Refleksi atas “Honor 300 Ribu” untuk Akademisi, Seperti Itukah Kita Menghargai Ilmu?

Dr. Rudiyanto, SP., M.Si
0

Beberapa hari terakhir, unggahan seorang dosen yang mengeluhkan diberikannya honorarium senilai Rp.300 ribu untuk menjadi pembicara di sebuah acara seminar berbayar ramai diperbincangkan di platform sosial media Threads. Dalam unggahannya, ia menyebut bahwa di acara/ forum yang sama, seorang influencer ternama mendapat bayaran hingga belasan juta rupiah. “Ini bukan tentang uangnya,” tulis sang dosen, “tapi tentang menghargai waktu dan tenaga yang telah saya berikan untuk audiens.” Polemik ini membuka kembali diskusi lama tentang berapa sebetulnya insentif yang layak bagi seorang akademisi ketika mengisi sebuah seminar atau workshop? dan mengapa di panggung yang sama, seorang influencer atau artis bisa dibayar jauh lebih mahal?


Antara Ilmu dan Industri Hiburan


Secara tradisi, dunia akademik menempatkan kegiatan berbagi ilmu sebagai bagian dari pengabdian atau tridharma perguruan tinggi, dan bukan sebagai profesi “komersial”. Karena itu, banyak universitas atau komunitas mahasiswa memberikan insentif honor yang bersifat simbolis. Padahal, di balik satu jam ia berceramah, seorang akademisi perlu menyiapkan materi berbasis riset, menyusun data, serta merancang pendekatan edukatif yang komprehensif. Itu semua membutuhkan waktu, tenaga, dan keahlian yang tidak instan.


Sebaliknya, di dunia hiburan, KPI atau nilai kinerja diukur dengan “attention economy”. Seorang Influencer atau artis dibayar berdasarkan seberapa luas jangkauannya (jumlah followers), engagement rate, serta nilai promosi yang bisa dihitung secara kalkulasi ekonomi. Studi oleh Lou dan Yuan (2019) di Journal of Interactive Advertising menunjukkan bahwa efektivitas influencer marketing dapat meningkatkan nilai jual kepada konsumen hingga 87%, sebuah dampak yang bisa diukur secara ekonomis. Tak heran, sponsor rela membayar mahal karena hasilnya terukur secara ROI (return on investment).


Sementara kebermanfaatan seorang akademisi sering kali bersifat jangka panjang dan bahkan tak kasat mata: memberikan pencerahan, peningkatan kapasitas, atau perubahan cara berpikir ilmiah, yang sulit dikonversi menjadi angka rupiah dalam laporan pembukuan pihak sponsor. Maka, wajar bila sistem nilai di antara keduanya berbeda: yang satu dihargai karena dampak ekonominya dan kuantitatif, yang lain karena dampak “intangible” nya dan bersifat kualitatif.


Bagaimana Penghargaan Untuk Akademisi di Luar Negeri? Ada Standarnya, Ada Etikanya


Di luar negeri, honorarium bagi akademisi bukan hal tabu, bahkan tertulis dan diatur secara jelas. Misalnya, New York University (NYU) menetapkan kisaran honorarium US$200–US$500 untuk kuliah tamu satu sesi, dan US$2.000–US$5.000 untuk lokakarya yang diselenggarakan penuh satu hari (New York University, 2023). Sementara di sektor profesional, National Speakers Association (USA) mencatat rata-rata honor keynote speaker non-selebriti berkisar US$5.000–US$10.000, sedangkan tokoh ternama dan selebritas bisa mencapai US$50.000–US$250.000 per sesi (Global Conference Network, 2024).


Dengan demikian, sistem di luar negeri ternyata juga membedakan secara eksplisit antara “honor akademisi” dan “speaker fee profesional.” Universitas biasanya memberi honor simbolis untuk acara akademik internal, tetapi konferensi publik yang bersifat komersial diharapkan memberikan insentif yang sesuai standard. Transparansi ini menjaga martabat akademisi, tanpa harus mengesankan bahwa kegiatan ilmiah saat ini terasa komersialis.


Di Indonesia: Antara Idealitas dan Realitas


Indonesia belum memiliki standar yang cukup layak untuk honor pembicara akademik, meskipun sudah ada SBM Pagu anggaran dari Kemenkeu terkait honor narasumber bagi PNS (dosen maupun periset/ peneliti). Banyak penyelenggara acara, termasuk pihak kampus sendiri, yang masih berpikir bahwa “dosen pasti mau kalau diminta menjadi pembicara, karena itu sudah menjadi tugasnya.” Paradigma ini tidak sepenuhnya salah dalam konteks tridharma, tetapi akan menjadi problematik pada saat acara yang bersifat komersial (berbayar atau disponsori). Dalam konteks seperti itu, honor Rp300 ribu terasa bukan sekadar kecil, tetapi sangat tidak etis.


Seorang akademisi membawa nama institusi, reputasi ilmiah yang dibangun bertahun-tahun, dan waktu risetnya yang tentu sangat berharga. Honor yang layak bukan berarti “harus mahal,” melainkan proporsional dengan kontribusi dan konteks acara yang diselenggarakan. Jika acara mengundang ratusan peserta dengan tiket berbayar dan melibatkan sponsor, pemberian honor simbolis justru memperlihatkan ketimpangan penghargaan antara “ilmu” dan “influensi.”


Prinsip Keadilan dalam Penentuan Honorarium


Ada tiga prinsip yang bisa dijadikan acuan kebijakan etis bagi penyelenggara:

1. Konteks kegiatan: Jika acara bersifat akademik atau nirlaba, honor simbolis tentu sah-sah saja. Namun jika acara berbayar, honor harus proporsional dengan pendapatan yang didapat oleh pihak penyelenggara.

2. Nilai waktu dan persiapan: Honor harus mencerminkan jam kerja yang dibutuhkan untuk riset dan penyusunan materi acara.

3. Transparansi dan kesetaraan: Jangan membedakan penghargaan berdasarkan “siapa yang lebih viral,” tetapi berdasarkan kontribusi keilmuan dan nilai tambah yang diberikan kepada peserta (audiens).


Dalam Report of the American Association of University Professors (AAUP, 2023), disebutkan bahwa menghargai waktu akademisi dengan kompensasi yang layak merupakan bagian dari etika profesional dan academic dignity. Penghargaan bukan hanya soal uang, tetapi soal pengakuan terhadap nilai keilmuan dari dosen itu sendiri.


Kisah “honor 300 ribu” seharusnya bukan dipandang sebagai bentuk keluh kesah pribadi, tetapi cermin dari cara kita -sebagai masyarakat- menilai kedudukan ilmu dan orang yang mengabdikan hidupnya pada ilmu pengetahuan. Di satu sisi, kita menuntut akademisi berbicara di ruang publik agar wacana tidak hanya didominasi hiburan/ sensasi semata. Namun di sisi lain, ketika mereka hadir, kita hanya memberi mereka “amplop tipis”, sementara panggung megah dan sponsor justru diperuntukkan bagi figur yang hanya mampu menjual klik bait.


Sudah saatnya publik belajar menghargai ilmu dengan cara yang lebih bermartabat. Bukan dengan glorifikasi, tetapi dengan kompensasi yang adil dan etika yang jernih. Sebab pada akhirnya, kualitas masyarakat tidak hanya ditentukan oleh siapa yang paling didengar, tetapi oleh siapa yang paling memahami apa yang ia katakan.


Referensi:

  • American Association of University Professors. (2023). Statement on Academic Freedom and Professional Ethics. Washington, DC: AAUP Press.
  • Global Conference Network. (2024). Average Keynote Speaker Fee Report 2024. London: GCN Publications.
  • Lou, C., & Yuan, S. (2019). Influencer Marketing: How Message Value and Credibility Affect Consumer Trust. Journal of Interactive Advertising, 19(1), 58–73. https://doi.org/10.1080/15252019.2018.1533501
  • New York University. (2023). Guidelines on Guest Speaker Honoraria. NYU Faculty Resources. Retrieved from https://www.nyu.edu/academics/honoraria
  • University of Wyoming. (2023). Honorarium Policy Document. Laramie, WY: UW Office of Finance.

Post a Comment

0 Comments

Post a Comment (0)

#buttons=(Ok, Setuju!) #days=(20)

Blog www.rudiyanto.net menggunakan cookies pada browser anda Cek Sekarang
Ok, Go it!