Dalam diskursus publik mengenai kemajuan sains dan religiusitas, kerap muncul asumsi bahwa semakin jauh suatu individu atau bangsa dari agama, maka semakin dekat pula pada rasionalitas dan kemajuan ilmiah. Narasi ini terkadang diperkuat oleh pemikiran bahwa agama menghambat logika, sementara sains menuntut skeptisisme dan kebebasan berpikir. Namun, apakah benar bahwa dengan menjauhi "religiusitas" suatu bangsa akan menjadi maju di bidang sains?
Memang benar bahwa negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, atau Korea Selatan terlihat sangat sekuler dalam kebijakan publik. Namun, sekularisme negara tidak berarti bahwa penduduknya otomatis menjadi atheis atau agnostic. Sebaliknya, banyak warga di negara-negara ini tetap mempraktikkan nilai-nilai spiritual atau religius secara personal. Studi Pew Research (2020) menunjukkan bahwa Jepang memiliki tingkat kepercayaan spiritual yang tinggi, meski secara institusional negara tidak religius.
Yang menjadi kunci kemajuan mereka dalam sains bukanlah penolakan terhadap agama (non religious), melainkan: Investasi besar dalam riset dan teknologi (R&D), budaya meritokrasi dan kedisiplinan, sistem pendidikan yang menekankan literasi sains sejak dini, dan perlindungan terhadap kebebasan berpikir akademik, tanpa harus menolak keberadaan nilai spiritual.
Bagaimana dengan Indonesia?
Jika melihat spectrum demografi negri ini. Dari 287 juta penduduk Indonesia, 86,7% nya beragama Islam. Namun tahukah anda, hasil survei menunjukkan bahwa diantara 240 juta penduduk muslim di Indonesia yang taat dan menjalankan shalat 5 waktu hanya 38,9% dan yang mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar hanya 44,57%. Artinya, Indonesia sebenarnya tidaklah cukup “religius”. Namun, kenapa Indonesia yang “kurang religious” ini juga dianggap kurang maju di dalam sains?
Figur Religius di Indonesia
Kita bisa mengambil contoh Prof. BJ Habibie sebagai sosok figur yang religius. Beliau dikenal sebagai tokoh yang sangat religius dan sekaligus ilmuwan kelas dunia. Beliau memiliki lebih dari 40 paten internasional di bidang teknologi penerbangan, dan karya-karya ilmiahnya diakui secara global. Beliau mendapat gelar doktor di bidang teknik penerbangan dari Technische Hochschule Aachen, Jerman. Prof. Habibie merupakan contoh nyata bahwa religiusitas tidaklah menghambat pencapaian ilmiah. Bahkan, nilai-nilai spiritualnya sering menjadi fondasi etika kerja dan dedikasi terhadap ilmu pengetahuan.
Di BRIN sendiri, penulis melihat cukup banyak peneliti dan periset di lembaga ini yang religius (penulis sering bertemu dan melihat mereka shalat berjama’ah di Masjid Ulil Albab). Diantara mereka banyak yang menghasilkan karya ilmiah/ publikasi yang luar biasa hebat, bahkan jauh lebih hebat dari saya yang hanya “remahan rengginang” ini. Ada pula peneliti yang masuk top 2% world scientist dunia, namun beliau justru menyekolahkan putra & putrinya di sekolah IT dan pondok pesantren. Sepertinya, religiusitas tidak menghalangi mereka untuk terus berkarya dan berkontribusi nyata di dalam kemajuan sains.
Figur Non Religius di Indonesia
Di sisi lain, kita melihat beberapa tokoh non religious dari kalangan influencers terkemuka. Figur tersebut dikenal sebagai seorang agnostik dan sering berbicara mengenai filsafat sains, dan skeptisisme melalui beberapa platform digital. Namun sayangnya jika melihat rekam jejaknya, kontribusi ilmiahnya secara formal nyaris tidak terlihat. Apakah itu dalam bentuk publikasi jurnal ilmiah, paten, atau riset inovatif lainnya.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan seseorang, namun realitas keberadaan tokoh influencers non religious tersebut -yang mengedepankan rasionalitas dan logika- namun kontribusi di bidang sains justru minim, tentu menjadi sebuah tanda tanya besar?? Jika menjauhi agama adalah kunci kemajuan ilmiah suatu bangsa, maka seharusnya individu yang paling jauh dari religiusitas akan memimpin dalam inovasi riset. Namun, realitanya? silahkan disimpulkan sendiri.
Hipotesis bahwa “menjauhi religiusitas membuat bangsa lebih maju dalam sains” ternyata tidaklah valid secara mutlak. Yang lebih penting untuk ditekankan adalah sikap ilmiah, yaitu kemampuan berpikir kritis, mencintai kebenaran, serta membangun budaya riset secara kuat.
Religiusitas dan sains bukanlah dua kutub yang harus dibenturkan. Seorang ilmuwan bisa saja religius sekaligus rasional, seperti ditunjukkan oleh Prof. BJ Habibie dengan karya nyatanya di bidang sains. Maka, alih-alih mempertentangkan agama dan sains, kita seharusnya membangun jembatan antara keduanya, agar iman tidak membatasi ilmu dan ilmu tidak kehilangan etika dan arah spiritual.