Ketidakarifan Lokal: Menyikapi Budaya Jahiliyah dengan Kaidah Ushul Fiqh

Posted on
  • Thursday, June 19, 2025
  • by
  • in
  • Label: ,
  •  

    Dalam lintasan sejarah Arab pra-Islam, khususnya bangsa Quraisy, tercatat sejumlah praktik budaya yang bertentangan secara fundamental dengan nilai-nilai moral, akal sehat, dan ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Penyembahan terhadap berhala seperti Latta, Uzza, dan Manat, praktik meminum khamr secara masif, penguburan bayi perempuan hidup-hidup, pengundian nasib dengan anak panah, serta fanatisme suku yang membabi buta adalah potret kelam dari peradaban yang disebut sebagai budaya jahiliyah. Budaya-budaya tersebut bukan hanya tidak mencerminkan kearifan, tetapi sejatinya merupakan bentuk ketidakarifan local, yakni praktik budaya yang membawa kerusakan, kebodohan, dan ketertinggalan baik secara spiritual maupun sosial.

    Dalam konteks kekinian, penting untuk membedakan secara tegas antara budaya lokal yang membawa kemaslahatan dengan budaya lokal yang justru menjerumuskan pada peyimpangan norma atau pelanggaran nilai-nilai agama. Gotong royong, musyawarah mufakat, serta pemakaian pakaian adat yang menutup aurat seperti sarung adalah contoh budaya lokal yang layak dihormati dan dilestarikan karena sejalan dengan prinsip-prinsip ma’ruf dalam Islam yakni segala sesuatu yang dikenal baik secara syariat maupun akal sehat.

    Dalam disiplin ushul fiqh, terdapat kaidah penting yang menjadi pijakan dalam menyikapi berbagai bentuk ibadah dan muamalah, termasuk budaya lokal:

    "Al-Ashlu fil ‘ibadah al-tahrim illa ma dalla dalil ‘ala mashru’iyyatihi, wal-ashlu fil mu’amalat al-ibahah illa ma dalla dalil ‘ala tahrimiha."

    Artinya: “Hukum asal dalam ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkannya, dan hukum asal dalam muamalah adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya.”

    Kaidah ini menjelaskan bahwa segala bentuk ibadah harus berdasarkan perintah yang jelas dari syariat agama; tidak bisa begitu saja dibuat dan diamalkan atas dasar tradisi atau kebiasaan. Sementara dalam urusan sosial dan budaya (muamalah), Islam memberikan keleluasaan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Agama. Oleh karena itu, budaya lokal seperti penyembahan berhala atau perjudian atas nama tradisi, adalah hal yang tidak dibenarkan walaupun mungkin dilabeli sebagai bentuk "kearifan lokal". Label tersebut menimbulkan “missleading” ketika digunakan untuk membenarkan praktik yang telah nyata-nyata bertentangan dengan nilai-nilai ke Islaman, tauhid, keadilan, dan kemanusiaan.

    Maka, umat Islam perlu bersikap selektif dalam menyikapi budaya lokal. Tidak semua warisan nenek moyang layak untuk dijaga; yang harus dijaga adalah nilai-nilai yang membawa kemaslahatan, keadilan, dan tidak bertentangan dengan wahyu. Islam tidak memusuhi budaya, tetapi menempatkan budaya dalam kerangka syariat. Yakni budaya yang mendukung nilai-nilai agama adalah ma’ruf, sementara yang bertentangan dengannya adalah sesuatu yang munkar.

    Dengan demikian, memahami budaya lokal melalui perspektif ushul fiqh membantu kita memilah mana yang layak dijaga sebagai bagian dari kearifan, dan mana yang harus ditinggalkan sebagai bagian dari ketidakarifan
     
    Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia