Dalam lintasan sejarah Arab pra-Islam, khususnya
bangsa Quraisy, tercatat sejumlah praktik budaya yang bertentangan secara
fundamental dengan nilai-nilai moral, akal sehat, dan ajaran agama yang dibawa
oleh Nabi Muhammad ﷺ. Penyembahan terhadap berhala seperti Latta, Uzza, dan
Manat, praktik meminum khamr secara masif, penguburan bayi perempuan
hidup-hidup, pengundian nasib dengan anak panah, serta fanatisme suku yang
membabi buta adalah potret kelam dari peradaban yang disebut sebagai budaya jahiliyah.
Budaya-budaya tersebut bukan hanya tidak mencerminkan kearifan, tetapi
sejatinya merupakan bentuk ketidakarifan local, yakni praktik budaya yang
membawa kerusakan, kebodohan, dan ketertinggalan baik secara spiritual maupun
sosial.
Dalam konteks kekinian, penting untuk membedakan secara tegas antara budaya
lokal yang membawa kemaslahatan dengan budaya lokal yang justru menjerumuskan
pada peyimpangan norma atau pelanggaran nilai-nilai agama. Gotong royong,
musyawarah mufakat, serta pemakaian pakaian adat yang menutup aurat seperti
sarung adalah contoh budaya lokal yang layak dihormati dan dilestarikan karena
sejalan dengan prinsip-prinsip ma’ruf dalam Islam yakni segala sesuatu
yang dikenal baik secara syariat maupun akal sehat.
Dalam disiplin ushul fiqh, terdapat kaidah penting yang menjadi pijakan
dalam menyikapi berbagai bentuk ibadah dan muamalah, termasuk budaya lokal:
"Al-Ashlu fil ‘ibadah al-tahrim illa ma dalla dalil ‘ala mashru’iyyatihi, wal-ashlu fil mu’amalat al-ibahah illa ma dalla dalil ‘ala tahrimiha."
Artinya: “Hukum asal dalam ibadah adalah haram sampai ada dalil yang
memerintahkannya, dan hukum asal dalam muamalah adalah halal sampai ada dalil
yang mengharamkannya.”
Kaidah ini menjelaskan bahwa segala bentuk ibadah harus berdasarkan perintah
yang jelas dari syariat agama; tidak bisa begitu saja dibuat dan diamalkan atas
dasar tradisi atau kebiasaan. Sementara dalam urusan sosial dan budaya
(muamalah), Islam memberikan keleluasaan selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip Agama. Oleh karena itu, budaya lokal seperti penyembahan
berhala atau perjudian atas nama tradisi, adalah hal yang tidak dibenarkan
walaupun mungkin dilabeli sebagai bentuk "kearifan lokal". Label
tersebut menimbulkan “missleading” ketika
digunakan untuk membenarkan praktik yang telah nyata-nyata bertentangan dengan
nilai-nilai ke Islaman, tauhid, keadilan, dan kemanusiaan.
Maka, umat Islam perlu bersikap selektif dalam menyikapi budaya lokal. Tidak
semua warisan nenek moyang layak untuk dijaga; yang harus dijaga adalah
nilai-nilai yang membawa kemaslahatan, keadilan, dan tidak bertentangan dengan
wahyu. Islam tidak memusuhi budaya, tetapi menempatkan budaya dalam kerangka
syariat. Yakni budaya yang mendukung nilai-nilai agama adalah ma’ruf,
sementara yang bertentangan dengannya adalah sesuatu yang munkar.
Dengan demikian, memahami budaya lokal melalui
perspektif ushul fiqh membantu kita memilah mana yang layak dijaga sebagai
bagian dari kearifan, dan mana yang harus ditinggalkan sebagai bagian dari
ketidakarifan