Dalam dunia akademik, Scopus telah
menjadi salah satu acuan basis data sitasi terbesar dan paling bergengsi yang digunakan
oleh para peneliti, dosen, dan lembaga riset di seluruh dunia. Namun, tidak
semua jurnal yang semula terindeks di Scopus dapat bertahan lama. Setiap tahun,
sejumlah jurnal terpaksa dihentikan atau dihapus dari daftar indexsasi Scopus (discontinue). Fenomena ini memunculkan
banyak pertanyaan: mengapa hal ini bisa terjadi? Apa yang menjadi penyebab
jurnal-jurnal tersebut discontinue, dan apa implikasinya bagi penulis dan komunitas
masyarakat ilmiah?
Standar
Seleksi yang Ketat di dalam Indexsasi Scopus
Scopus tidak hanya berperan sebagai
pengindeks karya ilmiah, tetapi juga sebagai penjaga kualitas literatur
akademik global. Sejak tahun 2009, Scopus membentuk Content Selection &
Advisory Board (CSAB), yakni dewan independen yang bertugas menyeleksi dan
meninjau jurnal-jurnal yang masuk ke dalam database mereka. Dewan ini
bertanggung jawab menjaga agar hanya jurnal berkualitas saja yang dapat diakses
pengguna Scopus (Quvae, 2023). Dengan demikian, proses seleksi jurnal Scopus bukanlah
proses yang dilakukan dari evaluasi satu kali saja. Setiap jurnal diawasi dan
dinilai secara berkala untuk memastikan tetap mematuhi standar yang ditetapkan
oleh Scopus.
Alasan
Jurnal Dihapus dari Database Scopus
Berdasarkan informasi dari web Quvae
(2023) dan sumber pendukung lain, terdapat empat alasan utama utama mengapa
jurnal dapat discontinue dari indexsasi Scopus:
1️. Publication Concerns (Masalah pada Proses Penerbitan)
Jurnal dapat dihapus dari list
database Scopus jika ditemukan adanya kekeliruan serius dalam proses editorial,
seperti lemahnya sistem peer review, manipulasi publikasi, atau bahkan dugaan
keterlibatan dalam aktivitas paper mill (pabrikasi artikel) yang
memproduksi artikel secara massal tanpa uji kualitas konten yang memadai.
Praktik semacam ini merusak integritas ilmu pengetahuan dan membuat jurnal
kehilangan kredibilitasnya.
2️. Under-Performance
(Kinerja yang Rendah)
Kinerja jurnal diukur melalui
berbagai indikator, termasuk CiteScore dan angka sitasi. Jurnal yang
kinerjanya jauh di bawah standar sesuai scope bidangnya (misalnya jurnal dengan
skor sitasi hanya setengah dari rata-rata bidangnya) berisiko dicoret dari indexsasi
Scopus. Hal ini menunjukkan bahwa jurnal tersebut gagal memberikan kontribusi
signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
3️.
Outlier Performance (Performa yang
bersifat Anomali/ tidak wajar)
Terkadang, sebuah jurnal mengalami
lonjakan publikasi atau sitasi secara tiba-tiba dalam jumlah yang tidak wajar.
Peningkatan ini bisa menjadi indikator adanya manipulasi, baik dari segi sitasi
silang (citation stacking) maupun penerbitan artikel dalam volume yang besar
tanpa kendali mutu yang baik (proses peer
review). Hal ini kerap terjadi pada jurnal yang membuka terlalu banyak
edisi khusus (special issue).
4️.
Continuous Curation (Kurasi Secara Berkelanjutan)
Scopus menerapkan pemantauan secara terus-menerus
terhadap setiap jurnal yang deindex di databasenya. Jika sebuah jurnal menunjukkan
penurunan mutu secara konsisten, misalnya dalam hal integritas editorial,
kualitas artikel, atau proses peer review, maka jurnal tersebut dapat dihapus
dari indeks. Kurasi ini menjadi bentuk tanggung jawab Scopus untuk menjaga
kualitas ekosistem ilmiah (Quvae, 2023).
Praktik
dan Ancaman Paper Mill (Pabrikasi
Artikel Jurnal)
Salah satu tantangan terbesar dalam
dunia penerbitan ilmiah saat ini adalah maraknya praktik paper mill. Paper
mill merupakan pihak yang memproduksi artikel ilmiah secara massal dengan
kualitas rendah atau bahkan hasil fabrikasi, hanya demi keuntungan finansial
dari APC yang mereka adakan. Jurnal-jurnal yang terjebak bekerja sama dengan
pihak semacam ini biasanya kehilangan kontrol atas mutu artikel yang mereka
terbitkan. Akibatnya, Scopus terpaksa mengambil tindakan tegas dengan
menghentikan pengindeksan jurnal tersebut (Elsevier, 2021).
Dampak
Penghapusan Indexsasi Scopus bagi Penulis (Peneliti maupun Dosen)
Banyak penulis merasa cemas ketika
jurnal tempat mereka menerbitkan artikel dicoret dari Scopus. Namun penting untuk
dipahami, penghapusan ini hanya berlaku ke depan (tidak berlaku surut).
Artinya, artikel yang sudah terbit sebelumnya tetap terindeks dan dapat
disitasi. Validitas dan keberlakuan artikel tersebut sebagai karya ilmiah tidak
dibatalkan. Penulis hanya perlu lebih berhati-hati dalam memilih jurnal untuk
publikasi berikutnya (Elsevier, 2021; Quvae, 2023).
Pentingnya
Arsip dan Transparansi Publikasi
Fenomena penghapusan jurnal ini juga
menegaskan pentingnya keberadaan sistem arsip digital seperti CLOCKSS atau Portico. Jurnal yang tidak memiliki mekanisme arsip publik berisiko
hilang ketika dicabut dari database pengindeks Scopus. Hal ini tentu berbahaya
bagi keberlanjutan akses ilmu pengetahuan, terutama bagi penulis dan pembaca
yang ingin mengakses artikel-artikel lama dari Jurnal tersebut.
Pentingnya
Menjaga Integritas Ilmu Pengetahuan
Penghapusan jurnal dari indexsasi Scopus
seharusnya menjadi cermin bagi semua pihak, baik penerbit, editor, maupun
penulis. Dunia akademik harus selalu menjunjung tinggi integritas,
transparansi, dan mutu dalam setiap publikasi ilmiah. Bagi para penulis,
bijaklah dalam memilih jurnal dengan memastikan kredibilitas dan rekam
jejaknya. Sementara bagi penerbit, penting untuk senantiasa menjaga proses
editorial yang jujur, profesional, dan sesuai standar. Dengan demikian, marwah
publikasi ilmiah dapat tetap terjaga demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Referensi:
- Quvae. (2023). Understanding Why Journals Are Discontinued from Scopus. https://www.quvae.com/blog/understanding-why-journals-are-discontinued-from-scopus
- Elsevier. (2021). Scopus Content Coverage Guide. https://www.elsevier.com/solutions/scopus/how-scopus-works/content
- Scopus. (2021). Title evaluation process. https://www.elsevier.com/solutions/scopus/how-scopus-works/content/content-policy-and-selection