Perlukah Relaksasi Standar Publikasi Bagi Peneliti BRIN?

Dr. Rudiyanto, SP., M.Si
0

Pergantian pucuk pimpinan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 10 November 2025 memunculkan gelombang harapan, terutama di kalangan peneliti yang selama ini merasa terbebani oleh tingginya target publikasi ilmiah. Namun, seyogyanya harapan itu tidak hanya diarahkan pada pelunakan standar KKM semata, melainkan lebih pada penguatan dukungan agar para peneliti mampu memenuhi tuntutan publikasi yang dimaksud. 


Mandat Atas Keputusan Kepala BRIN Nomor 31/I/HK/2025


Kritik terhadap Keputusan Kepala BRIN Nomor 31/I/HK/2025 sering lahir dari anggapan bahwa standar publikasi bagi peneliti BRIN terlalu tinggi (KKM berupa jurnal Q1 untuk Prof. Riset/ Peneliti Ahli Utama; Jurnal Q2 untuk Peneliti Ahli Madya; Jurnal Q3 untuk Peneliti Ahli Muda dan Jurnal Q4 untuk Peneliti Ahli Pertama). Standar KKM tersebut, sangat jauh berbeda dari standar publikasi untuk para dosen di perguruan tinggi. 


Mengkomparasikan BRIN dengan perguruan tinggi memang tidak apple to apple. Lembaga BRIN memang bukan perguruan tinggi. Ia tidak memikul beban Tridarma, tidak mengajar mahasiswa, dan tidak mengemban fungsi pendidikan tinggi. Mandat BRIN adalah memproduksi pengetahuan dan inovasi yang menempatkan Indonesia dalam percaturan sains skala global.


Karena itu, sebagian kalangan menilai, standar publikasi peneliti BRIN memang seharusnya lebih tinggi dibandingkan dosen di perguruan tinggi. Menyamakan kewajiban keduanya justru mengaburkan peran lembaga riset nasional sebagai lokomotif ilmu pengetahuan.


Transformasi Memang Menimbulkan Ketidaknyamanan


Tingginya tuntutan publikasi sebaiknya dipahami sebagai bagian dari proses transformasi. Banyak lembaga riset di dunia melewati fase yang serupa: target publikasi meningkat, standar diperketat, dan ekosistem riset yang terus diperbarui. Pada fase ini, ketidaknyamanan adalah sesuatu yang tak terelakkan.


Ada pula pandangan bahwa apabila standar publikasi diturunkan karena dirasa terlalu berat, maka Indonesia justru akan semakin tertinggal. Kesenjangan produktivitas ilmiah kita dengan negara-negara lain sudah sangat lebar. Mengendurkan target justru akan melebarkan jurang itu.


Adilkah Bila Output Publikasi Standarnya Internasional, Tapi Insentif dan Gaji Peneliti Standarnya Lokal?


Di sinilah kritik para peneliti dalam menemukan relevansi yang tidak bisa diabaikan. Kita menuntut performa peneliti BRIN agar setara dan sejajar dengan ilmuwan dunia. Dengan harus menerbitkan publikasi di jurnal bereputasi Q1-Q2, berjejaring global, dan bertarung di arena publikasi yang kompetitif, namun insentif dan gaji yang mereka terima standarnya masih skala lokal.


Seorang peneliti di Indonesia dengan tuntutan publikasi internasional bisa memperoleh gaji dan insentif yang jauh lebih rendah dibanding rekan sejawatnya dari lembaga riset luar negeri. Mereka tidak hanya bergaji lebih besar tetapi juga mendapat dukungan riset dari negaranya berupa fasilitas laboratorium yang memadai, pendanaan riset yang besar, serta disupport biaya untuk APC dan konferensi. 


Ketimpangan antara standard expectation dan standard compensation inilah yang menimbulkan rasa ketidakadilan. Tuntutan publikasi berstandar global tanpa insentif dan dukungan riset yang memadai menghadirkan tekanan struktural yang melampaui sekadar target output publikasi.


Perlu Solusi Pada Masalah Teknis, Bukan Hanya Masalah Standar


Keluhan tentang biaya publikasi atau Article Processing Charge (APC) valid adanya. Namun hal ini adalah masalah teknis yang seharusnya dapat diselesaikan tanpa menurunkan standar publikasi. BRIN dapat menyiapkan skema pendanaan untuk APC, atau dapat juga mendorong pemanfaatan jurnal bereputasi yang bebas biaya (hybrid/ free APC), dengan memperkuat unit pendukung publikasi (layanan proof reading, cek plagiasi dll). Di banyak negara, persoalan APC tidak menjadi persoalan untuk menurunkan standar publikasi ilmiah.


Jalan Tengah: Standar Tetap Global, Dukungan Riset Harus Memadai 


Menurut hemat kami, daripada kita menuntut untuk menurunkan standar publikasi, lebih baik membangun jalan tengah untuk yang menjaga kualitas publikasi sekaligus memperbaiki fairness dalam sistem Lembara Riset.


Beberapa langkah yang perlu untuk dilakukan, diantaranya:

1. Menyesuaikan tunjangan kinerja dengan standar output global.

 Jika publikasi yang diminta berada di level internasional (Q1-Q2), maka tunjangan peneliti harus  menggambarkan penghargaan yang setimpal dengan outputnya.

2. Menyediakan pendanaan riset yang memadai dan tidak terhambat birokrasi.

   Karena penelitian yang berkualitas tidak mungkin lahir dari anggaran yang minimalis.

3. Support pendanaan khusus untuk APC dan konferensi internasional.

    Beban APC publikasi tidak boleh lagi menjadi beban pribadi bagi para peneliti.

4. Mengurangi beban administratif peneliti.

    Standar global menuntut peneliti untuk bisa fokus pada riset, bukan pada laporan, sppd dan formulir birokratif lainnya.

5. Penguatan mentoring untuk peneliti muda.

   Para peneliti muda tidak boleh dibiarkan bertarung sendirian, mereka perlu untuk terus dibina dan diberdayakan. Dengan demikian, standar publikasi tetap tinggi, tetapi supporting system sejalan dan sesuai dengan ekspektasi.


Ambisi besar BRIN untuk menjadi lembaga riset kelas dunia patut untuk diapresiasi. Menjaga standar tinggi bukanlah tindakan elitis, tetapi kebutuhan mendesak agar riset Indonesia memiliki daya tawar dalam skala global.


Transformasi memang menyakitkan di awal, tetapi kemajuan selalu menuntut kerja keras. Jika BRIN mundur pada saat seperti ini, kita akan membayar mahal dalam bentuk stagnasi keilmuan dan hilangnya peluang inovasi.


Standar boleh tinggi, selama dukungannya memadai. Dan itulah tugas kepemimpinan baru di BRIN. Bukan dengan mengendorkan tuntutan publikasi, tetapi memastikan seluruh peneliti memiliki ekosistem yang memungkinkan mereka melompat lebih jauh.

Tags

Post a Comment

0 Comments

Post a Comment (0)

#buttons=(Ok, Setuju!) #days=(20)

Blog www.rudiyanto.net menggunakan cookies pada browser anda Cek Sekarang
Ok, Go it!