Pohon yang terlalu lama hidup di bawah bayang-bayang, tanpa cukup sinar
matahari, akan mengalami etiolasi—tumbuh tinggi kurus, lemah, pucat, dan rapuh.
Dalam dunia tumbuhan, ini adalah pertanda bahwa sesuatu berjalan tidak
semestinya. Dalam kehidupan manusia, etiolasi bisa menyerupai hidup dalam zona
nyaman: aman, tak terlihat, tak terdengar, tapi juga tak berkembang. Takut
mencoba, takut gagal, takut salah—hingga akhirnya justru dilangkahi, dilewati,
bahkan diinjak-injak oleh mereka yang berani menantang angin.
Hidup bukan soal ingin di atas atau di bawah. Bukan pula soal siapa yang
lebih berani atau lebih diam. Tapi hidup adalah soal keberanian untuk
memilih—dan menerima konsekuensi dari pilihan itu. Karena, benar adanya, setiap
posisi punya risikonya masing-masing. Di atas, kau diuji oleh badai, disorot,
dinilai, bahkan mungkin dijatuhkan. Tapi di bawah pun bukan tempat yang bebas
dari risiko. Kegelapan, stagnasi, dan kerentanan pada nasib juga siap mengintai
kapan saja.
Ini tentang kita—tentang manusia dan pilihan untuk tumbuh. Kita bisa memilih
menjadi tinggi dan menghadapi angin, atau tetap di bawah dan berharap tak
tertimpa apa-apa. Tapi, kalau pertumbuhan sejati adalah tujuan, maka sedikit
goyangan angin semestinya bukan alasan untuk berhenti naik. Karena justru dalam
terpaan itulah, akar kita menguat. Dalam cahaya yang menyilaukan itu, kita
belajar melihat lebih jelas. Dan dalam keberanian untuk tampak, kita menemukan
makna dari eksistensi kita.
Setiap orang punya jalan masing-masing. Tak semua harus menjadi pohon tertinggi. Tapi jika terus bersembunyi di tanah lembap yang tak tersentuh cahaya, jangan heran jika suatu hari kita tak tumbuh sama sekali. Dan lebih buruk lagi, mungkin kita bahkan tak pernah benar-benar hidup.