Ini bukan sekadar pesan ekonomi, ini adalah pesan keadilan sosial dan
tanggung jawab moral. Allah yang Maha Mengetahui meletakkan urgensi persoalan
hutang pada tempat yang sangat tinggi. Bukan tanpa sebab. Hutang adalah ujian
akhlak, dan sering kali menjadi sumber keretakan hubungan persaudaraan,
kerusakan masyarakat, bahkan akhirat seseorang.
Lebih mengejutkan lagi, Rasulullah ﷺ menyampaikan bahwa orang yang terbunuh
di medan jihad—yang darahnya tumpah demi agama—tidak serta-merta mendapatkan
status syahid jika ia masih meninggalkan hutang yang belum diselesaikan.
“Seluruh dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR.
Muslim)
Maka pertanyaannya: mengapa ada sebagian orang, bahkan tokoh agama yang kita
pandang sebagai ustadz dan panutan umat, begitu meremehkan urusan hutang? Bahkan
dengan entengnya berkata, "Itu hanya masalah
duniawi, masalah hutang,...ngemplang, jadi tidak perlu untuk dibesar-besarkan"
Masalah duniawi? Jika memang demikian, mengapa Allah harus turunkan satu
ayat terpanjang hanya untuk perkara duniawi? Mengapa Rasulullah sampai enggan
menyolatkan jenazah orang yang masih menanggung hutang, jika tidak ada dimensi
akhirat di dalamnya?
Di sinilah letak keprihatinan. Ketika orang awam tidak tahu, mungkin bisa
dimaklumi. Tapi ketika seorang ustadz—yang setiap kata dan geraknya menjadi
contoh, bahkan rujukan umat—meremehkan hal sebesar ini, maka itu adalah sebuah petaka
dan krisis. Krisis keilmuan? Krisis kejujuran? Atau krisis akhlak?
Perkataan seperti itu bukan saja mencederai ajaran Islam, tapi juga bisa
menjadi pembenaran bagi orang-orang yang memang punya kecenderungan untuk lari
dari tanggung jawab. Orang yang memang berniat ngemplang, bisa dengan mudah
berkata: “Ah, itu kan cuma masalah duniawi.”
Padahal dalam Islam, tanggung jawab dunia justru yang akan menentukan nasib
akhirat. Apakah tidak takut bahwa ucapan yang menyepelekan bisa membuat umat
terbiasa menggampangkan amanah?
Sudah saatnya kita kembali menempatkan nilai-nilai Al-Qur'an pada posisi
tertingginya. Bukan hanya dalam ibadah, tapi juga dalam muamalah. Dan sudah
seharusnya para tokoh agama berhati-hati dalam berbicara, karena satu kalimat
bisa jadi pembenaran bagi ribuan kesalahan.
Islam mengajarkan kita kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan—termasuk
dalam hal hutang piutang. Jangan sampai, hanya karena satu komentar tak
bertanggung jawab, kita menjadi umat yang membenarkan kelalaian, bahkan
pengkhianatan, dengan label "itu cuma masalah duniawi."