Medium Murashige dan Skoog (MS), yang diperkenalkan pada tahun 1962, telah menjadi salah satu pilar penting dalam pengembangan teknologi kultur jaringan tanaman. Formulasi media yang pada awalnya dikembangkan untuk mengoptimalkan pertumbuhan kalus pada tanaman tembakau ini ternyata hasilnya melampaui ekspektasi. Penemuan media dasar ini menjadi tonggak bagi pengembangan industri mikropropagasi, pemuliaan tanaman, hingga bioteknologi tanaman modern selama lebih dari setengah abad.
Dalam sebuah artikel terbaru karya Conner dan Jacobs (2025) mengungkapkan sebuah paradox. Menurut Corner, meskipun temuan medium ini menduduki peringkat teratas sebagai salah satu publikasi yang paling banyak disitasi dalam sejarah ilmu pengetahuan, namun mayoritas penggunaannya ternyata sering salah dalam memahami, mendefinisikan dan mengaplikasinya.
Warisan Ilmiah dari Murashige dan Skoog
Karya monumental Murashige & Skoog (1962) menekankan pentingnya komposisi bahan organik dan anorganik yang tepat bagi pertumbuhan jaringan tanaman. Formulasi ini terdiri atas unsur hara makro dan mikro, vitamin, gula (sukrosa), serta zat pengatur tumbuh seperti auksin (indoleacetic acid) dan sitokinin (kinetin). Kelengkapan komponen media tersebut menghasilkan medium yang sangat efektif untuk pertumbuhan pada kalus tanaman tembakau. Seiring berjalannya waktu, medium MS kemudian diadopsi secara luas untuk berbagai spesies tanaman, baik dalam skala riset dasar di laboratorium maupun aplikasi industri.
Di sinilah letak persoalan. Banyak peneliti yang mengutip medium MS tanpa memahami bahwa formulasi awal media ini adalah ditujukan untuk pertumbuhan kalus tembakau, bukan untuk pertumbuhan tanaman secara utuh (organogenesis). Kesalahan ini berdampak pada interpretasi hasil eksperimen dan menimbulkan inkonsistensi dalam banyak literatur ilmiah.
Temuan Dari Studi Conner & Jacobs (2025)
Melalui survei terhadap 500 artikel penelitian terkini, Conner dan Jacobs menemukan bahwa 72% publikasi mendefinisikan medium MS secara tidak tepat. Beberapa pola kesalahan yang mereka temukan antara lain:
1. Penggunaan untuk kultur tunas atau planlet (30% kasus), padahal medium ini cenderung memicu pertumbuhan abnormal karena formulasinya dikhususkan untuk pertumbuhan kalus.
2. Penambahan bahan organik lain tanpa menyebutkan dengan jelas bahwa yang digunakan hanyalah media dasar MS, bukan formulasi medium secara lengkap.
3. Penghilangan komponen zat pengatur tumbuh dalam medium dasar (Media MS tanpa zat pengatur tumbuh), sehingga berpotensi membingungkan pembaca.
4. Penggunaan media MS dalam kondisi non-steril, seperti di rumah kaca, yang berisiko menimbulkan kontaminasi mikroba karena adanya komponen organik dalam media (sumber karbon sukrosa).
Hanya 28% publikasi yang mendefinisikan medium MS dengan tepat, misalnya dengan menyebutkan Media MS ditambah komponen X pada konsentrasi tertentu atau dengan merujuk pada resep spesifik yang jelas dan detail.
Implikasi Bagi Sains dan Etika Publikasi
Ketidaktepatan dalam mendeskripsikan medium kultur bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga menyangkut etika ilmiah. Prinsip dasar publikasi penelitian adalah reproducibility, yaitu kemampuan peneliti lain untuk mengulang eksperimen dengan metode yang sama. Tanpa deskripsi medium yang akurat, hasil penelitian berisiko tidak dapat direplikasi, bahkan bisa menyesatkan bagi komunitas ilmiah/ industri.
Selain itu, temuan ini menyoroti lemahnya proses peer review dalam menilai detail metodologi penelitian. Editor dan reviewer seharusnya lebih kritis dan memastikan bahwa penulis mendefinisikan komposisi medium dasar dalam kultur jaringan dengan benar.
Pentingnya Literasi Metodologis
Kasus medium MS mencerminkan fenomena perkembangan sains dalam spektrum yang lebih luas yakni kecenderungan untuk mengutip tanpa membaca sumber aslinya. Murashige & Skoog (1962) adalah salah satu makalah paling berpengaruh dengan puluhan ribu sitasi, tetapi banyak yang merujuknya hanya untuk formalitas semata. Hal ini menunjukkan bahwa literasi metodologis perlu diperkuat, baik dalam bentuk edukasi kepada para mahasiswa, peneliti/ ilmuwan maupun dalam praktik penelitian sehari-hari di Laboratorium.
Medium MS adalah salah satu inovasi terbesar dalam kultur jaringan tanaman, tetapi penggunaannya menuntut pemahaman yang mendalam atas sejarah, komposisi, dan konteks awal pengembangannya. Studi Conner dan Jacobs (2025) menjadi pengingat penting bahwa ketelitian dalam mendeskripsikan metode ilmiah bukan hanya soal detail teknis pengerjaan, melainkan juga fondasi dan integritas ilmiah.
Untuk memastikan keberlanjutan ilmu pengetahuan yang dapat direplikasi, komunitas ilmiah perlu kembali menghargai salah satu prinsip dasar yakni perlunya membaca sumber primer dan melaporkan metode penelitian dengan cermat dan akurat.
Referensi:
Conner, A. J., & Jacobs, J. M. E. (2025). Defining the use of MS medium in plant science research. Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 162(1), 69. https://doi.org/10.1007/s11240-025-03210-3
