Semakin dengan bertambahnya usia, semakin kita menyadari bahwa sesungguhnya kebahagiaan itu mudah dan sederhana, hanya saja imajinasi dan ekspektasi kitalah yang menjadikannya rumit dan kompleks. Disaat kita tua nanti, mungkin baru akan kita sadari bahwa yang selama ini kita perjuangkan, ternyata tidaklah sepenting itu dalam hidup kita.
Jika kita renungkan, sebuah mobil Mercedes seharga Rp1,6 miliar dan mobil Toyota lawas seharga Rp150 juta ternyata sama-sama bisa membawa kita ke tempat tujuan. Jam tangan Rolex bernilai ratusan juta tetap menunjukkan waktu dan jam yang sama seperti jam G-Shock yang kita beli di toko online. Rumah besar yang megah dan mewah dengan fasilitas kolam renang dengan rumah kecil sederhana di pinggir gang pada akhirnya sama-sama menjadi tempat tidur yang nyaman, jika kita cukup merasa damai berada di dalamnya.
Sayangnya, kita hidup dalam masyarakat yang mengagungkan simbol. Branding, harga, ukuran, semua menjadi metrik kesuksesan yang diteriakkan secara visual di media sosial dan ruang-ruang percakapan. Terlalu banyak dari kita yang terjebak mengejar citra, bukan makna. Kita bekerja lebih ekstra, mengorbankan waktu dengan keluarga, memforsir diri, bahkan sampai terjerat pinjol, demi hal-hal yang sebenarnya tidak menambah esensi hidup namun hanya mempercantik tampilan luarnya saja.
Padahal, kebahagiaan itu tidak terletak pada angka di rekening atau merek di punggung baju. Kebahagiaan ada dalam rasa damai ketika pulang ke rumah yang hangat, dalam kebebasan untuk memilih tanpa tekanan dan dalam kelegaan bisa tidur nyenyak tanpa beban citra yang harus terus dijaga. Seperti kata pepatah, “Wealth consists not in having great possessions, but in having few wants.” Kekayaan itu bukan soal memiliki banyak hal, tetapi kelegaan karena tidak terus-menerus menginginkan hal yg lebih.
Hal ini bukan berarti kita tidak boleh sukses atau menikmati hasil kerja keras. Namun, mengejar sesuatu seharusnya berangkat dari kebutuhan dan nilai, bukan dari tekanan sosial atau kompetisi semu. Jika mobil yang nyaman dan aman sudah cukup, untuk apa menambah ratusan juta hanya demi sebuah “emblem”? Jika jam yang sederhana sudah cukup akurat dan presisi, kenapa harus berlomba membeli kemewahan yang pada akhirnya hanya disimpan dalam kotak kaca (watch box)?
Flexing, seringkali menjadi jerat sunyi yang kita bangun sendiri. Ironisnya, semakin keras seseorang ingin terlihat bahagia, kadang justru semakin dalam kekosongan yang coba ia tutupi. Dalam diam, banyak orang kaya yang justru iri pada orang biasa yang bisa tertawa lepas, makan sederhana tanpa pencitraan, dan hidup ringan tanpa beban gaya hidup.
Seorang bijak pernah menuturkan, “He who is not contented with what he has, would not be contented with what he would like to have.” Bila kita tidak bahagia dengan yang kita miliki hari ini, seberapa pun besar yang nanti kita miliki tetap tidak akan pernah merasa cukup. Karena itu, daripada terus mengejar yang tak pasti, mengapa kita tidak memperbanyak rasa syukur yang telah kita miliki?
Hidup bukan tentang siapa yang paling cepat naik kelas sosial, tetapi siapa yang paling bisa menikmati perjalanannya. Maka, bersikaplah “flex less, live more”. Sederhana bukan berarti serba kekurangan, namun justru keserhanaan adalah bentuk tertinggi dari nilai kebebasan.
Mewah Boleh, Tapi Bahagia Itu Sederhana
Ada pepatah Tiongkok yang mengatakan, “He who knows he has enough is rich.” Orang yang tahu batas kecukupan adalah orang yang paling kaya. Sementara kita terus saja dikejar ilusi bahwa “dengan memiliki lebih” berarti “akan lebih bahagia,” banyak diantara kita yang akhirnya justru merasa kosong setelah mencapai semua itu. Maka, sejatinya bukan harta yang salah, tetapi cara kita memaknai dan menempatkannya yang sering kurang tepat.
Dalam Islam, prinsip ini telah diingatkan sejak awal. Nabi Muhammad ï·º bersabda:
“Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan sejati adalah kaya hatinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, kesejahteraan tidak diukur dari apa yang kita miliki secara materi, melainkan sejauh mana hati kita merasa cukup dan bersyukur. Begitu juga dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan:
“Ketahuilah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”(QS. Ar-Ra’d: 28)
Bukan dengan barang, bukan dengan saldo, bukan dengan pengakuan orang lain, tetapi dengan ketenangan hati. Dan ketenangan itu tidak dijual di showroom mobil, butik jam tangan, atau developer perumahan elite.
Tentu tidak ada yang salah dengan sukses, harta, atau kenyamanan. Namun jika semua itu diperoleh hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain, atau demi validasi sosial semu, maka kebebasan kita perlahan akan menguap. Kita tidak hidup atas pilihan kita sendiri, tapi atas tekanan. Mungkin benar perkataan Dave Ramsey, “We buy things we don’t need with money we don’t have to impress people we don’t like.”
Hari ini, barangkali kita perlu untuk bertanya ulang, untuk apa semua ini? Apakah kita benar-benar memaknai hidup, atau hanya menjalani skenario untuk mendapatkan validitas dari masyarakat?
Janganlah menunggu kebahagiaan itu datang, baru engkau bersyukur. Akan tetapi,….bersyukurlah, maka engkau akan menemukan kebahagiaan.