Peta Jalan bagi Generasi Muda, Antara Cita-Cita dan Realitas

Dr. Rudiyanto, SP., M.Si
0

Apa cita-citamu, Dik? “Mau jadi Direktur BUMN.”


Jawaban seperti ini sering terdengar dari mahasiswa-mahasiswa muda kampus top-tier dengan penuh percaya diri. Di satu sisi, ini sangat membanggakan. Namun, kali ini izinkan saya mengajak berpikir sedikit lebih dalam. Sebab di balik cita-cita besar itu, tersimpan realitas yang tidak sesederhana membalik telapak tangan. Membayangkan diri memakai blazer/ jas warna biru tua, rapat di ruangan berpanel kayu, diskusi bersama dewan direksi di gedung-gedung tinggi di kawasan elit milik BUMN.


Data menunjukkan, alumni ITB, UGM, dan UI masih mendominasi kursi direksi BUMN. Tapi dari sekian banyak alumni itu, hanya sebagian kecil yang berhasil menembus jajaran pucuk pimpinan. Untuk contoh sederhana, jika alumni UGM yang tergabung dalam Kagama berjumlah sekitar 375.000 orang, dan yang kini menduduki kursi direksi BUMN hanya sekitar 29 orang, maka peluangnya hanyalah sekitar 0,0077 %. Artinya, dari seratus ribu alumni, barangkali hanya tujuh yang berhasil sampai ke puncak sana.


Antara Cita-Cita dan Realitas


Kecilnya peluang itu bukan semata karena kurangnya kemampuan para alumni, melainkan karena struktur dan dinamika jabatan direksi yang sangat terbatas. Jumlah kursi di jajaran BUMN jumlahnya tidak sebanding dengan banyaknya profesional muda di negeri ini. Bahkan jika meritokrasi berjalan sempurna pun, kompetisinya tetap sangatlah ketat. Sebab yang dipertimbangkan bukan hanya prestasi akademik, akan tetapi juga pengalaman lintas sektor, jejaring profesional, integritas, dan reputasi positif di mata publik.


Faktor lain yang tak kalah penting adalah jalur karier dan waktu tempuhnya. Untuk mencapai posisi direksi, seseorang biasanya menempuh perjalanan karir yang sangat panjang, perlu puluhan tahun membangun kompetensi, pengalaman, dan kredibilitas. Maka, menjadi alumni kampus ternama memang membuka peluang lebih besar, tetapi hal itu bukanlah tiket otomatis menuju puncak karier.


Kampus Top-Tier Bukan Tujuan Akhir


Masuk ke kampus papan atas di jurusan favorit memang sebuah pencapaian yang luar biasa. Tapi di sinilah banyak mahasiswa terjebak dalam euphoria, karena sudah merasa aman “berada di dalam.” Padahal, yang menentukan kesuksesan karir bukan di mana kamu kuliah, melainkan apa yang kamu lakukan selama dan setelah kuliah selesai dilakukan.


Nama besar kampus tidak akan berarti apa-apa jika tanpa kerja nyata, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan beradaptasi justru menjadi kunci. Dunia profesional menilai bukan dari almamater semata, tapi dari hasil kerja dan dampak nyata. Seorang sarjana yang aktif di organisasi, mengasah kepemimpinan selama di kampus, rajin menulis, dan mengasah integritas bisa jauh lebih siap memimpin daripada yang hanya mengandalkan gengsi almamater dan nilai IPK.


Membangun Jalan Meritokrasi


Secara teori, jabatan direksi sejatinya diisi oleh mereka yang kompeten dan berintegritas, itulah semangat meritokrasi. Namun dalam praktiknya, sistem ini belum sepenuhnya ideal. Ada kalanya dibumbui kepentingan politik, isu patronase, atau faktor “kedekatan” yang turut menentukan siapa yang akan naik di jajaran pucak. Kondisi ini tentu bisa membuat banyak profesional muda merasa frustrasi.


Namun, justru di situlah tantangannya. Jika generasi muda ingin memperbaiki sistem, maka mereka perlu menyiapkan diri menjadi profesional yang tangguh, kredibel, dan beretika. Perubahan tidak datang dari keluhan, tetapi dari kehadiran orang-orang baik yang membawa vibes positif di posisi strategis, baik itu di BUMN, swasta, lembaga riset, maupun sektor publik lainya.


Peta Jalan bagi Generasi Muda


Jika cita-citamu tetap ingin menapaki karier sampai ke puncak, ada beberapa hal yang bisa mulai kamu bangun sejak dini.

1. Pertama, kuasai keahlian spesifik yang relevan di masa depan: energi terbarukan, manajemen risiko, transformasi digital, atau tata kelola perusahaan yang efektif dan efisien.

2. Kedua, bangun reputasi profesional yang bisa diukur melalui karya dan kontribusi nyata.

3. Ketiga, kelola jejaring dengan sehat, bukan hanya sekadar kenalan, tetapi hubungan profesional yang saling menghormati dan membangun kredibilitas.

4. Keempat, pelihara integritas. Jabatan bisa datang dan pergi, tapi kepercayaan adalah modal jangka panjang yang akan terus sustainable.


Dan yang tak kalah penting, siapkan mental dan kesabaran. Karena meniti karier bukanlah sebuah lari sprint melainkan sebuah maraton panjang yang menuntut konsistensi.


Jangan Bangga Terlalu Cepat, Jangan Patah Terlalu Dini


Jadi, adik-adik mahasiswa, jangan buru-buru bangga hanya karena bisa masuk kampus top tier. Itu baru gerbang awal, bukan garis akhir. Dan jangan pula terlalu cepat putus asa ketika tahu peluangmu sangatlah kecil. Karena angka statistik tidak pernah bisa menghitung besarnya tekad, kerja keras, dan “keberuntungan” yang bisa saja muncul dari doa dan ketekunan.


Kursi direksi BUMN memang megah, tapi negeri ini punya ribuan ruang pengabdian lain yang tak kalah mulia. Ada lembaga riset, ada kewirausahaan, ada lembaga sosial, pendidikan, atau pemerintahan daerah. Jika kamu bisa membawa integritas, kecerdasan, dan semangat melayani maka di ruang mana pun, kamu akan menjadi “direktur” dalam arti yang lebih luas.


Jadi, Dik, jangan terlalu pusing dulu melihat angka peluang P≈0.0077% itu. Kalau kamu terlalu sibuk menghitung probabilitas, nanti justru akan stuck dan frustasi. Lebih baik fokus pada satu hal, jadilah orang yang pantas dipercaya. Karena di mana pun kamu berada, orang yang bisa dipercaya selalu dicari, dan itulah sebenarnya awal dari semua kepemimpinan dibangun.

Post a Comment

0 Comments

Post a Comment (0)

#buttons=(Ok, Setuju!) #days=(20)

Blog www.rudiyanto.net menggunakan cookies pada browser anda Cek Sekarang
Ok, Go it!