Ketidakarifan Lokal: Menyikapi Budaya Jahiliyah dengan Kaidah Ushul Fiqh

 

Dalam lintasan sejarah Arab pra-Islam, khususnya bangsa Quraisy, tercatat sejumlah praktik budaya yang bertentangan secara fundamental dengan nilai-nilai moral, akal sehat, dan ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. 

Penyembahan terhadap berhala seperti Latta, Uzza, dan Manat, praktik meminum khamr secara masif, penguburan bayi perempuan hidup-hidup, pengundian nasib dengan anak panah, serta fanatisme suku yang membabi buta adalah potret kelam dari peradaban yang disebut sebagai budaya jahiliyah. Budaya-budaya tersebut bukan hanya tidak mencerminkan kearifan, tetapi sejatinya merupakan bentuk ketidakarifan lokal, yakni praktik budaya yang membawa kerusakan, kebodohan, dan ketertinggalan baik secara spiritual maupun sosial.

Dalam konteks kekinian, penting untuk membedakan secara tegas antara budaya lokal yang membawa kemaslahatan dengan budaya lokal yang justru menjerumuskan pada peyimpangan norma atau pelanggaran nilai-nilai agama. Gotong royong, musyawarah mufakat, serta pemakaian pakaian adat yang menutup aurat seperti sarung adalah contoh budaya lokal yang layak dihormati dan dilestarikan karena sejalan dengan prinsip-prinsip ma’ruf dalam Islam yakni segala sesuatu yang dikenal baik secara syariat maupun akal sehat.

Dalam Ushul Fiqh, terdapat kaidah penting yang menjadi pijakan dalam menyikapi berbagai bentuk ibadah dan muamalah, termasuk budaya lokal:

"Al-Ashlu fil ‘ibadah al-tahrim illa ma dalla dalil ‘ala mashru’iyyatihi, wal-ashlu fil mu’amalat al-ibahah illa ma dalla dalil ‘ala tahrimiha."

Artinya: “Hukum asal dalam ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkannya, dan hukum asal dalam muamalah adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya.”

Kaidah ini menjelaskan bahwa segala bentuk ibadah harus berdasarkan perintah yang jelas dari syariat Agama. Tidak bisa begitu saja dibuat dan diamalkan atas dasar tradisi atau kebiasaan. Sementara dalam urusan sosial dan budaya (muamalah), Islam memberikan keleluasaan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Agama. Oleh karena itu, budaya lokal seperti penyembahan berhala atau perjudian atas nama tradisi, adalah hal yang tidak dibenarkan walaupun mungkin dilabeli sebagai bentuk "kearifan lokal". Label tersebut menimbulkan “missleading” ketika digunakan untuk membenarkan praktik yang telah nyata-nyata bertentangan dengan nilai-nilai ke Islaman, tauhid, keadilan, dan kemanusiaan.

Maka, umat Islam perlu bersikap selektif dalam menyikapi budaya lokal. Tidak semua warisan nenek moyang layak untuk dijaga; yang harus dijaga adalah nilai-nilai yang membawa kemaslahatan, keadilan, dan tidak bertentangan dengan wahyu. Islam tidak memusuhi budaya, tetapi menempatkan budaya dalam kerangka syariat. Yakni budaya yang mendukung nilai-nilai agama adalah ma’ruf, sementara yang bertentangan dengannya adalah sesuatu yang munkar.

Dengan demikian, memahami budaya lokal melalui perspektif ushul fiqh membantu kita memilah mana yang layak dijaga sebagai bagian dari kearifan, dan mana yang harus ditinggalkan sebagai bagian dari ketidakarifan
Artikel Selengkapnya...

Benarkah Buku lebih Berdampak Nyata Daripada Jurnal Ilmiah?

Memang benar bahwa beberapa ilmuwan besar khususnya di bidang Humaniora dan Ilmu Sosial (HSS) lebih dikenal luas melalui karya-karya bukunya yang berdampak bagi masyarakat luas daripada publikasi jurnalnya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa dinamika akademik saat ini telah berkembang, dan publikasi di jurnal bereputasi termasuk jurnal terindex Scopus & WOS Q1-Q4 juga memainkan peran penting dalam pengakuan karya ilmiah dan penyebaran ilmu pengetahuan.

1. Buku dan jurnal memiliki fungsi yang berbeda namun saling melengkapi. Buku seringkali digunakan untuk menyampaikan argumen yang kompleks dan menyeluruh, sementara jurnal memungkinkan penyebaran temuan terkini atau ide gagasan dalam bentuk yang lebih ringkas dan sistematis serta dapat diuji secara peer-review.
2. Kualitas jurnal mencerminkan standar ilmiah. Untuk bisa menerbitkan jurnal bereputasi (Terindex Scopus maupun WOS Q1-Q4) maka perlu menjalani proses review yang sangat ketat. Artikel yang diterbitkan di dalamnya seringkali menjadi rujukan utama dalam pengembangan teori dan metodologi ilmiah, khususnya dalam konteks global. Karya ini juga menjadi tolok ukur objektif untuk menilai kualitas sebuah karya ilmiah.

3. Publikasi jurnal ilmiah memperluas jangkauan pengaruh. Seringkali buku memiliki jangkauan yang terbatas pada kalangan tertentu atau bahasa tertentu, sedangkan jurnal internasional yang bereputasi dapat menjangkau komunitas akademik secara global dan berkontribusi pada diskusi ilmiah para ilmuwan secara internasional.

4. Perubahan ekosistem akademik. Di banyak negara, termasuk Indonesia, sistem penilaian akademik kini menekankan pentingnya publikasi jurnal bereputasi untuk mendorong adanya transparansi, akuntabilitas, dan standarisasi kualitas karya tulis ilmiah. Hal ini bukan berarti mengabaikan pentingnya buku, namun hal ini dapat menciptakan equilibrium baru antara dua bentuk publikasi dengan format berbeda.

5. Banyak ilmuwan besar juga aktif menulis di jurnal. Jika kita menelusuri rekam jejak beberapa ilmuwan terkemuka saat ini, mereka tidak hanya menulis beberapa buku monumental, namun juga aktif mempublikasikan artikel di jurnal akademik sebagai bagian dari proses aktualisasi karya intelektual mereka.
Narasi yang menyatakan bahwa "ilmuwan hebat hanya akan dikenal lewat buku" kurang tepat dalam konteks akademik modern. Buku sangat penting, tetapi jurnal ilmiah juga krusial. Keduanya adalah medium intelektual yang valid dan perlu dipahami dalam konteksnya masing-masing.
Artikel Selengkapnya...

Pelajaran Investasi dari Shigeru Fujimoto Maestro Investor dari Negri Sakura

Shigeru Fujimoto adalah seorang investor berusia 87 tahun asal Jepang, yang telah berhasil mengumpulkan kekayaan (net worth) dengan nilai lebih dari $12 M melalui investasi saham. Dia dijuluki sebagai “Warren Buffett” nya Jepang,” Membahas kisah hidup dan prinsip investasi S. Fujimoto tentu dapat menjadi sumber inspirasi, tidak hanya bagi investor Jepang, tetapi juga bagi para pelaku pasar saham global, termasuk kita yang di Indonesia. Kisahnya menunjukkan bahwa keberhasilan dalam berinvestasi tidak hanya berasal dari latar belakang akademis atau finansial background yang kuat, tetapi lebih pada ketekunan dan kedisiplinan.

Cintai Apa yang kamu lakukan: Investasi Bukan Hanya Sekadar Angka

S. Fujimoto menekankan pentingnya untuk mencintai apa yang dilakukan, termasuk dalam aktivitas investasi/ trading saham. Ia hidup dan bernapas dalam dunia investasi saham, selalu mengamati lingkungan sekitar sebagai sumber inspirasi dalam investasi. Lalu menghubungkan relevansi dengan momentum trend yang ada saat ini, mengingat pasar saham sangat dipengaruhi oleh sentimen publik dan tren sektoral. Saat terjadi booming pada sektor komoditas seperti batu bara atau nikel, banyak investor ritel Indonesia ikut-ikutan (Fomo) tanpa memahami dan menganalisa kondisi fundamental emiten tersebut. Dengan mencintai dan mendalami analisa secara mandiri maka psikologis investor akan lebih tahan banting terhadap fluktuasi dan tekanan pasar.

Jangan FOMO & Ikut-ikutan, lakukan analisa Mandiri

S. Fujimoto memperingatkan akan bahaya mengikuti tren atau rekomendasi influencer secara membabi buta. Fenomena seperti ini sering terjadi di berbagai grup saham dan media sosial, di mana saham-saham gorengan sering naik karena efek FOMO (Fear of Missing Out). Padahal, sering kali informasi tersebut sudah "lagging" ketika sampai ke publik. Investor yang hanya ikut arus tanpa melakukan riset/ analisa cenderung akan membeli saham di harga tertinggi dan akan menjual di harga terendah. Pesan S. Fujimoto menegaskan akan pentingnya analisisa mandiri dan perlunya skeptisisme yang sehat terhadap informasi pasar yang beredar.

Investasilah di sektor atau Emiten  yang anda pahami

Prinsip S. Fujimoto ini sejalan dengan Warren Buffett yakni: “Jangan investasikan uang Anda dalam bisnis yang tidak Anda pahami.” Ia fokus pada sektor yang familiar dengan “Niche” yang dipahaminya seperti Industri otomotif dan semikonduktor. Hal ini sangat penting, mengingat banyaknya investor pemula yang tergoda membeli saham perusahaan teknologi yang belum untung atau sektor yang asing bagi dunia mereka. Dengan fokus pada sektor yang kita kenal, seperti perusahaan konsumsi (misalnya Indofood/ INDF), investor Indonesia dapat membuat keputusan yang lebih rasional yang berbasis fundamental.

Pentingnya Kedisiplinan dan Jurnal Trading untuk Refleksi Setiap Keputusan Investasi

Kebiasaan S. Fujimoto adalah mencatat setiap transaksi hariannya dan disiplin dalam menentukan aktivitas buy dan sell sebuah saham berdasarkan analisa. Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan secara sistematis dalam berinvestasi. Di Indonesia, masih banyak kita temui investor yang melakukan jual beli berdasarkan “impulse buy” semata tanpa adanya catatan yang jelas. Dengan membuat jurnal investasi, investor bisa belajar dari kesalahan masa lalu dan mengidentifikasi pola perilaku yang dapat merugikan. Ini sejalan dengan praktik-praktik dalam trading profesional, di mana trading jurnal menjadi alat penting untuk evaluasi strategi.

Relevansi Bagi Investor Indonesia

Kisah Shigeru Fujimoto memiliki relevansi di pasar saham Indonesia, terutama dalam membangun budaya investasi yang lebih matang dan berorientasi jangka panjang. Di tengah meningkatnya jumlah investor ritel di Indonesia -khususnya generasi muda- nilai-nilai yang dipegang S. Fujimoto dapat menjadi fondasi untuk membangun disiplin dan filosofi investasi yang sehat.

Pasar Indonesia masih relatif volatil dan sensitif terhadap sentimen global dan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, pendekatan S. Fujimoto yang meskipun agak konservatif, namun tetap berbasis pengetahuan dan disiplin sangat cocok diterapkan di tengah kondisi pasar yang tak menentu.

Shigeru Fujimoto membuktikan bahwa kesuksesan dalam investasi tidak ditentukan oleh seberapa cepat kita bergerak mengikuti pasar, tetapi oleh seberapa dalam kita memahami keputusan kita sendiri. Nilai-nilai seperti pentingnya sebuah proses, analisa mandiri, pemahaman mendalam terhadap semua sektor, dan kedisiplin tinggi dalam jurnal trading/ investasi dapat menjadi bekal penting bagi investor untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu berkembang dalam jangka panjang. Belajar dari pendekatan S. Fujimoto dapat menjadi langkah bijak menuju kematangan finansial yang berkelanjutan.
Artikel Selengkapnya...

Ghana Hentikan Penyalahgunaan Gelar Kehormatan (Honoris causa): Bagaimana dengan Konoha?

Baru-baru ini, Ghana membuat gebrakan di bidang akademis yang layak untuk diapresiasi dan diteladani oleh negara lain, termasuk juga negri Konoha. Melalui Komisi Pendidikan Tinggi Ghana atau “Ghana Tertiary Education Commission” (GTEC), negara tersebut secara resmi melarang adanya penggunaan gelar Doktor dan Profesor kehormatan (Honoris causa) oleh pejabat publik, termasuk didalamnya para politisi, pebisnis, dan tokoh agama. Langkah ini tidak hanya bersifat simbolik, namun juga secara substansial melindungi integritas akademik dan etika pejabat publik.

Mengutip pernyataan resmi GTEC yang dilansir Premium Times Nigeria (edisi 3 Juni 2025), penggunaan gelar kehormatan oleh pejabat publik dinilai “tidak etis dan menyesatkan”, serta berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan. Komisi tersebut menegaskan akan mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang melanggar, dan akan menyebutkan nama pelanggar secara terbuka di media name and shame.

Mengapa Langkah Ini Penting?

Pertama, penggunaan gelar kehormatan secara tidak tepat adalah sebuah tindakan yang tidak etis. Gelar akademik seharusnya mencerminkan kerja keras intelektual, penelitian, dan kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan. Ketika gelar diberikan hanya karena posisi, kekuatan finansial, atau popularitas, maka nilainya akan merosot dan mencederai para akademisi.
Kedua, penyalahgunaan gelar honoris causa dapat menyesatkan publik. Tidak semua kalangan memahami perbedaan antara gelar akademik secara resmi dan gelar kehormatan. Seorang pejabat publik yang mencantumkan gelar “Dr.” atau “Prof.” di depan namanya dengan bebas di media dan dalam setiap dokumen negara dapat menciptakan ilusi kompetensi akademik yang sebenarnya tidak dimilikinya.

Ketiga, praktik ini membuka ruang terjadinya praktek jual-beli ijazah/ gelar. Dalam banyak kasus, gelar kehormatan diberikan oleh institusi tidak jelas atau bahkan universitas abal-abal (degree mills) dengan imbalan sejumlah uang. GTEC dalam pernyataannya menyebut fenomena ini sebagai ancaman nyata terhadap sistem pendidikan.

Terakhir, gelar kehormatan sering dipakai untuk politik praktis. Mereka yang tengah mencalonkan diri sebagai pejabat atau ingin memperluas pengaruh sosial kerap menyematkan gelar semu demi meningkatkan legitimasi. Ini adalah bentuk manipulasi simbolik yang sangat merugikan.

Layakkah Konoha Mencontoh?

Pertanyaan yang harus kita renungkan adalah: apakah kita juga berani membersihkan praktik serupa di negeri ini? Kita tak jarang melihat politisi memakai gelar kehormatan di baliho, surat resmi, dan panggung kampanye. Sering kali gelar itu berasal dari institusi yang tidak jelas atau bahkan universitas tanpa akreditasi.

Sudah waktunya lembaga-lembaga seperti Kementerian Pendidikan, BAN-PT, dan asosiasi para akademisi mengambil sikap. Jika Ghana –salah satu negara berkembang di Afrika- saja berani mengambil langkah tegas, mengapa Konoha belum?
Pelarangan pemberian gelar Honoris causa semacam ini bukan berarti menghapus penghargaan. Tapi gelar kehormatan seharusnya diberikan secara tertutup dan simbolis, bukan ditampilkan di kartu nama atau surat dinas. Ini demi menjaga makna pendidikan dan menghindari penyalahgunaan simbol akademik untuk kepentingan pribadi.

Ghana telah memberi pelajaran penting bahwa gelar Dr dan Prof bukanlah gelar yang menempel pada papan nama, melainkan simbol pencapaian dan integritas di bidang Ilmu Pengetahuan. Penyalahgunaan gelar oleh oknum pejabat publik adalah bentuk manipulasi akademik. Mari kita dorong agar negri ini mengikuti jejak langkah yang sama, demi publik yang lebih cerdas, dan pejabat yang lebih berintigritas.

Referensi:
  • Premium Times Nigeria. (3 Juni 2025). Ghana bans honorary doctorate, professor titles by public officials.
  • Legit.ng. (4 Juni 2025). Public officials banned from using honorary titles in Ghana.
  • GTEC Official Statement via GhanaWeb (31 Mei 2025).
Artikel Selengkapnya...

Antara Usaha Warteg dan Tukang Parkir, Mana Yang Lebih Menguntungkan?

Di negeri +62 ini, keajaiban bukan cuma ada di sinetron atau iklan sirup marjan. Di depan warteg, hal-hal tak lazim kerap terjadi tiap hari. Bayangkan: pemilik warteg yang mesti bangun jam 4 pagi (subuh), muka masih kucel & masih nempel bantal, harus langsung meluncur ke pasar demi dapet cabe rawit segar yang harganya kayak harga saham gorengan & koin crypto micin -naik turun ndak karuan-.

Sesampainya di rumah, si ibu warteg belum sempat leyeh-leyeh ngopi, langsung harus goreng tempe, tumis kangkung, nyiapin ayam kecap, dan ngepel lantai sambil mikirin harga gas elpiji yang mulai langka. Semua itu demi dapetin cuan yang hanya Rp 500 perak dari sepotong gorengan yang dia jual. Itu pun belum termasuk risiko gorengan gak laku, atau pelanggan cuma pesen nasi doing tanpa lauk.

Tapi, di pojokan warteg, duduklah dia: Sang Tukang Parkir. Tanpa harus menggoreng, tanpa harus menumis, tanpa harus kecipratan minyak goring panas. Cuma bermodal rompi neon, kursi plastik, dan gesture tangan penuh wibawa: “Minggir dikit, Bang… dikit lagi… nah pas!” Lalu “prak!” tangan kanan minta Rp 2.000

Bro… dari mana rumus ekonomi ini berasal?

Si ibu warteg ngitung tiap sendok sayur biar pas margin-nya. Sementara si tukang parkir, dalam hitungan menit, bisa dapet cuan 4x lipat dari gorengan Ibu warteg. Kalau diseriusin, ini udah kayak perbandingan antara nelayan yang mancing seharian dapet dua ikan, sama orang yang tinggal ambil ikan di pelelangan ikan pinggir pantai.

Dan yang lebih ngenes lagi, semua ketidakadilan ini diterima begitu saja oleh masyarakat dengan penuh legowo. Gak ada yang demo, gak ada yang nuntut audit rompi tukang parkir. Malah kadang pelanggan lebih takut sama tukang parkir daripada sama satpam BCA, karena saking galaknya.

Sehingga kemudian timbul pertanyaan di benak saya, kira-kira “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” itu, letaknya di mana ya? Apakah di belakang warteg? Di balik etalase gorengan? Atau masih ngantri di kantor kelurahan?

Tapi ya sudahlah, beginilah hidup di negeri penuh kreatifitas. Kadang kita kerja keras, kadang kita kerja cerdas, kadang kita cuma butuh... parkir.

Yang penting, jangan lupa bayar gorengan. Dan jangan lupa bayar tukang parkir seikhlasnya walaupun sulit banget untuk ikhlas. Tapi plis, minimal senyumin juga si Ibu warteg. Soalnya dia yang bikin kamu tetap bisa makan murah, kenyang, dan penuh rasa... meski belum tentu ada “Keadilan”.

Artikel Selengkapnya...

Politik dan Panggung Kehidupan: Ketika Politisi Berperan Sebagai Aktor

Ada satu hal yang sering kali luput dari kesadaran publik, bahkan dalam masyarakat yang mengaku melek politik sekalipun, bahwa sebagian besar politisi pada hakikatnya adalah seorang Aktor”. Mereka tampil di hadapan publik tidak hanya sebagai politisi, tetapi juga sebagai figur yang membangun narasi, memainkan emosi, dan mempersonifikasi harapan rakyat. Politik bukan hanya tentang kebijakan dan ideologi; ia juga tentang pertunjukan. Ada aktor yang begitu meyakinkan, begitu otentik, sehingga seolah-olah pantas mendapatkan penghargaan setingkat Oscar. Ada pula aktor yang terlihat setengah hati dalam memainkan perannya, sehingga nampak canggung, dan mudah terbaca topengnya, aktor yang kedua memainkan peran secara medioker.

Sejak era digital mengubah wajah politik pada pertengahan abad ke-20, Pencitraantelah menjadi unsur penting dalam dunia politik. Seperti dalam debat calon presiden AS -Richard Nixon vs. John F. Kennedy -tahun 1960. Warga Amerika yang menonton debat lewat televisi merasa bahwa JF. Kennedy "telah menang" karena penampilannya yang terlihat meyakinkan dan penuh percaya diri, sedangkan Nixon tampak lesu, grogi dan berkeringat. Padahal isi argumen mereka nyaris sama. Peristiwa ini menjadi awal dari era politik modern di mana estetika dan retorika sering mengalahkan substansi.

Politisi -sadar atau tidak- mulai menyesuaikan diri dengan dunia yang menuntut mereka menjadi "persona publik" yang menarik. Mereka mulai menyewa konsultan media, belajar cara public speaking, serta teknik untuk membaca bahasa tubuh dari lawan bicaranya. Mereka belajar bagaimana menangis di waktu yang tepat, tersenyum di tengah cobaan, dan menyentuh bahu rakyat kecil saat kamera sedang merekam.

Ini bukan teori konspirasi, melainkan realitas dalam politik kontemporer. Seperti yang disampaikan oleh sejarawan politik Christopher Lasch dalam The Culture of Narcissism (1979), politisi modern bukan lagi pemimpin substantif, melainkan tokoh publik yang piawai membangun citra. Mereka tidak memimpin dari keyakinan, melainkan dari persepsi. Lasch bahkan menyebut mereka sebagai "performers in the age of narcissism."

Kita bisa melihat jejak narasi ini dalam berbagai peristiwa sejarah dunia. Contohnya, Benito Mussolini di Italia, seorang mantan jurnalis dan orator ulung, yang membangun citra "Manusia Super" melalui teatrikalitas yang dramatis. Atau Joseph Stalin, yang awalnya tampak sebagai pemersatu bangsa, namun lambat laun membuka topengnya sebagai diktator brutal. Bahkan tokoh seperti Aung San Suu Kyi yang dulu dipuja sebagai simbol demokrasi, belakangan mendapat kritik keras karena sikap diamnya terhadap krisis Rohingya. Semua ini menunjukkan bahwa figur bisa berubah. Topeng bisa terbuka. Sejarah penuh dengan contoh semacam ini.

Oleh karena itu, adalah wajar dan sehat jika kita menyisakan ruang untuk skeptis terhadap para politisi. Skeptisisme bukanlah sinisme. Ia bukan berarti membenci semua tokoh atau mencurigai setiap langkah mereka. Skeptisisme adalah bentuk kedewasaan berpolitik—kesadaran bahwa loyalitas seharusnya ditujukan pada nilai (value), bukan pada figur (personality). Karena nilai adalah kompas moral yang relatif stabil, sedangkan figur bisa berubah oleh waktu, godaan kekuasaan, atau kelemahan lain yang sersifat manusiawi.

Terkait dengan hal ini, George Orwell dalam novelnya Animal Farm (1945) pernah mengatakan: “All animals are equal, but some animals are more equal than others.” Politik, ketika dijalankan tanpa kontrol publik dan kesadaran nilai, mudah berubah menjadi panggung manipulasi. Figur yang semula dielu-elukan bisa menjadi simbol tirani. Yang terlihat jujur hari ini, bisa terbukti korup di esok hari.

Memahami politisi sebagai aktor bukan berarti menafikan peran penting mereka dalam demokrasi. Namun, pemahaman ini membantu kita menjaga jarak kritis dan menahan diri dari pengkultusan individu. Kita perlu menyadari bahwa politik adalah ranah penuh kepentingan, pencitraan, dan permainan persepsi. Dalam lanskap seperti ini, hanya nilai “value” yang layak kita pertahankan secara loyal.

Tetaplah mencintai keadilan, memperjuangkan kebenaran, dan bersuara untuk keadaban. Tapi jangan pernah menggantungkan harapan secara total pada figur mana pun. Karena sebagaimana sejarah telah berkali-kali mengajarkan kita: wajah-wajah politik bisa berubah, tapi nilai adalah satu-satunya jangkar yang akan tetap menuntun kita.

Wallahu a’lam.
Artikel Selengkapnya...
 
Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia