Sains Bukanlah Dogma, Perlunya Ilmuwan Bersikap Terbuka Terhadap Kritik

Dr. Rudiyanto, SP., M.Si
0

Science is the belief in the ignorance of The experts.” Kalimat provokatif ini diucapkan oleh seorang fisikawan peraih Nobel, Richard Feynman. Kalimat itu tidak dimaksudkan untuk merendahkan harkat dan martabat para ilmuwan, melainkan untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan/ sains sejatinya lahir dari kesadaran akan keterbatasan ilmu manusia dan bukan dari sikap arogansi dan merasa tahu tentang segala hal.


Kutipan itu kembali mengemuka dalam tulisan Daniel Lemire (2020), yang menyoroti adanya paradoks di dunia science terkini. Para ilmuwan yang seharusnya paling sadar akan kompleksitas dan batas-batas dari pengetahuan, terkadang terjebak pada rasa “percaya diri” yang berlebihan. Dalam ruang diskusi, pendapat mereka terkadang dijadikan patokan kebenaran yang absolut, padahal sejarah ilmu pengetahuan membuktikan bahwa sesuatu yang dulu diyakini sebagai “fakta” ternyata kelak kemudian terbukti “salah” atau “keliru”.


Ilmu yang Hidup adalah Ilmu yang Terbuka


Ilmu pengetahuan tidaklah dibangun di atas dogma, melainkan dari serangkaian experiment dan pengujian, falsifikasi dan revisi yang terus berulang. Inilah yang membedakan science dengan ideologi tertentu. Di sinilah esensi dari ucapan Feynman bahwa science bukan kepercayaan terhadap siapa yang berbicara, melainkan terhadap apa yang dibicarakan dan bagaimana ia membuktikan hal itu secara scientific.


Akan tetapi, belakangan ini kita justru melihat sebaliknya, masyarakat cenderung begitu saja mengiyakan suara para “pakar” tanpa menyelami proses ilmiahnya terlebih dahulu. Sementara di sisi lain, tidak sedikit pula komunitas yang justru menolak semua bentuk otoritas ilmiah, dan terjebak dalam narasi “konspiratif” dan menganggap bahwa semua “ahli” tak bisa dipercaya.


Dua kutub ekstrem ini sama-sama bermasalah. Yang satu terlalu taklid, satunya lagi terlalu skeptis. Yang hilang adalah sikap kritis yang sehat, yang menjadi ruh dari lahirnya ilmu pengetahuan itu sendiri.


Era Post-truth dan Misinformasi


Di era digital saat ini, ketidaktahuan bukan lagi disebabkan karena kurangnya informasi, namun sering kali yang terjadi adalah membanjirnya disinformasi yang disengaja. Dalam studi agnotologi (ilmu tentang ketidaktahuan), dijelaskan tentang bagaimana sebuah disinformasi diproduksi, disebarkan, dan dipertahankan secara sosial dan politis. Adanya kepentingan politik dan industri kerap membingkai ulang fakta ilmiah demi keuntungan tertentu.


Contoh nyata, bisa kita lihat dari pandangan sebagian masyarakat tentang isu perubahan iklim, aplikasi penggunaan vaksin, hingga produk pangan hasil rekayasa genetika (GMO). Para pakar yang menyuarakan “konsensus ilmiah” sering diserang secara personal, sementara opini hoax tanpa dasar justru mendapatkan panggung karena algoritma media sosial yang lebih mengutamakan “kontroversi”.


Feynman juga menyatakan bahwa ilmu harus terus menguji dirinya sendiri. Tetapi masyarakat juga harus diajarkan bagaimana membedakan keraguan/ skeptis yang sehat -karena kurangnya bukti- dengan sikap skeptis/ keraguan akibat adanya rekayasa karena kepentingan tertentu.


Memulihkan Kepercayaan dan Meningkatkan Literasi


Hal yang mendesak saat ini bukan soal perlunya memproduksi lebih banyak teori ilmu pengetahuan, tetapi memulihkan kembali trust terhadap sains melalui edukasi. Literasi ilmiah tidak hanya dilihat dari hafalan rumus matematis, melainkan kemampuan memahami metodologi ilmiah: Bagaimana sebuah data itu dikumpulkan, bagaimana kesimpulan itu diambil secara obyektif, dan bagaimana sebuah experiment bisa salah sehingga perlu untuk direvisi.


Para ilmuwan juga perlu membumikan cara berkomunikasi mereka kepada masyarakat. Kejujuran terhadap “kelemahan” sebuah penelitian, keterbukaan terhadap kritik, dan kemampuan menjelaskan kompleksitas kepada masyarakat awam adalah bagian dari tanggung jawab etik dari seorang ilmuwan.


Menjadi Bagian dari Masyarakat Ilmiah


Kita tidak sedang dihadapkan pada kondisi perseteruan antara “para pakar vs masyarakat umum”. Yang kita harapkan adalah terbentuknya masyarakat yang ilmiah, yakni masyarakat yang paham bahwa sains bukanlah “menara gading”, tetapi sebuah alat kolektif untuk mencari sebuah kebenaran ilmiah.


Ilmu yang hidup adalah ilmu yang terus-menerus bersedia untuk diuji dan diperbaiki. Dan masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang tidak terjebak dalam mitos kepakaran ataupun fobia terhadapnya. Feynman tidak sedang melemahkan otoritas ilmiah. Ia justru sedang memperkuat semangat ilmu itu sendiri. Maka siapa pun, tak peduli seberapa pakarnya, tidak kebal dari kemungkinan terjadinya kesalahan. 


Referensi:

Lemire, D. (2020). Science is the belief in the ignorance of experts. Daniel Lemire’s Blog. https://lemire.me/blog/2020/07/12/science-is-the-belief-in-the-ignorance-of-experts/

Tags

Post a Comment

0 Comments

Post a Comment (0)

#buttons=(Ok, Setuju!) #days=(20)

Blog www.rudiyanto.net menggunakan cookies pada browser anda Cek Sekarang
Ok, Go it!