Baru-baru ini, Ghana membuat
gebrakan di bidang akademis yang layak untuk diapresiasi dan diteladani oleh negara
lain, termasuk juga negri Konoha. Melalui Komisi Pendidikan Tinggi Ghana atau “Ghana Tertiary Education Commission”
(GTEC), negara tersebut secara resmi melarang
adanya penggunaan gelar Doktor dan Profesor kehormatan (Honoris
causa) oleh pejabat publik, termasuk didalamnya para politisi,
pebisnis, dan tokoh agama. Langkah ini tidak hanya bersifat simbolik, namun juga
secara substansial melindungi integritas akademik dan etika pejabat publik.
Mengutip pernyataan resmi GTEC yang
dilansir Premium Times Nigeria (edisi 3 Juni 2025), penggunaan gelar
kehormatan oleh pejabat publik dinilai “tidak etis dan menyesatkan”,
serta berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan. Komisi
tersebut menegaskan akan mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang
melanggar, dan akan menyebutkan nama pelanggar secara terbuka di media “name and shame”.
Mengapa
Langkah Kenapa Ini Penting?
Pertama, penggunaan gelar kehormatan
secara tidak tepat adalah sebuah tindakan yang tidak etis. Gelar akademik seharusnya mencerminkan kerja keras
intelektual, penelitian, dan kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan. Ketika
gelar diberikan hanya karena posisi, kekuatan finansial, atau popularitas, maka
nilainya akan merosot dan mencederai para akademisi.
Kedua, penyalahgunaan gelar honoris
causa dapat menyesatkan publik.
Tidak semua kalangan memahami perbedaan antara gelar akademik secara resmi dan
gelar kehormatan. Seorang pejabat publik yang mencantumkan gelar “Dr.” atau
“Prof.” di depan namanya dengan bebas di media dan dalam setiap dokumen negara
dapat menciptakan ilusi kompetensi akademik yang sebenarnya tidak dimilikinya.
Ketiga, praktik ini membuka ruang terjadinya
praktek jual-beli ijazah/ gelar.
Dalam banyak kasus, gelar kehormatan diberikan oleh institusi tidak jelas atau
bahkan universitas abal-abal (degree
mills) dengan imbalan sejumlah uang. GTEC dalam pernyataannya menyebut
fenomena ini sebagai ancaman nyata terhadap sistem pendidikan.
Terakhir, gelar kehormatan sering
dipakai untuk politik praktis.
Mereka yang tengah mencalonkan diri sebagai pejabat atau ingin memperluas
pengaruh sosial kerap menyematkan gelar semu demi meningkatkan legitimasi. Ini
adalah bentuk manipulasi simbolik yang sangat merugikan.
Layakkah Konoha Mencontoh?
Pertanyaan yang harus kita renungkan
adalah: apakah kita juga berani
membersihkan praktik serupa di negeri ini? Kita tak jarang melihat
politisi memakai gelar kehormatan di baliho, surat resmi, dan panggung kampanye.
Sering kali gelar itu berasal dari institusi yang tidak jelas atau bahkan universitas
tanpa akreditasi.
Sudah waktunya lembaga-lembaga
seperti Kementerian Pendidikan, BAN-PT, dan asosiasi para akademisi mengambil
sikap. Jika Ghana –salah satu negara berkembang di Afrika- saja berani
mengambil langkah tegas, mengapa Konoha belum?
Pelarangan pemberian gelar Honoris
causa semacam ini bukan berarti menghapus penghargaan. Tapi gelar
kehormatan seharusnya diberikan secara
tertutup dan simbolis, bukan ditampilkan di kartu nama atau surat dinas.
Ini demi menjaga makna pendidikan dan menghindari penyalahgunaan simbol
akademik untuk kepentingan pribadi.
Ghana telah memberi pelajaran
penting bahwa gelar Dr dan Prof bukanlah gelar yang menempel pada papan nama,
melainkan simbol pencapaian dan integritas di bidang Ilmu Pengetahuan.
Penyalahgunaan gelar oleh oknum pejabat publik adalah bentuk manipulasi
akademik. Mari kita dorong agar negri ini mengikuti jejak langkah yang sama, demi
publik yang lebih cerdas, dan pejabat yang lebih berintigritas.
Referensi:
- Premium Times Nigeria. (3 Juni 2025). Ghana bans
honorary doctorate, professor titles by public officials.
- Legit.ng. (4 Juni 2025). Public officials banned
from using honorary titles in Ghana.
- GTEC Official Statement via GhanaWeb (31 Mei 2025).