Ada satu hal yang sering kali luput
dari kesadaran publik, bahkan dalam masyarakat yang mengaku melek politik
sekalipun, bahwa sebagian besar politisi pada hakikatnya adalah seorang “Aktor”.
Mereka tampil di hadapan publik tidak hanya sebagai politisi, tetapi juga
sebagai figur yang membangun narasi, memainkan emosi, dan mempersonifikasi
harapan rakyat. Politik bukan hanya tentang kebijakan dan ideologi; ia juga
tentang pertunjukan. Ada aktor yang begitu meyakinkan, begitu otentik, sehingga
seolah-olah pantas mendapatkan penghargaan setingkat Oscar. Ada pula aktor yang
terlihat setengah hati dalam memainkan perannya, sehingga nampak canggung, dan
mudah terbaca topengnya, aktor yang kedua memainkan peran secara medioker.
Sejak era digital mengubah wajah
politik pada pertengahan abad ke-20, “Pencitraan”
telah menjadi unsur penting dalam dunia politik. Seperti dalam debat calon presiden
AS -Richard Nixon vs. John F. Kennedy -tahun 1960. Warga Amerika yang menonton
debat lewat televisi merasa bahwa JF. Kennedy "telah menang" karena penampilannya
yang terlihat meyakinkan dan penuh percaya diri, sedangkan Nixon tampak lesu,
grogi dan berkeringat. Padahal isi argumen mereka nyaris sama. Peristiwa ini
menjadi awal dari era politik modern di mana estetika dan retorika sering
mengalahkan substansi.
Politisi -sadar atau tidak- mulai
menyesuaikan diri dengan dunia yang menuntut mereka menjadi "persona
publik" yang menarik. Mereka mulai menyewa konsultan media, belajar cara public
speaking, serta teknik untuk membaca bahasa tubuh dari lawan bicaranya. Mereka
belajar bagaimana menangis di waktu yang tepat, tersenyum di tengah cobaan, dan
menyentuh bahu rakyat kecil saat kamera sedang merekam.
Ini bukan teori konspirasi,
melainkan realitas dalam politik kontemporer. Seperti yang disampaikan oleh
sejarawan politik Christopher Lasch dalam The Culture of Narcissism
(1979), politisi modern bukan lagi pemimpin substantif, melainkan tokoh publik
yang piawai membangun citra. Mereka tidak memimpin dari keyakinan, melainkan
dari persepsi. Lasch bahkan menyebut mereka sebagai "performers in the
age of narcissism."
Kita bisa melihat jejak narasi ini
dalam berbagai peristiwa sejarah dunia. Contohnya, Benito Mussolini di Italia,
seorang mantan jurnalis dan orator ulung, yang membangun citra "Manusia
Super" melalui teatrikalitas yang dramatis. Atau Joseph Stalin, yang
awalnya tampak sebagai pemersatu bangsa, namun lambat laun membuka topengnya
sebagai diktator brutal. Bahkan tokoh seperti Aung San Suu Kyi yang dulu dipuja
sebagai simbol demokrasi, belakangan mendapat kritik keras karena sikap diamnya
terhadap krisis Rohingya. Semua ini menunjukkan bahwa figur bisa berubah.
Topeng bisa terbuka. Sejarah penuh dengan contoh semacam ini.
Oleh karena itu, adalah wajar dan
sehat jika kita menyisakan ruang untuk skeptis terhadap para politisi.
Skeptisisme bukanlah sinisme. Ia bukan berarti membenci semua tokoh atau
mencurigai setiap langkah mereka. Skeptisisme adalah bentuk kedewasaan berpolitik—kesadaran
bahwa loyalitas seharusnya ditujukan pada nilai (value), bukan pada figur
(personality). Karena nilai adalah kompas moral yang relatif stabil, sedangkan
figur bisa berubah oleh waktu, godaan kekuasaan, atau kelemahan lain yang
sersifat manusiawi.
Terkait dengan hal ini, George
Orwell dalam novelnya Animal Farm (1945) pernah mengatakan: “All
animals are equal, but some animals are more equal than others.” Politik,
ketika dijalankan tanpa kontrol publik dan kesadaran nilai, mudah berubah
menjadi panggung manipulasi. Figur yang semula dielu-elukan bisa menjadi simbol
tirani. Yang terlihat jujur hari ini, bisa terbukti korup di esok hari.
Memahami politisi sebagai aktor
bukan berarti menafikan peran penting mereka dalam demokrasi. Namun, pemahaman
ini membantu kita menjaga jarak kritis dan menahan diri dari pengkultusan
individu. Kita perlu menyadari bahwa politik adalah ranah penuh kepentingan,
pencitraan, dan permainan persepsi. Dalam lanskap seperti ini, hanya nilai “value”
yang layak kita pertahankan secara loyal.
Tetaplah mencintai keadilan,
memperjuangkan kebenaran, dan bersuara untuk keadaban. Tapi jangan pernah
menggantungkan harapan secara total pada figur mana pun. Karena sebagaimana
sejarah telah berkali-kali mengajarkan kita: wajah-wajah politik bisa berubah,
tapi nilai adalah satu-satunya jangkar yang akan tetap menuntun kita.
Wallahu a’lam.