Sebelum kita menjatuhkan vonis
moral atas kebijakan negara dalam bidang akademik, ada baiknya kita merujuk
pada fakta. Per April 2024, jumlah profesor di Indonesia tercatat sebanyak
9.570 orang dari sekitar 330.000 dosen aktif, atau hanya sekitar 2,9% saja1.
Angka ini jauh di bawah negara-negara maju: di Jerman proporsinya 15–20%2,
di Amerika Serikat 10–15%3, dan di Inggris sekitar 12%4.
Maka, alih-alih menyebutnya sebagai inflasi, kita sepatutnya menyadari bahwa
Indonesia justru mengalami defisit profesor.
Kenaikan jumlah profesor di
beberapa tahun terakhir tak lepas dari penyederhanaan birokrasi yang selama ini
menjadi penghambat utama. Misalnya, Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 dan
Keputusan Mendikbudristek Nomor 649/P/2023 tentang Kriteria Penilaian Angka
Kredit Jabatan Akademik, memberikan ruang lebih rasional dalam mengapresiasi
karya ilmiah, kinerja tridarma, serta capaian akademik lainnya. Namun perlu
ditegaskan: penyederhanaan proses bukan berarti penurunan standar.
Justru, proses pengangkatan
profesor kini menjadi lebih transparan dan terukur. Syarat publikasi jurnal
bereputasi tetap berlaku, dan verifikasi melalui similarity check, peer review,
serta asesmen substansi karya ilmiah dilakukan secara sistemik. Dengan
digitalisasi sistem (misalnya melalui aplikasi SISTER Kemendikbudristek dan E-Peneliti BRIN),
mekanisme penilaian menjadi lebih akuntabel dan efisien5.
Adapun tudingan bahwa karya
ilmiah profesor banyak ditulis oleh pihak lain secara tidak etis, perlu
disikapi hati-hati. Tidak ada bukti sistemik dan terverifikasi yang menunjukkan adanya pelanggaran secara masif. Memang, tekanan untuk publikasi bisa menciptakan pelanggaran etis, tapi itu bukan alasan untuk mencurigai secara general seluruh capaian
dosen dan peneliti yang berhasil memenuhi syarat profesor. Di negara lain pun, isu etika
akademik tetap menjadi bagian dari pengawasan institusional, bukan alat untuk
mendelegitimasi gelar.
Faktanya, peningkatan jumlah
profesor juga dipicu oleh hadirnya berbagai program afirmatif seperti Matching
Fund, Kedaireka, BIMA, dan Program World Class Professor yang mendorong
kolaborasi riset internasional. Hal ini mengindikasikan bahwa negara mulai serius
membenahi ekosistem riset dan publikasi ilmiah. Kinerja para dosen dan peneliti juga
meningkat signifikan, terlihat dari kenaikan jumlah publikasi Indonesia di
jurnal bereputasi, yang kini berada di peringkat 40 besar dunia6.
Mengaitkan kenaikan jumlah profesor dengan penurunan kualitas adalah kesimpulan prematur. Justru yang dibutuhkan saat ini adalah konsistensi evaluasi mutu dan penguatan ekosistem akademik. Profesor bukan sekadar gelar, melainkan hasil dari perjalanan panjang seorang dosen & peneliti dalam pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Mereka layak dihargai, bukan dicurigai.
Referensi:
1Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), Kemendikbudristek, 2024.
2Federal Statistical Office of Germany, Academic Staff by Title, 2022.
3American Association of University Professors
(AAUP), Annual Report on the Economic Status of the Profession, 2023.
4Higher Education Statistics Agency (HESA), UK,
2022.
5Kemendikbudristek, Sistem Informasi Sumberdaya
Terintegrasi (SISTER), 2023.
6Scimago Journal & Country Rank, 2024 .