Pelajaran Investasi dari Shigeru Fujimoto Maestro Investor dari Negri Sakura
Ghana Hentikan Penyalahgunaan Gelar Kehormatan (Honoris causa): Bagaimana dengan Konoha?
- Premium Times Nigeria. (3 Juni 2025). Ghana bans
honorary doctorate, professor titles by public officials.
- Legit.ng. (4 Juni 2025). Public officials banned
from using honorary titles in Ghana.
- GTEC Official Statement via GhanaWeb (31 Mei 2025).
Antara Usaha Warteg dan Tukang Parkir, Mana Yang Lebih Menguntungkan?
Politik dan Panggung Kehidupan: Ketika Politisi Berperan Sebagai Aktor
Kekuatan Sebuah Konsistensi: Dari Satu Paragraf Menuju Sebuah Karya Tulis Ilmiah
Secara perhitungan matematis: 1.01^365
= 37.783
. Angka ini bukan sekadar perhitungan, melainkan simbol sebuah
kekuatan persistensi yakni peningkatan kecil yang terus terakumulasi setiap
hari. Jika kita menaikkan usaha 1% saja setiap hari, maka dalam waktu satu
tahun kita akan mendapatkan hasil 37 kali lipat lebih baik dibandingkan saat
kita memulai sesuatu. Sebaliknya, jika kita tidak melakukan apa-apa, atau malah
sedikit demi sedikit mundur dan inkonsisten, hasil akhirnya bisa sangat jauh
dari yang kita harapkan.
Dapat kita bayangkan, jika seandainya kita dapat menulis satu paragraf saja per
hari. Tidak perlu kalimat yang sempurna. Tidak perlu panjang. Hanya satu
paragraf saja. Maka dalam satu tahun, kita akan memiliki lebih dari 365 paragraf—jumlah
yang cukup untuk menghasilkan lebih dari satu karya tulis ilmiah. Bahkan jika
sebagian besar dari paragraf-paragraf itu nantinya perlu diedit ulang, kita
tetap sudah punya “bahan mentah” untuk kemudian dipoles dan diperbaiki. Dibandingkan
hanya dengan menunggu “inspirasi” atau adanya momen "good mood" untuk
memulai menulis, tindakan kecil ini apabila dilakukan setiap hari akan
jauh lebih berharga.
Pelajaran yang dapat kita petik dari “profound quote” ini adalah: kemajuan
kecil lebih baik daripada tidak ada kemajuan sama sekali. Dalam dunia akademis,
di mana pressure/ tekanan dan beban kerja sering kali membuat kita menunda
untuk menulis, maka filosofi "satu paragraf sehari" adalah bentuk
perlawanan terhadap rasa malas dan sikap perfeksionisme yang dapat melumpuhkan
kreatifitas. Seneca, pernah mengatakan: "While we wait for life, life
passes." ketika kita menunggu waktu ideal untuk mulai, maka kesempatan
pun akan berlalu.
Maka, mari kita mulai hari ini, bukan besok, bukan minggu depan. Tulislah
satu paragraf. Catat satu ide. Baca satu halaman. Jadikan itu kebiasaan. Karena
pada akhirnya, keberhasilan bukan milik mereka yang bergerak cepat sesekali,
tetapi milik mereka yang melangkah kecil namun konsisten setiap hari.
Seperti kata yang tertera dalam ilustrasi gambar di atas: Be
persistent. Jadilah pribadi yang gigih. Karena dari kegigihan itulah, InsyaAllah
akan lahir karya-karya besar.
Jangan Remehkan Hutang: Amanah Dunia, Beban Akhirat
Ini bukan sekadar pesan ekonomi, ini adalah pesan keadilan sosial dan
tanggung jawab moral. Allah yang Maha Mengetahui meletakkan urgensi persoalan
hutang pada tempat yang sangat tinggi. Bukan tanpa sebab. Hutang adalah ujian
akhlak, dan sering kali menjadi sumber keretakan hubungan persaudaraan,
kerusakan masyarakat, bahkan akhirat seseorang.
Lebih mengejutkan lagi, Rasulullah ﷺ menyampaikan bahwa orang yang terbunuh
di medan jihad—yang darahnya tumpah demi agama—tidak serta-merta mendapatkan
status syahid jika ia masih meninggalkan hutang yang belum diselesaikan.
“Seluruh dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR.
Muslim)
Maka pertanyaannya: mengapa ada sebagian orang, bahkan tokoh agama yang kita
pandang sebagai ustadz dan panutan umat, begitu meremehkan urusan hutang? Bahkan
dengan entengnya berkata, "Itu hanya masalah
duniawi, masalah hutang,...ngemplang, jadi tidak perlu untuk dibesar-besarkan"
Masalah duniawi? Jika memang demikian, mengapa Allah harus turunkan satu
ayat terpanjang hanya untuk perkara duniawi? Mengapa Rasulullah sampai enggan
menyolatkan jenazah orang yang masih menanggung hutang, jika tidak ada dimensi
akhirat di dalamnya?
Di sinilah letak keprihatinan. Ketika orang awam tidak tahu, mungkin bisa
dimaklumi. Tapi ketika seorang ustadz—yang setiap kata dan geraknya menjadi
contoh, bahkan rujukan umat—meremehkan hal sebesar ini, maka itu adalah sebuah petaka
dan krisis. Krisis keilmuan? Krisis kejujuran? Atau krisis akhlak?
Perkataan seperti itu bukan saja mencederai ajaran Islam, tapi juga bisa
menjadi pembenaran bagi orang-orang yang memang punya kecenderungan untuk lari
dari tanggung jawab. Orang yang memang berniat ngemplang, bisa dengan mudah
berkata: “Ah, itu kan cuma masalah duniawi.”
Padahal dalam Islam, tanggung jawab dunia justru yang akan menentukan nasib
akhirat. Apakah tidak takut bahwa ucapan yang menyepelekan bisa membuat umat
terbiasa menggampangkan amanah?
Sudah saatnya kita kembali menempatkan nilai-nilai Al-Qur'an pada posisi
tertingginya. Bukan hanya dalam ibadah, tapi juga dalam muamalah. Dan sudah
seharusnya para tokoh agama berhati-hati dalam berbicara, karena satu kalimat
bisa jadi pembenaran bagi ribuan kesalahan.
Islam mengajarkan kita kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan—termasuk
dalam hal hutang piutang. Jangan sampai, hanya karena satu komentar tak
bertanggung jawab, kita menjadi umat yang membenarkan kelalaian, bahkan
pengkhianatan, dengan label "itu cuma masalah duniawi."