Dalam dunia yang dipenuhi dengan arus
informasi yang serba cepat, hoaks yang kian meraja lela, dan kekuasaan yang
sering kali steril dari kritik, kutipan Noam Chomsky yang berbunyi:“The
responsibility of intellectuals is to speak the truth and to expose lies” menjadi
pengingat yang tajam tentang peran fundamental kaum intelektual yakni bukan hanya
sebagai pelayan kekuasaan, melainkan sebagai penggaris yang meluruskan.
Intelektual bukan hanya pemilik pengetahuan, tetapi juga pemikul tanggung jawab
moral.
"Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak, sedang kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 42)
Intelektual
dan Tanggung Jawab Sosial
Sejarah mencatat bahwa para
intelektual kerap memainkan peran penting dalam membuka jalan bagi transformasi
sosial. Dari Jean-Paul Sartre yang menolak diam terhadap kolonialisme Prancis,
hingga Prof. Dr. Ichlasul Amal yang dengan pena dan pikirannya melawan rezim
otoriter Orde Baru, intelektual sejati selalu berdiri pada garis kritis
terhadap otoritas kekuasaan. Edward Said menyebut bahwa intelektual publik
adalah mereka yang “speak truth to power”, bukan sekadar mengulang
narasi propaganda demi kenyamanan atau status sosial (Edward Said, 1994).
Rasulullah ﷺ bersabda: “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Sayangnya, dalam kondisi hari ini,
banyak intelektual justru memilih jalan sebaliknya. Di banyak negara, termasuk Negri
Indonesia tercinta ini, suara kritis dari kampus, lembaga riset dan dunia
akademik semakin sunyi. Laporan dari The Conversation (2023) mencatat
adanya peningkatan tekanan terhadap kebebasan akademik, baik secara langsung
melalui regulasi, maupun secara tidak langsung melalui ketergantungan pendanaan
riset pada lembaga-lembaga negara atau korporasi.
Akademik
dan Relasi Kekuasaan
Alih-alih menjadi ruang bebas
berpikir, banyak universitas kini lebih mirip birokrasi yang dikejar target
akreditasi dan ranking. Relasi antara lembaga pendidikan tinggi dan kekuasaan
negara maupun kapitalisme global sering kali justru menciptakan kompromi yang
melemahkan posisi kritis kaum intelektual. Hal ini sesuai dengan kritik Pierre
Bourdieu tentang “Dominasi Simbolik”,
di mana institusi pendidikan berfungsi mereproduksi ketimpangan sosial melalui
legitimasi ilmiah yang tampak objektif namun sebenarnya sangat subjektif (Bourdieu,
1998).
Akibatnya, banyak intelektual
terjebak dalam ilusi objektivitas yang steril dari keberpihakan pada rakyat.
Mereka sibuk mengisi jurnal bereputasi, namun enggan turun ke masyarakat.
Mereka fasih membahas epistemologi, namun gagap ketika ditanya tentang keadilan
sosial atau pelanggaran hak setiap warga negara.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali 'Imran: 104)
Tantangan
Zaman Digital
Tantangan kaum intelektual hari ini
juga semakin kompleks karena hadirnya dunia digital. Disinformasi, echo
chamber, dan post-truth telah merusak lanskap komunikasi publik.
Dalam situasi seperti ini, peran intelektual menjadi semakin mendesak:
menyaring informasi, mendidik publik, dan menghadirkan argumen yang jernih di
tengah polarisasi. Seperti yang diingatkan Yuval Noah Harari (2018), dalam era
data dan algoritma, kekuasaan tidak lagi hanya berada di tangan negara, tetapi
juga perusahaan teknologi raksasa yang mengendalikan informasi dan opini
publik. Jika intelektual tidak bersuara, atau justru menjadi bagian dari mesin
disinformasi dan propaganda, maka siapa lagi yang akan menjadi cahaya di tengah
gelapnya gulita?
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Intelektual:
Nurani yang Keluar dari Zona Nyaman
Menjadi intelektual berarti siap
tidak populer, siap menolak tunduk pada kekuasaan, dan siap membayar harga
sosial dari keberanian berpikir merdeka. Seperti disampaikan oleh Gramsci,
setiap manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang memiliki fungsi
sebagai intelektual organik, yakni mereka yang menyadari posisinya dalam
struktur sosial dan memilih berpihak pada kebenaran (Gramsci, 1971).
Kini, lebih dari sebelumnya, kita
membutuhkan intelektual yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berani dan
berintegritas. Mereka yang tidak menjual kata-katanya demi kekuasaan, yang
tidak menjadikan ilmunya sebagai alat pembenaran, melainkan sebagai sarana pengabdian
pada masyarakat.
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur’an), mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat." (QS. Al-Baqarah: 159)
Sebagaimana diingatkan Chomsky,
intelektual sejati bukan pelayan istana, melainkan penjaga nurani publik. Dalam
dunia yang sarat kepalsuan dan ketidakadilan, suara mereka harus menjadi
pengingat bahwa kebenaran tidak boleh dibungkam, dan kekuasaan tidak boleh
dibiarkan berjalan tanpa adanya koreksi.
Referensi:
- Bourdieu, P. (1998). Acts of Resistance: Against the Tyranny of the Market. The New Press.
- Chomsky, N. (1967). The Responsibility of Intellectuals, The New York Review of Books.
- Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
- Harari, Y. N. (2018). 21 Lessons for the 21st Century. Spiegel & Grau.
- Said, E. (1994). Representations of the Intellectual. Vintage.
- The Conversation. (2023). Kebebasan Akademik di Indonesia: Tantangan dan Ancaman. https://theconversation.com