Leadership dan Krisis Identitas dalam Perspektif Islam

Dr. Rudiyanto, SP., M.Si
0

Kita hidup di era dimana profil linkedin, Instagram, facebook, x atau bahkan threads yang penuh dengan kolom profil jabatan: founder star-up ini, co-founder star-up itu, aktivis di organisasi ini dan aktivis di organisasi itu dst. Terkadang kita begitu sempit memahami dan memaknai kepemimpinan sebagai sebuah bentuk status sosial. Seolah-olah seseorang baru layak untuk didengar ketika memiliki titel panjang di belakang namanya. Padahal dalam perspektif Islam, pemimpin sejati lahir dari sebuah kerja nyata, bukan dari label yang ditempelkan pada diri sendiri. 


Allah ï·» sendiri mengingatkan dalam Al-Qur’an bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh nama dan kedudukan, tetapi oleh kontribusi nyata dan ketakwaannya: 


Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ï·» adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13). Artinya, ukuran nilai manusia bukan terletak pada posisi, melainkan pada kualitas amal dan ketakwaannya.


Hal ini mengingatkan bahwa kepemimpinan adalah konsekuensi dari manfaat, dan bukan tujuan dari ambisi pribadi. Seseorang tidak menjadi pemimpin karena mengklaim dirinya sendiri sebagai pemimpin, ia diakui sebagai pemimpin ketika orang lain merasakan kebaikan dan manfaat yang ia kerjakan secara konsisten. Konsep ini sejalan dengan pesan Nabi Muhammad ï·º dalam sebuah hadist: 


Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad). Dari generasi terdahulu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz bahkan pernah menegur dirinya sendiri, “Kedudukan bukanlah tujuan; ia adalah amanah. Siapa yang berambisi dengannya, akan hancur olehnya.” Pesan tersebut menggambarkan bahwa jabatan tanpa sebuah integritas justru hanya akan menjadi beban yang membawa konsekwensi dunia dan akherat.


Generasi muda hari ini hidup di tengah budaya flexing yang tak henti-henti. Sertifikat diunggah di sosial media, jabatan baru diumumkan ke publik, dan foto rapat ala executive meeting di kafe bergengsi seolah menjadi simbol sebuah keberhasilan. Tidak ada yang salah dengan aktivitas dan pencapaian. Yang menjadi persoalan adalah ketika jabatan dikejar hanya demi citra, sementara kontribusi nyata dan karyanya masih sangat “tipis”. 


Banyak anak muda merasa perlu untuk menjadi ketua panitia demi mempercantik sebuah CV, dan merasa insecure bila hanya menjadi anggota organisasi. Cara pandang seperti ini menggeser jabatan dari amanah menjadi sebuah aksesori sosial. Padahal Nabi ï·º menegaskan bahwa jabatan bukan sesuatu yang pantas untuk dikejar: “…Jika engkau diberi jabatan tanpa memintanya, engkau akan ditolong; jika engkau diberi karena memintanya, engkau akan dibebani.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Sumber kecemasan generasi muda saat ini justru sering muncul dari komparasi. Sorotan kamera seolah menjadi ukuran dari kontribusi. Padahal tak terhitung orang-orang yang kerjanya sunyi, tetapi justru menjadi tulang punggung dari sebuah kebaikan bagi society. Al-Qur’an mengajarkan kita bahwa Allahï·» mengetahui setiap amal termasuk yang tersembunyi: “Dan apa pun kebaikan yang kamu kerjakan, Allahï·» mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 197). Hasan al-Basri pernah berkata, “Janganlah engkau melihat siapa yang melihat amalmu; lihatlah kepada Dzat yang menerima amalmu.” Ruang keikhlasan justru terletak pada bagian-bagian kerja yang tidak dapat diunggah di sosial media.


Kata “Pemimpin” sering terdengar begitu megah dan besar. Banyak anak muda membayangkan pemimpin seperti layaknya presiden, menteri, atau CEO sebuah perusahaan raksasa. Padahal kepemimpinan dapat dimulai dari lingkar kecil di sekitar kita. Di sinilah letak relevansi dari sebuah hadist yang menjadi fondasi etika kepemimpinan Islam:


“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.”(HR. Bukhari dan Muslim).


Hadist ini menempatkan kepemimpinan sebagai sifat yang senantiasa melekat pada manusia, bukan hanya privilege di kalangan elit. Kepemimpinan dapat hadir dalam lingkungan keluarga, di ruang kelas, dalam tim kecil sebuah organisasi, hingga dalam memimpin diri sendiri.


Dulu di masa kepemimpinan Nabi ï·º -yang merupakan pemimpin manusia paling mulia- dunia yang ia pimpin tidak pernah dalam kondisi yang ideal. Selalu saja ada masalah dan pertentangan dengan masyarakat jahiliyah Quraisy. Ibnul Qayyim pernah menyatakan bahwa kesempurnaan bukanlah ketika kondisi luar baik, tetapi ketika hati tetap kukuh meski keadaan sulit. Jika kita menunggu semuanya sempurna sebelum bergerak, maka kita tidak akan pernah memulai apa pun. Justru kualitas kepemimpinan teruji ketika seseorang tetap bekerja di tengah keadaan yang jauh dari ideal.


Kepemimpinan sering dianggap jauh dari realitas ketika dipersepsikan hanya berisi idealisme. Padahal pesan Islam tentang kepemimpinan sangatlah praktis: menyelesaikan amanah dengan sungguh-sungguh, jujur meski tak diawasi, tidak meremehkan dan merendahkan orang lain, dan tidak sombong ketika diberi posisi. 


Nabi ï·º bersabda: “Sesungguhnya Allahï·» mencintai seseorang yang ketika bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya.” (HR. Thabrani). Etika ini relevan untuk dunia kerja, aktivis remaja masjid, komunitas kreatif, hingga organisasi mahasiswa. Generasi muda dapat membuat ajaran agama terasa semakin hidup dengan membawa nilai-nilai itu dari mimbar ke meja kerja.


Karena itu, mungkin sudah saatnya kita mengubah cara memandang soal “peran”. Selama ini kita terlalu fokus pada status, siapa diri kita di struktur organisasi, jabatan apa yang kita punya, atau di posisi mana nama kita dicantumkan. Padahal yang lebih penting dari itu adalah fungsi dan peran kita, masalah apa yang bisa kita selesaikan, kekosongan apa yang dapat kita isi, dan kontribusi apa yg kita berikan. Umar bin Khattab pernah berkata, “Aku tidak peduli apakah aku memimpin atau dipimpin, selama aku dapat berkontribusi kepada umat.” Orang yang fokus pada fungsi dan peran dan tidak mengejar status akan bekerja dengan lebih tenang, lebih tahan banting, dan lebih fokus pada karya dan dampak positif daripada tepuk tangan.


Di tengah hiruk-pikuk dunia yang mengukur manusia dari gelar, jumlah follower, atau posisi strategis di jabatan struktural, tersirat sebuah pesan moral bahwa pemimpin sejati tidak sibuk menyebut dirinya pemimpin. Ia terlalu sibuk bekerja sehingga orang lainlah yang memberi gelar kemepimpinan itu kepadanya. Generasi muda hari ini mungkin perlu bergeser dari mengejar kursi menjadi mengisi peran, dari mengejar sorotan menjadi sumber manfaat, dari mengejar titel menjadi penjaga amanah. Jabatan bukanlah dosa, tetapi bukan pula ukuran tertinggi dari sebuah pencapaian. Sebab yang kelak dihisab bukanlah biodata di kolom profil media sosial, melainkan amal yang tulus dan Ikhlas karenaNya.


Dan mungkin, ketika kita sungguh-sungguh mengerjakan tugas dan amanah yang Allahï·» titipkan hari ini, di rumah, di kampus, kantor, atau komunitas organisasi, di situlah kita sebenarnya sedang naik kelas. Dari pemburu titel menjadi pembuat dampak, dari pengikut tren menjadi pemimpin yang dicatat sebagai amalan di sisi-Nyaï·».

Post a Comment

0 Comments

Post a Comment (0)

#buttons=(Ok, Setuju!) #days=(20)

Blog www.rudiyanto.net menggunakan cookies pada browser anda Cek Sekarang
Ok, Go it!