Inflasi Gelar Profesor: Mitos atau Kesalahpahaman?

Posted on
  • Saturday, June 7, 2025
  • by
  • in
  • Label: ,
  • Belakangan ini, opini publik diwarnai kekhawatiran tentang meningkatnya jumlah dosen dan peneliti bergelar profesor di Indonesia. Beberapa kalangan bahkan menyebut fenomena ini sebagai "inflasi profesor"—sebuah istilah yang menyiratkan pembengkakan status akademik tanpa peningkatan kualitas ilmiah. Namun benarkah peningkatan jumlah profesor merupakan ancaman terhadap mutu pendidikan tinggi dan lembaga penelitian?

    Sebelum kita menjatuhkan vonis moral atas kebijakan negara dalam bidang akademik, ada baiknya kita merujuk pada fakta. Per April 2024, jumlah profesor di Indonesia tercatat sebanyak 9.570 orang dari sekitar 330.000 dosen aktif, atau hanya sekitar 2,9% saja1. Angka ini jauh di bawah negara-negara maju: di Jerman proporsinya 15–20%2, di Amerika Serikat 10–15%3, dan di Inggris sekitar 12%4. Maka, alih-alih menyebutnya sebagai inflasi, kita sepatutnya menyadari bahwa Indonesia justru mengalami defisit profesor.


    Kenaikan jumlah profesor di beberapa tahun terakhir tak lepas dari penyederhanaan birokrasi yang selama ini menjadi penghambat utama. Misalnya, Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 dan Keputusan Mendikbudristek Nomor 649/P/2023 tentang Kriteria Penilaian Angka Kredit Jabatan Akademik, memberikan ruang lebih rasional dalam mengapresiasi karya ilmiah, kinerja tridarma, serta capaian akademik lainnya. Namun perlu ditegaskan: penyederhanaan proses bukan berarti penurunan standar.


    Justru, proses pengangkatan profesor kini menjadi lebih transparan dan terukur. Syarat publikasi jurnal bereputasi tetap berlaku, dan verifikasi melalui similarity check, peer review, serta asesmen substansi karya ilmiah dilakukan secara sistemik. Dengan digitalisasi sistem (misalnya melalui aplikasi SISTER Kemendikbudristek dan E-Peneliti BRIN), mekanisme penilaian menjadi lebih akuntabel dan efisien5.


    Adapun tudingan bahwa karya ilmiah profesor banyak ditulis oleh pihak lain secara tidak etis, perlu disikapi hati-hati. Tidak ada bukti sistemik dan terverifikasi yang menunjukkan adanya pelanggaran secara masif. Memang, tekanan untuk publikasi bisa menciptakan pelanggaran etis, tapi itu bukan alasan untuk mencurigai secara general seluruh capaian dosen dan peneliti yang berhasil memenuhi syarat profesor. Di negara lain pun, isu etika akademik tetap menjadi bagian dari pengawasan institusional, bukan alat untuk mendelegitimasi gelar.


    Faktanya, peningkatan jumlah profesor juga dipicu oleh hadirnya berbagai program afirmatif seperti Matching Fund, Kedaireka, BIMA, dan Program World Class Professor yang mendorong kolaborasi riset internasional. Hal ini mengindikasikan bahwa negara mulai serius membenahi ekosistem riset dan publikasi ilmiah. Kinerja para dosen dan peneliti juga meningkat signifikan, terlihat dari kenaikan jumlah publikasi Indonesia di jurnal bereputasi, yang kini berada di peringkat 40 besar dunia6.


    Mengaitkan kenaikan jumlah profesor dengan penurunan kualitas adalah kesimpulan prematur. Justru yang dibutuhkan saat ini adalah konsistensi evaluasi mutu dan penguatan ekosistem akademik. Profesor bukan sekadar gelar, melainkan hasil dari perjalanan panjang seorang dosen & peneliti  dalam pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Mereka layak dihargai, bukan dicurigai.


     

    Referensi:

    1Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), Kemendikbudristek, 2024.

    2Federal Statistical Office of Germany, Academic Staff by Title, 2022.

    3American Association of University Professors (AAUP), Annual Report on the Economic Status of the Profession, 2023.

    4Higher Education Statistics Agency (HESA), UK, 2022.

    5Kemendikbudristek, Sistem Informasi Sumberdaya Terintegrasi (SISTER), 2023.

    6Scimago Journal & Country Rank, 2024 .


     
    Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia