Di Tengah Minimnya Dana Riset, Publikasi Ilmiah Indonesia Tembus Peringkat 37 Dunia versi Scimago

Jika kita membuka laman Scimago Journal & Country Rank, sebuah portal website berbasis data dari publikasi Scopus yang mengukur produktivitas ilmiah tiap negara, maka kita akan melihat bahwa dominasi Amerika Serikat masih sangat kuat. Jumlah publikasi ilmiah dari Negeri Paman Sam jauh melampaui negara lain. Namun, China dengan laju eksponensialnya kini menduduki peringkat kedua dan diprediksi akan segera menyalip AS dalam waktu dekat.

Di tengah hegemoni dua raksasa tersebut, posisi Indonesia ternyata cukup mengejutkan: kita berada di peringkat ke-37 dunia dalam output artikel jurnal ilmiah. Dalam konteks ini, Indonesia cukup unggul dari beberapa negara berkembang lainnya, bahkan dari sebagian negara yang cukup maju seperti New Zealand, Irlandia, bahkan Argentina. Di satu sisi, ini layak kita syukuri dan banggakan. Di sisi lain, hal ini menunjukkan adanya potensi besar yang kita miliki, jika para periset (kampus dan lembaga penelitian) didukung dengan kebijakan yang berpihak pada dunia sains & teknologi.

Bandingkan dengan peringkat Indonesia di FIFA yang sayangnya masih di kisaran 130-an dunia. Maka bisa dibilang, peringkat ilmiah kita di dunia jauh lebih “Kompetitif” dibanding peringkat sepakbola kita. Tentu, membandingkan keduanya mungkin seperti membandingkan apel dan jeruk, tapi ini menjadi cermin menarik, di bidang yang sering dipandang sepi, dan kurang menarik secara politik, kita justru tampil lebih baik.

Ketimpangan Dana dan Output Riset

Namun, mari kita bicara tentang satu hal yang sangat penting tapi sering luput dari perhatian: yakni tentang dana riset. Negara-negara dengan output jurnal tinggi memang umumnya memiliki investasi besar di bidang R&D (Research and Development). Berikut adalah perbandingan dana riset dari beberapa negara versi UNESCO dan OECD, 2023:

Negara

% PDB untuk R&D

Jumlah Publikasi (Scimago)

Amerika Serikat

3,45%

>1.200.000 artikel

China

2,55%

>1.000.000 artikel

Korea Selatan

4,81%

~350.000 artikel

Jepang

3,26%

~400.000 artikel

Jerman

3,14%

~450.000 artikel

Indonesia

0,24%

~31.000 artikel


Data ini menunjukkan bahwa output riset Indonesia sebenarnya tidak jelek-jelek amat jika dibandingkan dengan skala investasinya yang masih "ala kadarnya". Dengan anggaran hanya sekitar 0,24% dari PDB, hasil publikasi kita bisa dibilang cukup efisien. Namun, efisiensi ini tidak bisa terus-menerus diandalkan tanpa peningkatan kualitas dan infrastruktur yang memadai.

Pentingnya Menjadikan Riset sebagai Prioritas Bangsa

Riset bukanlah kemewahan. Ia adalah fondasi sebuah negara. Negara-negara yang mampu mengembangkan teknologi sendiri, menciptakan solusi atas masalah internal, dan membentuk kemandirian intelektual adalah negara yang mampu bertahan dalam jangka panjang. Riset adalah jalur menuju kedaulatan pangan, energi, kesehatan, hingga pertahanan dan keamanan.

Sebagai contoh, Vietnam, yang kini mulai menyalip Indonesia dalam beberapa indikator riset, telah menjadikan science and technology sebagai bagian dari strategi nasional. Mereka memahami bahwa pertumbuhan ekonomi dan daya saing global tak mungkin berkelanjutan tanpa fondasi riset yang kuat.

Indonesia pun harus mulai bergerak ke arah yang sama. Laboratorium yang memadai, sistem insentif bagi peneliti, kolaborasi antara kampus dan industri, serta keterbukaan akses terhadap data dan pendanaan harus diperbaiki secara sistemik. Dana riset bukan hanya soal anggaran, tapi soal visi dan misi jangka panjang.

Jika kita bisa bangga dengan peringkat ilmiah Indonesia di Scimago, maka itu adalah sinyal bahwa kita sebenarnya punya potensi besar. Tapi potensi saja tidaklah cukup. Tanpa dukungan ruang fiskal dan struktural yang kuat, potensi itu akan stagnan atau justru ditinggal negara lain. Maka, sudah saatnya riset menjadi prioritas nasional, bukan sekadar pelengkap visi misi saat musim kampanye.

Dan jika ada yang berkata, "Indonesia hanya jago bikin paper tapi aplikasinya mana?", maka jawabannya justru ada di sana: perbaiki jembatan antara riset dan implementasinya. Bangsa besar tidak lahir dari retorika, tapi dari kerja sunyi para ilmuwan yang diberi ruang untuk tumbuh dan berkarya.
Artikel Selengkapnya...

Revolusi Genom Editing dalam Bioteknologi Tanaman


Kebutuhan pangan global diprediksi akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2050, sementara lahan subur terus menyusut akibat perubahan iklim, degradasi lingkungan serta adanya alih fungsi lahan subur. Dalam kondisi ini, teknologi pemuliaan tanaman konvensional tidak lagi mencukupi. Sebagai respons, bioteknologi tanaman telah mengalami revolusi besar melalui perkembangan teknologi genome editing, atau biasa dikenal dengan CRISPR/Cas9, yang memungkinkan dilakukannya modifikasi genetik yang sangat presisi dan efisien.
Dari Transgenik ke Editing Genom

Perkembangan awal dari bioteknologi tanaman dimulai dengan teknologi transgenik yakni dengan memasukkan gen asing ke dalam genom tanaman untuk memperoleh sifat baru. Meski berhasil meningkatkan produktivitas dan ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik, produk tanaman transgenik menghadapi tantangan sosial dan lingkungan, terutama terkait dengan integrasi gen asing ke dalam genom tanaman dan penggunaan marka resistensi antibiotik. Peralihan teknologi transformasi genetik ke genom editing, terutama dengan CRISPR/Cas9, memungkinkan dilakukannya manipulasi gen tanaman tanpa harus memasukkan DNA asing, Hal ini menjadikan tanaman hasil genom editing lebih dapat diterima masyarakat.

Perkembangan Sistem CRISPR/Cas9

Teknologi CRISPR/Cas9 berasal dari sistem pertahanan bakteri terhadap virus. Keberadaan teknologi ini sejak ditemukan tahun 2012, telah berhasil merevolusi penelitian di bidang genetika tanaman. Teknologi ini menggunakan enzim Cas9 dan guide RNA (gRNA) mampu memotong sekuen DNA genom pada lokasi yang spesifik, lalu diperbaiki oleh mekanisme sel. Keunggulan utama CRISPR/Cas9 meliputi presisi, efisiensi, reproducible, dan kemampuan untuk melakukan multiplex editing (menyunting banyak gen sekaligus). Inovasi terkini seperti base editing dan prime editing telah meningkatkan presisi genom editing tanpa perlu memotong untai DNA genom tanaman.

Aplikasi dalam Menghasilkan Tanaman Unggul

Teknologi genom editing telah diaplikasikan pada beberapa komoditas tanaman pangan seperti padi, gandum, jagung, tomat, kentang, dll untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, salinitas, hama, serta memperbaiki kualitas dan hasil produksi. Misalnya, gen ARGOS8 pada jagung disunting untuk meningkatkan toleransi terhadap kekeringan dan hasil panen; gen OsERF922 pada padi diubah untuk menambah ketahanan terhadap penyakit blast. Sistem CRISPR juga telah diterapkan untuk memperpanjang masa simpan buah melon dan mengurangi pencoklatan pada pasca panen buah terung.

Tantangan dan Prospek Masa Depan

Meskipun telah menunjukkan banyak kemajuan, teknologi genom editing menghadapi beberapa tantangan, seperti rendahnya efisiensi transformasi pada tanaman yang sulit direkayasa, efek off-target, dan keterbatasan pada urutan PAM. Namun, pengembangan pada Cas varian baru yang toleran terhadap suhu, sistem integrasi berbasis transposon, serta pendekatan seperti OMEGA dan CAST telah sedikit demi sedikit mengurai permasalahan tersebut.
Dalam kurun waktu satu dekade ini, teknologi genome editing berbasis CRISPR/Cas9 telah merevolusi bioteknologi tanaman. Dengan presisi tinggi, kemampuan multiplexing, dan tanpa adanya penggunaan gen asing, teknologi ini menjanjikan solusi mutakhir untuk mengembangkan tanaman masa depan yang toleran terhadap perubahan iklim dan mampu menunjang ketahanan pangan global. Pengembangan penelitian lebih lanjut dan kolaborasi para periset dalam skala global akan menjadi kunci keberhasilan dalam penerapan teknologi ini dalam skala luas pada kegiatan pemuliaan tanaman.

Referensi:
Ben-Amar, A. Potential of advanced genome editing tools in plant biotechnology and crop improvement: progress and challenges. Plant Cell Tiss Organ Cult 158, 16 (2024). https://doi.org/10.1007/s11240-024-02807-4
Artikel Selengkapnya...

Kasta Jam Tangan: Simbol Status di Balik Detik yang Berdetak

Jam tangan bukan lagi sekadar alat penunjuk waktu. Dalam dunia modern, ia telah berevolusi menjadi simbol status, gaya hidup, dan bahkan investasi. Beragam merek jam tangan mengisi pasar, masing-masing menawarkan nilai dan prestige yang berbeda. Dalam tulisan ini, kita akan mengulas jam tangan berdasarkan “Kasta” yang populer dan kerap dibicarakan di kalangan penggemar horologi atau watch enthusiast yakni Kasta Sultan, Crazy Rich, Middle Class, dan Entry level.

Kasta Sultan: Keagungan yang Berdetak
Di puncak piramida, terdapat Richard Mille, Audemars Piguet, Patek Philippe, dan Vacheron Constantin. Jam-jam tangan dari kasta ini tidak hanya mahal, harga satu unitnya bisa menyamai rumah mewah, namun juga sangat eksklusif.
  • Richard Mille dikenal dengan desain futuristik dan teknologi mutakhir yang ringan namun tahan banting. Jam ini lebih dari sekadar perhiasan; ia adalah karya seni teknologi horologi.
  • Audemars Piguet, khususnya seri Royal Oak, menjadi ikon horologi mewah dengan desain khas dan finishing yang luar biasa.
  • Patek Philippe, dengan semboyan “You never actually own a Patek Philippe. You merely look after it for the next generation,” menekankan nilai warisan dan ketepatan jam tangan made in Swiss.
  • Vacheron Constantin, salah satu Merek jam tangan tertua dan paling bergengsi di dunia, didirikan pada tahun 1755 di Jenewa, Swiss. Merek ini dikenal karena desainnya yg elegan, dan komplikasi horologis tingkat tinggi.
Jam tangan kasta ini dipakai oleh para miliarder, sultan, dan selebritas papan atas. Ia tidak hanya menandai waktu, tapi juga menandai siapa penggunanya.
Kasta Crazy Rich: Mewah, Tapi Masih Terjangkau oleh Para Elit
Kasta ini diisi oleh merek-merek seperti Rolex, Hublot, Omega, Cartier, Panerai, Grand Seiko, dan Tudor.
  • Rolex adalah simbol klasik kemewahan yang dikenal luas. Model seperti Submariner dan Daytona menjadi barang incaran kolektor dan spekulan.
  • Hublot dengan desain eksperimental dan kolaborasi uniknya (misalnya design Ferrari), sangat menarik bagi para pecinta fashion dan olahraga.
  • Omega, terkenal lewat Speedmaster (jam pertama yang mendarat ke bulan), menggabungkan nilai historis dengan teknologi automatic movement yang canggih.
  • Cartier lebih dikenal sebagai rumah perhiasan, namun jam tangan mereka seperti Santos dan Tank tetap ikonik.
  • Panerai jam tangan mewah asal Italia berukuran besar, desain minimalis, dan visibilitas tinggi dan tahan air. Ciri khas Panerai meliputi casing besar berbentuk bantal (cushion-shaped case), serta crown guard yang unik. Seri Luminor dan Radiomir banyak digemari kolektor dan pecinta gaya maskulin.
  • Grand Seiko dan Tudor membawa kualitas tinggi dengan harga yang relatif lebih bersahabat dibanding Rolex, namun tetap berada di level eksklusif.
Kasta ini adalah milik para eksekutif sukses, entrepreneur muda, dan selebritas kelas menengah atas yang ingin menunjukkan gaya dengan elegan tanpa berlebihan.
Kasta Middle Class: Nilai Tinggi Tanpa Menguras Dompet
Seiko, Hamilton, Longines, Tissot, TAG Heuer dan Oris adalah nama-nama yang sering muncul di kalangan penghobi jam tangan yang serius, namun masih realistis secara finansial.
  • Seiko (terutama lini Presage dan Prospex) dikenal karena value for money dan inovasinya.
  • Hamilton, merk asal Amerika dengan in house movement dari Swiss, menawarkan desain klasik dan keandalan yang solid.
  • Longines dan Tissot berada di bawah grup Swatch, menyasar pasar menengah dengan kombinasi desain elegan dan kualitas jam tangan made in Swiss.
  • Oris, meski independen, memproduksi jam mekanikal dengan spesifikasi tinggi, cocok untuk pecinta diving dan gaya klasik.
  • TAG Heuer dikenal dengan desain sporty, teknologi mutakhir, dan ketepatan waktu yang luar biasa. Model-model ikoniknya seperti Carrera, Monaco, dan Aquaracer mencerminkan semangat kecepatan, ketangguhan, dan gaya hidup yang aktif.
Jam dari kasta ini ideal untuk profesional muda atau penghobi jam tangan yang ingin merasakan kualitas tanpa harus berhutang.
Kasta Entry Level: Fungsionalitas dengan Harga Bersahabat
Di dasar piramida, bukan berarti kualitasnya buruk. Merek seperti Seiko 5, G-Shock, Casio, Orient, dan Timex tetap memiliki tempat istimewa.
  • Seiko 5 dikenal karena harga terjangkau, daya tahan tinggi, dan desain yang simpel namun fungsional. Cocok untuk pemula dalam dunia jam otomatis
  • G-Shock adalah rajanya ketahanan; cocok untuk militer, atlet, dan pekerja lapangan.
  • Citizen jam tangan asal Jepang dikenal karena inovasi teknologi, presisi tinggi, dan nilai fungsional yang kuat. Salah satu seri iconic terkenalnya adalah seri teknologi Eco-Drive
  • Casio secara umum menawarkan jam digital yang ekonomis yang tahan lama dan multifungsi (sering dipakai pelajar dan mahasiswa).
  • Orient, anak perusahaan Seiko, menghadirkan jam otomatis murah namun tangguh.
  • Timex merk asal Amerika yang menawarkan desain kasual dengan harga sangat terjangkau, namun tetap estetik.
Merek-merek ini digunakan oleh masyarakat umum yang mengutamakan fungsi, daya tahan, dan harga bersahabat.
Pilihan Kasta, Pilihan Gaya Hidup
Kasta jam tangan pada akhirnya bukan hanya soal harga, tetapi soal filosofi, kebutuhan, dan selera. Setiap merek membawa cerita, teknologi, dan keunikan tersendiri. Memiliki jam tangan dari kasta tertentu bukan hanya menandakan posisi sosial, tetapi juga bisa mencerminkan kepribadian dan preferensi si pemakai. Entah Anda berada di kasta sultan atau rakyat jelata, yang terpenting adalah bagaimana Anda memaknai setiap detik dalam hidup Anda, karena waktu adalah aset paling berharga.
Artikel Selengkapnya...

Menelusuri Perkembangan Bidang “Kultur Jaringan Tanaman” Sebuah Tinjauan Bibliometrik Secara Global

Kultur jaringan tanaman (KJT) merupakan teknik budidaya tanaman secara in vitro yang memanfaatkan kemampuan totipotensi sel tanaman untuk tumbuh dan berdiferensiasi dalam kondisi laboratorium yang aseptik atau suci hama. Teknologi ini memainkan peran vital dalam hal konservasi tumbuhan langka, produksi metabolit sekunder, dan perbanyakan massal tanaman atau “mass propagation” yang bernilai ekonomi tinggi dan perbanyakan tanaman yang berpotensi sebagai biofarmaka. Dengan terus meningkatnya “erosi genetik” terhadap sumber daya hayati akibat eksploitasi lahan yang berlebihan, degradasi habitat, dan perubahan iklim, KJT dapat menjadi alternatif untuk perbanyakan tanaman yang sustainable dan sangat berpotensi dalam menunjang kemajuan bioteknologi tanaman saat ini.
Studi review yang dilakukan oleh Shivani Negi dan koleganya ini menggunakan analisis bibliometrik berbasis data Scopus untuk menganalisis perkembangan literatur KJT secara global (internasional) mulai dari tahun 1933 hingga 2023. Data dianalisis menggunakan software VOSviewer dengan pendekatan pemetaan ilmiah dan analisis kinerja. Fokus utama adalah mengevaluasi jumlah publikasi, negara dan penulis paling produktif, tren kata kunci, serta kolaborasi internasional dalam bidang KJT.

Hasil dan Temuan Utama

Pertumbuhan Eksponensial Publikasi
Jumlah publikasi dalam bidang KJT menunjukkan peningkatan yang signifikan, khususnya sejak tahun 1975. Tahun 2022 menjadi puncak produktivitas dengan 165 publikasi, mengindikasikan meningkatnya ketertarikan terhadap teknologi ini seiring dengan kebutuhan konservasi dan peningkatan perkembangan bioteknologi tanaman.

Kontribusi Negara dan Kolaborasi Internasional
India menjadi negara dengan kontribusi terbanyak (462 publikasi), diikuti oleh Amerika Serikat (367), Tiongkok, Brasil, dan Jepang. Namun, AS mencatat rata-rata sitasi tertinggi per artikel (80,55), mencerminkan kualitas dan dampak yang tinggi dari penelitian mereka. Kolaborasi internasional paling banyak terjadi antara AS dan 38 negara lain, termasuk India dan Tiongkok. Semoga saja Peneliti Indonesia bisa segera menyusul dari ketertinggalan ini

Jurnal dan Artikel Paling Berpengaruh
Plant Cell, Tissue and Organ Culture menjadi jurnal dengan publikasi terbanyak, sedangkan artikel "Floral Dip" oleh Clough dan Bent (1998) menjadi yang paling banyak disitasi (22.049 sitasi). Tokoh sentral seperti Murashige dan Skoog juga menempati posisi teratas dalam analisa co-citation.

Tren Kata Kunci dan Fokus Penelitian
Enam klaster tematik diidentifikasi berdasarkan kata kunci yang sering muncul, seperti “plant tissue culture”, “micropropagation”, “somatic embryogenesis”, hingga integrasi teknologi seperti kecerdasan buatan atau AI dan juga penggunaan bioreaktor. Fokus utama meliputi:
  • Produksi metabolit sekunder (klaster 1)
  • Regenerasi dan konservasi spesies tanaman langka (klaster 2)
  • Embriogenesis somatik dan organogenesis (klaster 3)
  • Mikropropagasi dan variasi somaklonal (klaster 4)
  • Senyawa bioaktif dan aktivitas antioksidan (klaster 5)
  • Regulasi hormon tanaman dan aplikasi AI (klaster 6)
Hasil Studi literatur ini menunjukkan bahwa bahwa KJT telah berevolusi menjadi tools dalam perkembangan bioteknologi tanaman modern yang sangat esensial di bidang pertanian, hortikultura, dan konservasi tanaman. Peningkatan publikasi rata-rata sebesar 5,44% per tahun menunjukkan dinamika riset yang aktif dan relevan. Peran penting KJT juga terlihat dalam dunia riset dalam skup peningkatan kualitas genetik tanaman, produksi tanaman bebas penyakit, dan pengembangan varietas unggul.

Ditemukannya penulis dan jurnal yang paling berpengaruh memberikan acuan penting bagi peneliti baru dalam memilih referensi dan mitra kolaborasi. Selain itu, potensi pemanfaatan AI menandai fase baru dalam efisiensi dan otomatisasi proses kultur jaringan tanaman.

Dalam rentang hampir satu abad atau 90 tahun, riset KJT telah berkembang pesat secara kuantitatif dan kualitatif, dan mengakar kuat dalam ekosistem sains secara global. Hasil penelitian ini bukan hanya memberikan wawasan historis, tetapi juga peta jalan bagi penelitian masa depan dalam bidang Kultur Jaringan Tanaman. Dengan terus meningkatnya tantangan di bidang pertanian dan lingkungan, kultur jaringan tanaman diperkirakan akan memainkan peran yang semakin sentral dalam inovasi bioteknologi yang berkelanjutan.

Referensi Review Jurnal:



Artikel Selengkapnya...

Kondisi Meja Kerja, Cermin Pikiran atau Sekadar Stereotip Semata?

 


"Ada yang bilang kalau kerapihan meja kerja adalah refleksi dari kejernihan cara berpikir seseorang... "

Ungkapan ini kerap kita dengar, apalagi dalam konteks produktivitas dan manajemen waktu. Meja yang rapi sering diasosiasikan dengan pikiran yang sistematis, logis, dan efisien. Tapi benarkah demikian? Ataukah ini hanya stereotip semata?

"Ah…..Ndak juga. Meja kerja sangat rapi bisa jadi karena memang ndak pernah dipakai kerja,…..wkwkwkwk."

Sebuah sindiran yang mungkin asumsinya benar. Tak semua meja rapi adalah representasi dari kerja keras. Dalam beberapa kasus, meja justru bersih karena kosong aktivitas.

Silahkan lihat gambar di atas. Itu adalah potret meja kerja Albert Einstein, yang terlihat berantakan, penuh kertas, buku, dan catatan yang tampak acak-acakan. Tapi siapa yang bisa meragukan kedalaman berpikir dan kontribusi ilmiahnya terhadap dunia science? Bahkan ia sendiri pernah berkata:

"If a cluttered desk is a sign of a cluttered mind, of what, then, is an empty desk a sign of?"

Meja Semrawut, Pikiran Rumit? Belum Tentu.

Penelitian psikologi modern menunjukkan perspektif yang cukup menarik. Sebuah studi dari University of Minnesota oleh Kathleen Vohs (2013) menemukan bahwa lingkungan kerja yang berantakan justru dapat mendorong kreativitas. Partisipan yang bekerja di ruangan tak rapi justru menghasilkan ide-ide yang lebih inovatif dibanding mereka yang berada di lingkungan yang tertata rapi.

Lingkungan yang tidak terorganisir, menurut Vohs, mendorong otak untuk berpikir out of the box, tidak terbatas oleh kerangka berpikir yang kaku. Ini sejalan dengan karakter banyak ilmuwan besar dan seniman yang meja kerjanya jauh dari kata rapi seperti Einstein, Mark Twain, hingga Steve Jobs.

Sebaliknya, Meja Rapi = Fokus dan Disiplin

Namun, bukan berarti meja rapi tidak ada manfaatnya. Studi yang sama juga menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang bersih dan terorganisir cenderung membuat orang mampu membuat keputusan yang lebih hati-hati. Hal ini mengindikasikan bahwa keteraturan membantu dalam pengambilan keputusan yang sistematis dan rasional.

Jadi, Mana yang Lebih Baik?

Hmmm,….tentu tergantung perpektif masing-masing sesuai pada jenis pekerjaan dan gaya berpikir masing-masing individu. Untuk pekerjaan yang menuntut ketelitian dan terstruktur, seperti akuntan atau project manajemen, meja rapi mungkin lebih terlihat elegan di mata klien. Namun untuk pekerjaan yang bersifat kreatif, konseptual, dan ilmiah, seperti penulis, peneliti, atau seniman, meja berantakan kadang justru bisa menjadi “sumber inspirasi” untuk membantu menemukan ide baru.

Pada akhirnya, meja kerja adalah perpanjangan dari cara seseorang berpikir dan bekerja. Tidak ada satu standar yang benar untuk semua. Entah rapi atau berantakan, yang penting adalah meja itu berfungsi sebagai alat bantu, bukan sekadar pajangan untuk memenuhi ekspektasi seseorang.
Artikel Selengkapnya...

Mengapa Orang Kaya Lebih Mudah Diterima di Masyarakat?

Dalam dinamika sosial masyarakat modern, sering kali kita melihat fenomena bahwa orang kaya lebih mudah diterima, disukai, dan dihormati dalam lingkungan sosial dibandingkan dengan orang miskin. Realita ini bukan hanya soal persepsi, tetapi juga berkaitan dengan kemampuan ekonomi yang memengaruhi cara seseorang membangun dan menjaga relasi sosial.

Orang kaya memiliki kelebihan dalam akses dan sumber daya yang membuat mereka lebih mudah diterima di berbagai kalangan. Mereka mampu mentraktir teman, memberi hadiah, mengundang untuk makan malam di restoran, atau bahkan membiayai acara kebersamaan yang mempererat hubungan sosial. Tindakan-tindakan ini tidak hanya dinilai sebagai kebaikan, tetapi juga membentuk citra sebagai pribadi yang dermawan dan menyenangkan. Sebaliknya, orang miskin sering kali tak memiliki kemampuan serupa. Bukan berarti mereka tidak ingin berbagi atau menjalin relasi, namun keterbatasan finansial kerap membuat mereka tampak pasif atau bahkan terkesan “menumpang” dalam pergaulan.

Dalam urusan menjaga silaturahmi, orang kaya pun memiliki keunggulan. Mereka bisa dengan mudah membeli tiket pesawat dan hadir di acara pernikahan, reuni, atau syukuran kolega yang tinggal nun jauh disana. Mereka dapat membawa oleh-oleh, hadiah, bahkan ikut memberikan sumbangan dalam acara tersebut. Keberadaan mereka dianggap sebagai bentuk perhatian yang tinggi. Bandingkan dengan orang miskin yang harus berpikir dua kali, bahkan untuk sekadar membeli tiket untuk biaya transportasi. Kadang bukan tidak mau datang, namun karena tidak mampu.

Relasi sosial juga sering dilihat dari kemampuan untuk memberi dukungan dalam beberapa momen penting para kolega. Ketika teman atau kolega diwisuda, membuka usaha, atau naik jabatan, orang kaya bisa mengirimkan bucket bunga, bingkisan, atau bahkan karangan bunga. Ini menjadi bentuk simbolis dari penghargaan dan dukungan. Orang miskin mungkin hanya bisa memberi ucapan lewat pesan singkat via WA atau komen di media sosial, mungkin niatnya tulus, namun sering kali tak dianggap setara dalam ekspresi sosial di masyarakat.

Kemampuan mobilitas juga menjadi faktor penting. Orang kaya bisa menjemput teman dari bandara atau stasiun menggunakan mobil pribadi yang nyaman. Mereka bisa menjadi tuan rumah yang baik dalam berbagai kesempatan. Sementara orang miskin? Kalaupun menjemput, mungkin hanya bisa naik motor, atau bahkan sepeda yang walau bermakna, tetap saja dianggap “kurang pantas” dalam norma sosial masyarakat hedonis.

Inilah mengapa masyarakat kita cenderung lebih "menerima" keberadaan orang kaya. Bukan semata karena kekayaan itu sendiri, tapi karena kekayaan memberi alat dan peluang untuk memperkuat relasi sosial secara nyata. Dalam masyarakat yang sering kali menilai bentuk perhatian dari besaran nilai materi, orang kaya memang punya “amunisi” lebih.

Lalu, apakah artinya orang miskin tidak punya solusi? Tentu ada. Salah satunya adalah memperkuat kualitas diri dan kehadiran yang tulus. Kejujuran, empati, kerja keras, dan integritas masih memiliki nilai tinggi dalam relasi sosial yang sehat. Selain itu, membangun jejaring dan meningkatkan pendidikan serta keterampilan bisa menjadi jembatan untuk memperluas peluang, termasuk didalamnya peluang ekonomi dan relasi. Tidak harus kaya raya, tetapi cukup agar mampu menjalin hubungan sosial yang setara dan bermakna.

Pada akhirnya, masyarakat perlu belajar untuk menilai seseorang tidak hanya dari apa yang bisa ia berikan secara materi, tapi juga dari kualitas kepribadian dan ketulusan relasi. Namun, tak bisa dimungkiri: dalam realitas sosial yang ada hari ini, orang kaya memang lebih mudah diterima karena mereka punya lebih banyak cara untuk hadir, memberi, dan menunjukkan perhatian.
Artikel Selengkapnya...
 
Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia