? Jika memang demikian, mengapa Allah harus turunkan satu ayat terpanjang hanya untuk perkara duniawi? Mengapa Rasulullah sampai enggan menyolatkan jenazah orang yang masih menanggung hutang, jika tidak ada dimensi akhirat di dalamnya?

Di sinilah letak keprihatinan. Ketika orang awam tidak tahu, mungkin bisa dimaklumi. Tapi ketika seorang ustadz -yang setiap kata dan geraknya menjadi contoh, bahkan rujukan umat- meremehkan hal sebesar ini, maka itu adalah sebuah petaka dan krisis. Krisis keilmuan? Krisis kejujuran? Atau krisis akhlak?

Perkataan seperti itu bukan saja mencederai ajaran Islam, tapi juga bisa menjadi pembenaran bagi orang-orang yang memang punya kecenderungan untuk lari dari tanggung jawab. Orang yang memang berniat ngemplang, bisa dengan mudah berkata: “Ah, itu kan cuma masalah duniawi.”

Padahal dalam Islam, tanggung jawab dunia justru yang akan menentukan nasib akhirat. Apakah tidak takut bahwa ucapan yang menyepelekan bisa membuat umat terbiasa menggampangkan amanah?

Sudah saatnya kita kembali menempatkan nilai-nilai Al-Qur'an pada posisi tertingginya. Bukan hanya dalam ibadah, tapi juga dalam muamalah. Dan sudah seharusnya para tokoh agama berhati-hati dalam berbicara, karena satu kalimat bisa jadi pembenaran bagi ribuan kesalahan.

Islam mengajarkan kita kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan, termasuk dalam hal hutang piutang. Jangan sampai, hanya karena satu komentar tak bertanggung jawab, kita menjadi umat yang membenarkan kelalaian, bahkan pengkhianatan, dengan label "itu cuma masalah duniawi."
Artikel Selengkapnya...
 
Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia