Keteladanan Nabi Muhammad ﷺ Tentang Sikap Kerendahan Hati

Dr. Rudiyanto, SP., M.Si
0

Terdapat satu ayat pendek dalam Al-Qur’an yang mungkin jarang dikutip saat Khutbah Jum’at, namun memuat pelajaran yang sangat berharga bagi setiap pemimpin umat, setiap pendidik (Guru, Ustadz, Kyai), dan bagi siapa saja yang memiliki “otoritas”. Allah ﷻ berfirman kepada Nabi Muhammad ﷺ:


Dan rendahkanlah dirimu (Muhammad ﷺ) terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu‘ara [26]: 215)


Sepintas, ayat ini berisi anjuran/ nasehat semata. Namun jika kita menelisik konteks dan pesan di baliknya, ia sesungguhnya adalah prinsip kepemimpinan yang tak lekang oleh waktu, yakni perintah agar kekuasaan dan otoritas tidak melahirkan jarak dan sikap arogansi, melainkan sikap kerendahan hati.


Konteks Historis, Pemimpin dan Pengikut


Ayat ini turun di Makkah, ketika Islam masih menjadi benih kecil di tengah gurun penentangan. Pengikut Nabi ﷺ kala itu mayoritasnya adalah orang lemah, miskin dan kaum yang “tertindas”. Di mata kaum Quraisy, mereka “tidak layak” bila duduk sejajar dengan para “Bangsawan Quraisy”. Namun, di mata Allah ﷻ, mereka justru mendapat tempat mulia dan Nabi ﷺ diperintahkan agar merendahkan diri di hadapan mereka.


Perintah “merendahkan diri” (ikhfiḍ janāḥak) secara harfiah berarti “menurunkan sayapmu”, sebuah metafora yang menggambarkan sikap penuh empati dan keakraban. Ia bukan sekadar larangan bersikap takabur dan sombong, tetapi ajakan untuk mendekat, memahami, dan menyatu dengan umat.


Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, maknanya adalah agar Rasulullah ﷺ bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, tidak menjauh karena perbedaan status atau kekuasaan. Tafsir ini menegaskan dimensi sosial ayat tersebut, keimanan tidak boleh menjadi alasan untuk meninggikan diri, melainkan mendorong untuk menundukkan hati.


Tawadhu sebagai Inti Kepemimpinan


Rendah hati bukanlah kelemahan, tetapi kekuatan moral yang paling halus. Dalam konteks Nabi Muhammad ﷺ, tawadhu bukan berarti tunduk kepada manusia secara mutlak, melainkan bentuk kasih sayang yang lahir dari kesadaran bahwa kepemimpinan sejati bukan menguasai, tetapi melayani.


Nabi ﷺ tidak duduk di singgasana, melainkan di lantai masjid bersama sahabat-sahabatnya. Ia tidak mengenakan simbol kekuasaan, tetapi senyum penuh ketulusan. Ketika seseorang datang dengan pakaian lusuh, beliau tak menegurnya dengan jarak, tetapi dengan sapaan penuh penghormatan. Ketika sahabatnya melakukan kesalahan, beliau menasihati tanpa mempermalukan. Sikap seperti itulah yang membuat para sahabat rela berkorban untuk beliau -karena Allah ﷻ -, bukan karena rasa segan atau takut, tetapi karena rasa cinta dan penghormatan kepada beliau ﷺ.


Refleksi bagi Pemimpin Masa Kini


Ayat ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, dimana kerendahan hati bukan hanya sekadar nilai spiritual, ia adalah cermin bagi dunia “otoritas” yang kerap lupa pada makna kemanusiaan dalam kepemimpinan. Banyak pemimpin hari ini mengartikan kekuasaan sebagai hak istimewa, bukan amanah. Mereka berdiri di podium, tapi jauh dari umat dan rakyatnya. Dalam situasi semacam itu, pesan “rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu” terasa sebagai teguran yang sangat keras.


Rendah hati tidak berarti kehilangan otoritas. Justru dengan merendah, seseorang memperkuat kewibawaannya. Seperti dikatakan dalam sebuah Hadist

Sedekah tidak akan mengurangi harta, tidaklah seseorang memberi maaf melainkan Allah ﷻ akan menambah kemuliaannya, dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah ﷻ melainkan Allah ﷻ akan meninggikannya.” (HR. Muslim, No. 2588

Dalam konteks sosial, kerendahan hati adalah bentuk kecerdasan emosional yang menghubungkan pemimpin dengan nurani publik.


Meneladani Nabi ﷺ dalam Relasi Sosial


Perintah itu juga dapat dipahami dalam konteks yang lebih luas, bukan hanya antara pemimpin dan pengikutnya, tetapi antara siapa pun yang memiliki kelebihan dan yang tidak. Dalam dunia kerja, atasan dan bawahan, guru terhadap murid, kyai terhadap santri, pejabat terhadap rakyatnya, bahkan orang tua terhadap anaknya, prinsipnya adalah sama. Ketinggian moral diukur bukan dari seberapa tinggi posisi, tetapi seberapa rendah hati seseorang memperlakukan yang lebih kecil darinya.


Dalam kehidupan Nabi ﷺ, kerendahan hati bukan sekedar teori. Ketika beliau disapa anak-anak kecil, beliau berhenti dan menjawab salam mereka. Ketika diminta tolong oleh orang tua renta, beliau bergegas tanpa menunda. Bahkan ketika beliau wafat, kain kafannya sangat sederhana, tak berbeda dengan umat biasa. Semua ini adalah manifestasi dari ayat Asy-Syu‘ara: 215 yang hidup dalam keseharian beliau ﷺ, dan bukan sekadar dibaca dan dihafalkan.


Rendah Hati sebagai Dakwah


Pada akhirnya, ayat ini mengingatkan kita bahwa dakwah dan kepemimpinan bukanlah tentang memerintah, tetapi mengajak. Mengajak dengan kelembutan, menuntun dengan empati. Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan untuk rendah hati bukan karena beliau sombong, melainkan agar umat manusia belajar bahwa ketinggian sejati justru lahir dari sikap kerendahan hati.


Ketika jabatan duniawi terus berlomba meninggi, ayat ini datang sebagai penyeimbang, menuntun kita untuk menunduk, melihat manusia lain dengan cinta dan empati, dan menyadari bahwa setiap ketinggian yang tidak disertai kerendahan hati, pada akhirnya akan runtuh oleh kesombongan itu sendiri.

Post a Comment

0 Comments

Post a Comment (0)

#buttons=(Ok, Setuju!) #days=(20)

Blog www.rudiyanto.net menggunakan cookies pada browser anda Cek Sekarang
Ok, Go it!