Galodo, Bencana Ekologis dan Tanggung Jawab Generasi Mendatang

Dr. Rudiyanto, SP., M.Si
0

Di Sumatera, kita kembali menyaksikan potret yang memilukan, rumah-rumah warga terendam banjir, jalan-jalan berubah menjadi sungai, warga mengungsi, dan air bah meluap dengan tanpa terbendung. Sumatera, yang dahulu dikenal sebagai pulau dengan hamparan hutan hujan tropis yang rimbun dan tanah yang subur, kini menjadi headline berita nasional karena musibah banjir dan tanah longsor. Tagar #PrayForSumatera kembali muncul sebagai ekspresi dan bentuk simpati, namun di balik empati itu tersembunyi pertanyaan: Apakah kita telah memahami akar persoalan dan penyebab dari musibah ini?


Bencana ekologis ini tidak hadir tiba-tiba. Ia merupakan akumulasi dari cara pandang kita terhadap alam selama puluhan tahun. Hutan-hutan di Sumatera ditebang dan digunduli untuk perkebunan sawit, tambang, dan alih fungsi lahan lainya. Daerah resapan air hilang, tanah kehilangan daya menahan limpasan, dan tanah gambut yang sejatinya berfungsi sebagai spons raksasa penyimpan air, dikeringkan dan digali untuk kanal hingga kehilangan karakter ekologisnya. Di wilayah pesisir dan perkotaan, sungai kian sesak oleh sampah dan bangunan yang mendesak bantaran sungai tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan sekitar. Sistem drainase seakan hanya menjadi formalitas, bukan sistem yang dirancang, diawasi, dan dipelihara.


Semua ini diperparah oleh kondisi cuaca yang makin ekstrem (La nina). Hujan deras yang turun deras bukan lagi anomali, tetapi siklus baru akibat perubahan iklim. Namun hujan, sering kali dikambinghitamkan sebagai penyebab tunggal terjadinya galodo (banjir bandang). Padahal persoalan yang lebih mendasar adalah kegagalan manusia menjaga sistem ekologinya. Ketika hujan datang, tak ada lagi yang menahan air. Hutan hilang, gambut rusak, sungai tersumbat. Alam tidak sedang murka, ia hanya bereaksi terhadap ulah kita sendiri.


Di titik inilah, kita perlu meninjau ulang dari akar persoalan tersebut, bukan sekadar kurangnya mitigasi teknis, tetapi absennya kesadaran ekologis dalam pendidikan bangsa. Kita mengajarkan anak-anak membaca, berhitung, dan berbahasa, namun jarang mengajarkan mereka membaca tanda-tanda alam, memahami fungsi akar pohon, atau mengapa sungai tidak boleh diperlakukan seperti tempat sampah besar. Kita mencetak generasi yang cerdas, tetapi belum tentu bijaksana.


Padahal, pendidikan lingkungan seharusnya tidak dimulai di bangku kuliah atau seminar yang bersifat teknokratis, tetapi di ruang kelas TK dan SD. Pada masa inilah karakter terbentuk. Anak yang menanam satu pohon hari ini mungkin tidak akan langsung menyelamatkan dunia, tetapi ia sedang membangun fondasi psikologis bahwa alam bukan objek eksploitasi, melainkan rumah yang harus dirawat. Anak yang memahami bahwa sampah tidak boleh dibuang sembarangan suatu hari kelak bisa menjadi pejabat yang tidak mudah menandatangani izin tambang tanpa kajian lingkungan.


Bayangkan generasi pemimpin yang tumbuh dengan memandang hutan sebagai penyangga hidup, bukan sekadar angka komoditas. Bayangkan insinyur, pengusaha, dan birokrat masa depan yang sadar bahwa pembangunan tanpa ekologi adalah tinggalan bencana. Di tangan mereka, AMDAL tidak lagi menjadi formalitas birokratis, tetapi kompas moral dalam merancang kebijakan masa depan.


Kegagalan kita hari ini bukanlah kegagalan teknologi. Kita punya alat, undang-undang, bahkan lembaga. Yang kita tidak punya adalah jiwa ekologis. Kita telah lama mendidik otak, tetapi melupakan hati. Mangsa banjir bukan sekadar rumah-rumah yang hanyut, melainkan nilai-nilai yang selama ini kita abaikan.


Maka, untuk membangun Sumatera kembali bukan dimulai dari gelontoran anggaran pascabencana. Namun sebaiknya dimulai dari ruang kelas kecil di mana seorang guru bercerita tentang pohon, sungai, dan kehidupan. Dimulai dari keputusan sekolah untuk mengajak murid menanam pohon, membersihkan lingkungan, dan memahami rantai sebab-akibat ekologi. Dimulai dari sikap orang tua yang tidak membenarkan anaknya membuang sampah sembarangan, meski benda itu kecil dan tak berarti.


Kelestarian lingkungan bukan slogan aktivisme. Ia adalah peradaban. Jika kita menghendaki masa depan di mana Sumatera tidak lagi menjadi objek belas kasihan publik, maka kita harus mulai menjadikan ekologi sebagai bahasa pertama yang dipelajari anak-anak kita.


Karena bencana tidak lahir dari hujan. Ia lahir dari kelalaian. Dan kelalaian hanya bisa ditebus oleh generasi yang dididik untuk tidak mengulanginya lagi.

Post a Comment

0 Comments

Post a Comment (0)

#buttons=(Ok, Setuju!) #days=(20)

Blog www.rudiyanto.net menggunakan cookies pada browser anda Cek Sekarang
Ok, Go it!