Peran Intelektual: Menyuarakan Kebenaran & Penjaga Nurani Publik

Posted on
  • Sunday, July 13, 2025
  • by
  • in
  • Label: ,
  • Dalam dunia yang dipenuhi dengan arus informasi yang serba cepat, hoaks yang kian meraja lela, dan kekuasaan yang sering kali steril dari kritik, kutipan Noam Chomsky yang berbunyi:“The responsibility of intellectuals is to speak the truth and to expose lies” menjadi pengingat yang tajam tentang peran fundamental kaum intelektual yakni bukan hanya sebagai pelayan kekuasaan, melainkan sebagai penggaris yang meluruskan. Intelektual bukan hanya pemilik pengetahuan, tetapi juga pemikul tanggung jawab moral.
    "Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak, sedang kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 42)
    Intelektual dan Tanggung Jawab Sosial

    Sejarah mencatat bahwa para intelektual kerap memainkan peran penting dalam membuka jalan bagi transformasi sosial. Dari Jean-Paul Sartre yang menolak diam terhadap kolonialisme Prancis, hingga Prof. Dr. Ichlasul Amal yang dengan pena dan pikirannya melawan rezim otoriter Orde Baru, intelektual sejati selalu berdiri pada garis kritis terhadap otoritas kekuasaan. Edward Said menyebut bahwa intelektual publik adalah mereka yang “speak truth to power”, bukan sekadar mengulang narasi propaganda demi kenyamanan atau status sosial (Edward Said, 1994).
    Rasulullah ﷺ bersabda: “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
    Sayangnya, dalam kondisi hari ini, banyak intelektual justru memilih jalan sebaliknya. Di banyak negara, termasuk Negri Indonesia tercinta ini, suara kritis dari kampus, lembaga riset dan dunia akademik semakin sunyi. Laporan dari The Conversation (2023) mencatat adanya peningkatan tekanan terhadap kebebasan akademik, baik secara langsung melalui regulasi, maupun secara tidak langsung melalui ketergantungan pendanaan riset pada lembaga-lembaga negara atau korporasi.

    Akademik dan Relasi Kekuasaan

    Alih-alih menjadi ruang bebas berpikir, banyak universitas kini lebih mirip birokrasi yang dikejar target akreditasi dan ranking. Relasi antara lembaga pendidikan tinggi dan kekuasaan negara maupun kapitalisme global sering kali justru menciptakan kompromi yang melemahkan posisi kritis kaum intelektual. Hal ini sesuai dengan kritik Pierre Bourdieu tentang “Dominasi Simbolik”, di mana institusi pendidikan berfungsi mereproduksi ketimpangan sosial melalui legitimasi ilmiah yang tampak objektif namun sebenarnya sangat subjektif (Bourdieu, 1998).

    Akibatnya, banyak intelektual terjebak dalam ilusi objektivitas yang steril dari keberpihakan pada rakyat. Mereka sibuk mengisi jurnal bereputasi, namun enggan turun ke masyarakat. Mereka fasih membahas epistemologi, namun gagap ketika ditanya tentang keadilan sosial atau pelanggaran hak setiap warga negara.
    “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali 'Imran: 104)
    Tantangan Zaman Digital

    Tantangan kaum intelektual hari ini juga semakin kompleks karena hadirnya dunia digital. Disinformasi, echo chamber, dan post-truth telah merusak lanskap komunikasi publik. Dalam situasi seperti ini, peran intelektual menjadi semakin mendesak: menyaring informasi, mendidik publik, dan menghadirkan argumen yang jernih di tengah polarisasi. Seperti yang diingatkan Yuval Noah Harari (2018), dalam era data dan algoritma, kekuasaan tidak lagi hanya berada di tangan negara, tetapi juga perusahaan teknologi raksasa yang mengendalikan informasi dan opini publik. Jika intelektual tidak bersuara, atau justru menjadi bagian dari mesin disinformasi dan propaganda, maka siapa lagi yang akan menjadi cahaya di tengah gelapnya gulita?
    “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
    Intelektual: Nurani yang Keluar dari Zona Nyaman

    Menjadi intelektual berarti siap tidak populer, siap menolak tunduk pada kekuasaan, dan siap membayar harga sosial dari keberanian berpikir merdeka. Seperti disampaikan oleh Gramsci, setiap manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang memiliki fungsi sebagai intelektual organik, yakni mereka yang menyadari posisinya dalam struktur sosial dan memilih berpihak pada kebenaran (Gramsci, 1971).

    Kini, lebih dari sebelumnya, kita membutuhkan intelektual yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berani dan berintegritas. Mereka yang tidak menjual kata-katanya demi kekuasaan, yang tidak menjadikan ilmunya sebagai alat pembenaran, melainkan sebagai sarana pengabdian pada masyarakat.
    "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur’an), mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat." (QS. Al-Baqarah: 159)
    Sebagaimana diingatkan Chomsky, intelektual sejati bukan pelayan istana, melainkan penjaga nurani publik. Dalam dunia yang sarat kepalsuan dan ketidakadilan, suara mereka harus menjadi pengingat bahwa kebenaran tidak boleh dibungkam, dan kekuasaan tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa adanya koreksi.

    Referensi:
    • Bourdieu, P. (1998). Acts of Resistance: Against the Tyranny of the Market. The New Press.
    • Chomsky, N. (1967). The Responsibility of Intellectuals, The New York Review of Books.
    • Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
    • Harari, Y. N. (2018). 21 Lessons for the 21st Century. Spiegel & Grau.
    • Said, E. (1994). Representations of the Intellectual. Vintage.
    • The Conversation. (2023). Kebebasan Akademik di Indonesia: Tantangan dan Ancaman. https://theconversation.com
     
    Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia