Jangan Remehkan Hutang: Amanah Dunia, Beban Akhirat

 
Tahukah Anda bahwa ayat terpanjang dalam Al-Qur'an bukan berbicara tentang shalat, puasa, jihad, atau zakat? Ayat terpanjang itu justru membahas tentang hutang piutang. Ya, benar. Surat Al-Baqarah ayat 282 adalah ayat terpanjang dalam mushaf Al-Quran, dan secara luar biasa ia membahas detil demi detil transaksi hutang: tulislah, saksikanlah, jujurlah, amanahlah.

Ini bukan sekadar pesan ekonomi, ini adalah pesan keadilan sosial dan tanggung jawab moral. Allah yang Maha Mengetahui meletakkan urgensi persoalan hutang pada tempat yang sangat tinggi. Bukan tanpa sebab. Hutang adalah ujian akhlak, dan sering kali menjadi sumber keretakan hubungan persaudaraan, kerusakan masyarakat, bahkan akhirat seseorang.


Lebih mengejutkan lagi, Rasulullah ﷺ menyampaikan bahwa orang yang terbunuh di medan jihad—yang darahnya tumpah demi agama—tidak serta-merta mendapatkan status syahid jika ia masih meninggalkan hutang yang belum diselesaikan. “Seluruh dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim)


Maka pertanyaannya: mengapa ada sebagian orang, bahkan tokoh agama yang kita pandang sebagai ustadz dan panutan umat, begitu meremehkan urusan hutang? Bahkan dengan entengnya berkata, "Itu hanya masalah duniawi, masalah hutang,...ngemplang, jadi tidak perlu untuk dibesar-besarkan"


Masalah duniawi? Jika memang demikian, mengapa Allah harus turunkan satu ayat terpanjang hanya untuk perkara duniawi? Mengapa Rasulullah sampai enggan menyolatkan jenazah orang yang masih menanggung hutang, jika tidak ada dimensi akhirat di dalamnya?


Di sinilah letak keprihatinan. Ketika orang awam tidak tahu, mungkin bisa dimaklumi. Tapi ketika seorang ustadz—yang setiap kata dan geraknya menjadi contoh, bahkan rujukan umat—meremehkan hal sebesar ini, maka itu adalah sebuah petaka dan krisis. Krisis keilmuan? Krisis kejujuran? Atau krisis akhlak?


Perkataan seperti itu bukan saja mencederai ajaran Islam, tapi juga bisa menjadi pembenaran bagi orang-orang yang memang punya kecenderungan untuk lari dari tanggung jawab. Orang yang memang berniat ngemplang, bisa dengan mudah berkata: “Ah, itu kan cuma masalah duniawi.”


Padahal dalam Islam, tanggung jawab dunia justru yang akan menentukan nasib akhirat. Apakah tidak takut bahwa ucapan yang menyepelekan bisa membuat umat terbiasa menggampangkan amanah?


Sudah saatnya kita kembali menempatkan nilai-nilai Al-Qur'an pada posisi tertingginya. Bukan hanya dalam ibadah, tapi juga dalam muamalah. Dan sudah seharusnya para tokoh agama berhati-hati dalam berbicara, karena satu kalimat bisa jadi pembenaran bagi ribuan kesalahan.


Islam mengajarkan kita kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan—termasuk dalam hal hutang piutang. Jangan sampai, hanya karena satu komentar tak bertanggung jawab, kita menjadi umat yang membenarkan kelalaian, bahkan pengkhianatan, dengan label "itu cuma masalah duniawi."

 

 

Artikel Selengkapnya...

Hakikat Tumbuh: Bukan Soal Tempat, Tapi Keberanian

Ada yang bilang, “Semakin tinggi pohon, maka anginnya semakin kencang.” Pernyataan itu sering muncul sebagai pengingat bahwa semakin seseorang menonjol, semakin besar pula tantangan, tekanan, dan ujian yang akan ia hadapi. Iya, betul. Tapi, mari kita lihat dari sudut pandang lain—jika terus berada di bawah, terlindung dari segala terpaan, bisa jadi kita justru tak pernah tumbuh sebagaimana mestinya.

Pohon yang terlalu lama hidup di bawah bayang-bayang, tanpa cukup sinar matahari, akan mengalami etiolasi—tumbuh tinggi kurus, lemah, pucat, dan rapuh. Dalam dunia tumbuhan, ini adalah pertanda bahwa sesuatu berjalan tidak semestinya. Dalam kehidupan manusia, etiolasi bisa menyerupai hidup dalam zona nyaman: aman, tak terlihat, tak terdengar, tapi juga tak berkembang. Takut mencoba, takut gagal, takut salah—hingga akhirnya justru dilangkahi, dilewati, bahkan diinjak-injak oleh mereka yang berani menantang angin.


Hidup bukan soal ingin di atas atau di bawah. Bukan pula soal siapa yang lebih berani atau lebih diam. Tapi hidup adalah soal keberanian untuk memilih—dan menerima konsekuensi dari pilihan itu. Karena, benar adanya, setiap posisi punya risikonya masing-masing. Di atas, kau diuji oleh badai, disorot, dinilai, bahkan mungkin dijatuhkan. Tapi di bawah pun bukan tempat yang bebas dari risiko. Kegelapan, stagnasi, dan kerentanan pada nasib juga siap mengintai kapan saja.


Ini tentang kita—tentang manusia dan pilihan untuk tumbuh. Kita bisa memilih menjadi tinggi dan menghadapi angin, atau tetap di bawah dan berharap tak tertimpa apa-apa. Tapi, kalau pertumbuhan sejati adalah tujuan, maka sedikit goyangan angin semestinya bukan alasan untuk berhenti naik. Karena justru dalam terpaan itulah, akar kita menguat. Dalam cahaya yang menyilaukan itu, kita belajar melihat lebih jelas. Dan dalam keberanian untuk tampak, kita menemukan makna dari eksistensi kita.


Setiap orang punya jalan masing-masing. Tak semua harus menjadi pohon tertinggi. Tapi jika terus bersembunyi di tanah lembap yang tak tersentuh cahaya, jangan heran jika suatu hari kita tak tumbuh sama sekali. Dan lebih buruk lagi, mungkin kita bahkan tak pernah benar-benar hidup.


Artikel Selengkapnya...

Inflasi Gelar Profesor: Mitos atau Kesalahpahaman?

Belakangan ini, opini publik diwarnai kekhawatiran tentang meningkatnya jumlah dosen dan peneliti bergelar profesor di Indonesia. Beberapa kalangan bahkan menyebut fenomena ini sebagai "inflasi profesor"—sebuah istilah yang menyiratkan pembengkakan status akademik tanpa peningkatan kualitas ilmiah. Namun benarkah peningkatan jumlah profesor merupakan ancaman terhadap mutu pendidikan tinggi dan lembaga penelitian?

Sebelum kita menjatuhkan vonis moral atas kebijakan negara dalam bidang akademik, ada baiknya kita merujuk pada fakta. Per April 2024, jumlah profesor di Indonesia tercatat sebanyak 9.570 orang dari sekitar 330.000 dosen aktif, atau hanya sekitar 2,9% saja1. Angka ini jauh di bawah negara-negara maju: di Jerman proporsinya 15–20%2, di Amerika Serikat 10–15%3, dan di Inggris sekitar 12%4. Maka, alih-alih menyebutnya sebagai inflasi, kita sepatutnya menyadari bahwa Indonesia justru mengalami defisit profesor.


Kenaikan jumlah profesor di beberapa tahun terakhir tak lepas dari penyederhanaan birokrasi yang selama ini menjadi penghambat utama. Misalnya, Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 dan Keputusan Mendikbudristek Nomor 649/P/2023 tentang Kriteria Penilaian Angka Kredit Jabatan Akademik, memberikan ruang lebih rasional dalam mengapresiasi karya ilmiah, kinerja tridarma, serta capaian akademik lainnya. Namun perlu ditegaskan: penyederhanaan proses bukan berarti penurunan standar.


Justru, proses pengangkatan profesor kini menjadi lebih transparan dan terukur. Syarat publikasi jurnal bereputasi tetap berlaku, dan verifikasi melalui similarity check, peer review, serta asesmen substansi karya ilmiah dilakukan secara sistemik. Dengan digitalisasi sistem (misalnya melalui aplikasi SISTER Kemendikbudristek dan E-Peneliti BRIN), mekanisme penilaian menjadi lebih akuntabel dan efisien5.


Adapun tudingan bahwa karya ilmiah profesor banyak ditulis oleh pihak lain secara tidak etis, perlu disikapi hati-hati. Tidak ada bukti sistemik dan terverifikasi yang menunjukkan adanya pelanggaran secara masif. Memang, tekanan untuk publikasi bisa menciptakan pelanggaran etis, tapi itu bukan alasan untuk mencurigai secara general seluruh capaian dosen dan peneliti yang berhasil memenuhi syarat profesor. Di negara lain pun, isu etika akademik tetap menjadi bagian dari pengawasan institusional, bukan alat untuk mendelegitimasi gelar.


Faktanya, peningkatan jumlah profesor juga dipicu oleh hadirnya berbagai program afirmatif seperti Matching Fund, Kedaireka, BIMA, dan Program World Class Professor yang mendorong kolaborasi riset internasional. Hal ini mengindikasikan bahwa negara mulai serius membenahi ekosistem riset dan publikasi ilmiah. Kinerja para dosen dan peneliti juga meningkat signifikan, terlihat dari kenaikan jumlah publikasi Indonesia di jurnal bereputasi, yang kini berada di peringkat 40 besar dunia6.


Mengaitkan kenaikan jumlah profesor dengan penurunan kualitas adalah kesimpulan prematur. Justru yang dibutuhkan saat ini adalah konsistensi evaluasi mutu dan penguatan ekosistem akademik. Profesor bukan sekadar gelar, melainkan hasil dari perjalanan panjang seorang dosen & peneliti  dalam pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Mereka layak dihargai, bukan dicurigai.


 

Referensi:

1Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), Kemendikbudristek, 2024.

2Federal Statistical Office of Germany, Academic Staff by Title, 2022.

3American Association of University Professors (AAUP), Annual Report on the Economic Status of the Profession, 2023.

4Higher Education Statistics Agency (HESA), UK, 2022.

5Kemendikbudristek, Sistem Informasi Sumberdaya Terintegrasi (SISTER), 2023.

6Scimago Journal & Country Rank, 2024 .


Artikel Selengkapnya...

Moringa oleifera Aluminum Tolerance Produced by Gamma Irradiation through In Vitro Culture


Moringa oleifera Linn. is a plant with significant potential as a functional food. For mutation, the gamma rays irradiation has been proven effective in producing prominent characteristics such as tolerance to aluminum (Al) stress. Therefore, the present study aimed to assess the genetic variability of M. oleifera plant by exposing to gamma rays irradiation at various doses. Selection of Al tolerant genotypes was carried out in in vitro under Al stress conditions by adding AlCl3 to the media at the rate of 0, 50, 100, 250, and 500 mg/L. The selection was made for prominent accessions of M. oleifera capable of producing high yields under abiotic stress conditions. In addition to agronomic parameters, the organic acids content were observed to select the tolerant accessions with metabolic profile of Al stress tolerant accessions. Gamma irradiation applied to M. oleifera shoot culture produced new traits, as shown by the molecular dendrogram of ISSR markers, where the 10 and 20 Gy treatments had varied genetic diversity compared to the wild type. Additionally, gamma irradiation at 10 and 20 Gy increased the tolerance of M. oleifera culture to 100 and 250 mg/L of AlCl3.

Rudiyanto, Purwito A, Efendi D, Martin AF (2025). Moringa oleifera aluminum tolerance produced by gamma irradiation through in vitro culture. SABRAO J. Breed. Genet. 57(2): 708-718. 

Link DOI: http://doi.org/10.54910/sabrao2025.57.2.27.


Artikel Selengkapnya...

Metabolite Profiling of Moringa Using Py-GCMS and Tolerance Evaluation to Aluminum on In Vitro Culture

 

    Moringa oleifera Linn. has received substantial scientific interest due to its numerous bioactive compounds and its function as a nutritional resource. The absorption of aluminum by plants hinders several metabolic and physiological processes, leading to inhibited plant development and decreased agricultural output. Some accessions from different regions in Indonesia were evaluated to identify those with tolerance to aluminum (Al) stress. Al-tolerant selection was carried out in vitro through the selection method for Al stress by adding 0, 50, 100, 250, and 500 mg/L of AlCl3 to the media. Furthermore, identifying the metabolite profile of four M. oleifera accessions from four distinct regions in Indonesia: Blora, Bogor, Enrekang, and Bima, has been done using Py-GCMS. Specific metabolites associated with tolerance to Al stress and organic acids need to be identified. The highest survival rate was observed in the Bogor and Blora accessions when exposed to AlCl₃ at concentrations ranging from 0 to 250 mg/L, demonstrating greater tolerance to AlCl₃ than other accessions based on various variable, such as shoot height, number of shoots, number of petioles on a medium containing 100 to 250 mg/L of AlCl₃. The mean value was not statistically different from the control. Acetic acid was identified as one of the metabolites associated with AlCl₃ stress. A total of 21 metabolites were specifically correlated with acetic acid in a positive manner, among which 8 metabolites including cyclopentene, 2-allyphenol, 4-ethynyl-6-8-dioxane, vinyl ether, ethanone 1-oxiranyl, 2-methylpyridine, 2-butanone, and ethanesulfonic acid exhibited a very high correlation.


Rudiyanto, Purwito, A. P., Efendi, D., & Martin, A. (2025). Metabolite Profiling of Moringa Using Py-Gcms and Tolerance Evaluation to Aluminum on In Vitro Culture. Biotropia, 32(1): 47–56. 

Link DOI: https://doi.org/10.11598/btb.2025.32.1.2354

Artikel Selengkapnya...

Metode Induksi Irradiasi Sinar Gamma Menggunakan Kalus Tebu (Saccharum officinarum L.) untuk Meningkatkan Kandungan Sukrosa, Glukosa, dan Fruktosa

Invensi ini berhubungan dengan suatu metode untuk memperbaiki karakter genetik tanaman tebu menggunakan irradiasi sinar Gamma 60Co. Metode ini bertujuan untuk mendapatkan mutan mutan tanaman Tebu yang memiliki kandungan sukrosa tinggi. Tahapan-tahapan metode menurut invensi ini yaitu: melakukan sterlisasi eksplan, induksi dan proliferasi kalus SE, induksi mutasi sinar Gamma menggunakan kalus SE dengan dosis 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, dan 100 Gy, maturasi, germinasi dan regenerasi kalus SE hasil irradiasi sinar Gamma. Melakukan analisis Lethal Dose 50 (LD50) dan kandungan sukrosa, glukosa, dan fruktosa.

Inventor: Siti Noorrohmah, Laela Sari, Aida Wulansari, Rudiyanto, EvanMaulana,  Nurhamidar Rahman, Hani Fitriani, Deritha Ellfy Rantau, Meynarti Sari Dewi Ibrahim


Link DirjenKI

Artikel Selengkapnya...
 
Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia