Polemik mengenai tidak disebutnya sejumlah peneliti dan para asisten lapangan asal Indonesia dalam unggahan resmi media oleh Universitas Oxford terkait temuan bunga Rafflesia hasseltii di pulau Sumatra, semakin mengesankan bahwa ilmu pengetahuan saat ini masih berjalan timpang.
Narasi besar yang di publish terkait penemuan, penjelajahan, atau dokumentasi spesies langka Rafflesia hasseltii sering kali ditulis dari sudut pandang institusi yang memiliki “Nama Besar”, sementara kontribusi para peneliti dalam negeri yang membuka jalan, memetakan lokasi, dan memfasilitasi seluruh kegiatan eksplorasi lapangan seperti hilang dalam keriuhan pesona lembaga ternama tersebut.
Kasus ini seyogyanya tidak dianggap sekadar perkara lupa dalam penyebutan nama. Namun hal ini mencerminkan persoalan struktural tentang siapa yang diizinkan untuk tampil sebagai pemilik legitimasi ilmiah dari temuan tersebut.
Dalam riset penelitian eksplorasi terkait biodiversitas nusantara, khususnya di kawasan hutan tropis Indonesia, hampir tidak ada ekspedisi asing yang dapat berlangsung tanpa dukungan teknis dan pengetahuan warga lokal. Rekan-rekan pemandu lapangan, konservasionis, LSM lingkungan, dan para peneliti Indonesia sejatinya adalah aktor utama yang memastikan riset berjalan dengan baik dan berhasil. Ketika nama mereka tidak muncul dalam pengakuan publikasi resmi, maka kita bukan hanya kehilangan angka kredit secara akademik, tetapi juga kehilangan rekam jejak dalam kontribusi ilmiah dalam skala global.
Reaksi publik warga Indonesia yang menuntut klarifikasi adalah sinyal bahwa masyarakat kita semakin melek terhadap pentingnya etika dalam kolaborasi riset ilmiah. Namun, kritik tersebut idealnya disampaikan secara proporsional dan berdasarkan bukti, bukan dengan emosi dan kemarahan semata.
Kita perlu menuntut keadilan dengan cara yang lebih elegan, meminta adanya koreksi, mendorong transparansi, dan membuka ruang dialog terkait polemik tersebut. Terkadang hasil terbaik lahir bukan dari saling serang, melainkan dari pemahaman bahwa kolaborasi riset internasional membutuhkan rasa saling menghormati dan saling menghargai satu sama lain.
Di sisi lain, peristiwa ini menjadi cermin bagi pemerintah dan lembaga riset nasional. Indonesia selama ini menjadi laboratorium alam sekaligus rumah bagi ribuan spesies endemik. Namun, posisi tawar kita dalam percaturan ilmu pengetahuan global masih dianggap lemah. Iklim riset yang kurang kondusif, infrastruktur yang terbatas, serta minimnya dukungan kebijakan membuat ilmuwan Indonesia berada dalam posisi sulit untuk menegosiasikan hak-haknya ketika bekerja sama dengan institusi luar negeri.
Sudah saatnya pemerintah membangun kerangka kolaborasi internasional yang lebih melindungi kepentingan ilmiah dalam negeri, mulai dari syarat perizinan riset, perjanjian kerja sama, hingga mekanisme pembagian manfaat dan pengakuan dalam kontribusi riset.
Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap izin penelitian dari lembaga asing memuat klausul yang eksplisit mengenai kewajiban mencantumkan nama kontributor peneliti dalam negeri. Demikian pula lembaga riset dan universitas di Indonesia harus diangkat perannya sebagai co-leader dalam setiap ekspedisi ilmiah dan bukan hanya sekadar penyedia untuk akses lapangan.
Hal ini selaras dengan gerakan penghapusan praktik kolonialisasi ilmu pengetahuan, sebagai upaya untuk memastikan bahwa pengetahuan yang dihasilkan dari bumi pertiwi tidak hanya dipublikasikan oleh pihak luar, melainkan juga mengangkat martabat ilmuwan dalam negeri yang telah lama bekerja di garis depan dalam konservasi biodiversitas nusantara.
Lebih jauh lagi, kita perlu untuk membangun fondasi yang memperkuat daya tawar Indonesia secara struktural. Investasi dalam riset biodiversitas, penguatan koleksi herbarium dan seed bank tanaman secara nasional, serta dukungan terhadap publikasi ilmiah bereputasi menjadi kunci agar ilmuwan kita memiliki posisi yang sejajar. Diplomasi ilmiah pun perlu untuk terus digiatkan, kerja sama internasional harus dirancang atas dasar kesetaraan, bukan sekadar menerima kunjungan ilmuwan asing tanpa mekanisme kontrol dan sharing manfaat yang jelas.
Polemik mengenai temuan Rafflesia hasseltii bukan semata-mata tentang siapa yang tertulis dalam caption sebuah unggahan di media sosial. Ia adalah ujian bagi kedaulatan pengetahuan Indonesia. Kita harus belajar bersikap dewasa, menuntut koreksi dengan cara bermartabat, dengan memperbaiki kelemahan institusional yang selama ini mungkin kita abaikan, dan menjadikan momen ini sebagai pengingat bahwa harga diri ilmiah bangsa tidak akan bertahan bila kita sendiri tidak memperjuangkannya.
