Yogyakarta kembali bikin geger, bukan karena demo mahasiswa atau konser Sheila
on 7, tapi karena eksperimen seorang mahasiswa yang banting setir jadi tukang
parkir selama seminggu. Hasilnya mengejutkan. Rp 2,5 juta cair, cash, tanpa
revisi, tanpa skripsi, dan yang paling penting: tanpa tanda tangan dosen
pembimbing.
“Wkwkwkwk... Ngalahin gaji dosen lulusan S2-S3 di kampus Jogja yg masih level
Asisten Ahli!” tulis netizen, setengah ngakak setengah nangis. Ironis? Tentu.
Kocak? Jelas. Miris? Sangat.
Coba bayangkan, seorang dosen yang kuliah bertahun-tahun, melewati badai
tesis, publikasi dan disertasi, cuma dibayar seadanya. Sementara mahasiswa yang
biasa ngopi di angkringan dan nugas mepet deadline, tiba-tiba bisa ngalahin
slip gaji dosennya cuma dengan rompi oranye dan peluit. Kalau ini bukan plot
twist hidup, entah apa lagi namanya.
Mungkin sudah saatnya universitas membuka jurusan baru: Parkirologi
Terapan. Kurikulumnya simpel:
·
Semester 1: Teknik Peluit dan Bahasa Tubuh
·
Semester 2: Manajemen Uang Receh dan Strategi
"Mas, Parkirnya 2 ribu Ya"
·
Semester 3: Etika Menunduk Saat Dikasih Uang
·
Semester 4: Magang di Pasar, Mall, Mie Gacoan dan
Warung Kopi Hits
Lulusannya dijamin cepat kerja, tidak terikat jam kerja, dan bebas skripsi.
Bandingkan dengan mahasiswa jurusan sastra atau fisipol yang lulusannya kadang
masih bingung antara idealisme dan isi dompet.
Tapi jangan salah, ini bukan ajakan untuk menyerah pada dunia akademik.
Pendidikan tetap penting, Lik! Minimal buat ngerti kalau uang Rp 2.500.000
seminggu itu berarti Rp 10 juta sebulan. Cuma, eksperimen ini bikin kita
bertanya: kenapa yang berkeringat & harus mikir malah kalah sama yang
berkeringat ngatur motor?
Mungkin jawabannya sederhana: di Indonesia, gelar bukan jaminan
sejahtera, tapi parkir bisa. Dua ribumu tidak akan membuatmu miskin, tapi bisa
membuat mereka kaya raya