Kasta Jam Tangan: Simbol Status di Balik Detik yang Berdetak

Jam tangan bukan lagi sekadar alat penunjuk waktu. Dalam dunia modern, ia telah berevolusi menjadi simbol status, gaya hidup, dan bahkan investasi. Beragam merek jam tangan mengisi pasar, masing-masing menawarkan nilai dan prestige yang berbeda. Dalam tulisan ini, kita akan mengulas jam tangan berdasarkan “Kasta” yang populer dan kerap dibicarakan di kalangan penggemar horologi atau watch enthusiast yakni Kasta Sultan, Crazy Rich, Middle Class, dan Entry level.

Kasta Sultan: Keagungan yang Berdetak
Di puncak piramida, terdapat Richard Mille, Audemars Piguet, Patek Philippe, dan Vacheron Constantin. Jam-jam tangan dari kasta ini tidak hanya mahal, harga satu unitnya bisa menyamai rumah mewah, namun juga sangat eksklusif.
  • Richard Mille dikenal dengan desain futuristik dan teknologi mutakhir yang ringan namun tahan banting. Jam ini lebih dari sekadar perhiasan; ia adalah karya seni teknologi horologi.
  • Audemars Piguet, khususnya seri Royal Oak, menjadi ikon horologi mewah dengan desain khas dan finishing yang luar biasa.
  • Patek Philippe, dengan semboyan “You never actually own a Patek Philippe. You merely look after it for the next generation,” menekankan nilai warisan dan ketepatan jam tangan made in Swiss.
  • Vacheron Constantin, salah satu Merek jam tangan tertua dan paling bergengsi di dunia, didirikan pada tahun 1755 di Jenewa, Swiss. Merek ini dikenal karena desainnya yg elegan, dan komplikasi horologis tingkat tinggi.
Jam tangan kasta ini dipakai oleh para miliarder, sultan, dan selebritas papan atas. Ia tidak hanya menandai waktu, tapi juga menandai siapa penggunanya.
Kasta Crazy Rich: Mewah, Tapi Masih Terjangkau oleh Para Elit
Kasta ini diisi oleh merek-merek seperti Rolex, Hublot, Omega, Cartier, Panerai, Grand Seiko, dan Tudor.
  • Rolex adalah simbol klasik kemewahan yang dikenal luas. Model seperti Submariner dan Daytona menjadi barang incaran kolektor dan spekulan.
  • Hublot dengan desain eksperimental dan kolaborasi uniknya (misalnya design Ferrari), sangat menarik bagi para pecinta fashion dan olahraga.
  • Omega, terkenal lewat Speedmaster (jam pertama yang mendarat ke bulan), menggabungkan nilai historis dengan teknologi automatic movement yang canggih.
  • Cartier lebih dikenal sebagai rumah perhiasan, namun jam tangan mereka seperti Santos dan Tank tetap ikonik.
  • Panerai jam tangan mewah asal Italia berukuran besar, desain minimalis, dan visibilitas tinggi dan tahan air. Ciri khas Panerai meliputi casing besar berbentuk bantal (cushion-shaped case), serta crown guard yang unik. Seri Luminor dan Radiomir banyak digemari kolektor dan pecinta gaya maskulin.
  • Grand Seiko dan Tudor membawa kualitas tinggi dengan harga yang relatif lebih bersahabat dibanding Rolex, namun tetap berada di level eksklusif.
Kasta ini adalah milik para eksekutif sukses, entrepreneur muda, dan selebritas kelas menengah atas yang ingin menunjukkan gaya dengan elegan tanpa berlebihan.
Kasta Middle Class: Nilai Tinggi Tanpa Menguras Dompet
Seiko, Hamilton, Longines, Tissot, TAG Heuer dan Oris adalah nama-nama yang sering muncul di kalangan penghobi jam tangan yang serius, namun masih realistis secara finansial.
  • Seiko (terutama lini Presage dan Prospex) dikenal karena value for money dan inovasinya.
  • Hamilton, merk asal Amerika dengan in house movement dari Swiss, menawarkan desain klasik dan keandalan yang solid.
  • Longines dan Tissot berada di bawah grup Swatch, menyasar pasar menengah dengan kombinasi desain elegan dan kualitas jam tangan made in Swiss.
  • Oris, meski independen, memproduksi jam mekanikal dengan spesifikasi tinggi, cocok untuk pecinta diving dan gaya klasik.
  • TAG Heuer dikenal dengan desain sporty, teknologi mutakhir, dan ketepatan waktu yang luar biasa. Model-model ikoniknya seperti Carrera, Monaco, dan Aquaracer mencerminkan semangat kecepatan, ketangguhan, dan gaya hidup yang aktif.
Jam dari kasta ini ideal untuk profesional muda atau penghobi jam tangan yang ingin merasakan kualitas tanpa harus berhutang.
Kasta Entry Level: Fungsionalitas dengan Harga Bersahabat
Di dasar piramida, bukan berarti kualitasnya buruk. Merek seperti Seiko 5, G-Shock, Casio, Orient, dan Timex tetap memiliki tempat istimewa.
  • Seiko 5 dikenal karena harga terjangkau, daya tahan tinggi, dan desain yang simpel namun fungsional. Cocok untuk pemula dalam dunia jam otomatis
  • G-Shock adalah rajanya ketahanan; cocok untuk militer, atlet, dan pekerja lapangan.
  • Citizen jam tangan asal Jepang dikenal karena inovasi teknologi, presisi tinggi, dan nilai fungsional yang kuat. Salah satu seri iconic terkenalnya adalah seri teknologi Eco-Drive
  • Casio secara umum menawarkan jam digital yang ekonomis yang tahan lama dan multifungsi (sering dipakai pelajar dan mahasiswa).
  • Orient, anak perusahaan Seiko, menghadirkan jam otomatis murah namun tangguh.
  • Timex merk asal Amerika yang menawarkan desain kasual dengan harga sangat terjangkau, namun tetap estetik.
Merek-merek ini digunakan oleh masyarakat umum yang mengutamakan fungsi, daya tahan, dan harga bersahabat.
Pilihan Kasta, Pilihan Gaya Hidup
Kasta jam tangan pada akhirnya bukan hanya soal harga, tetapi soal filosofi, kebutuhan, dan selera. Setiap merek membawa cerita, teknologi, dan keunikan tersendiri. Memiliki jam tangan dari kasta tertentu bukan hanya menandakan posisi sosial, tetapi juga bisa mencerminkan kepribadian dan preferensi si pemakai. Entah Anda berada di kasta sultan atau rakyat jelata, yang terpenting adalah bagaimana Anda memaknai setiap detik dalam hidup Anda, karena waktu adalah aset paling berharga.
Artikel Selengkapnya...

Menelusuri Perkembangan Bidang “Kultur Jaringan Tanaman” Sebuah Tinjauan Bibliometrik Secara Global

Kultur jaringan tanaman (KJT) merupakan teknik budidaya tanaman secara in vitro yang memanfaatkan kemampuan totipotensi sel tanaman untuk tumbuh dan berdiferensiasi dalam kondisi laboratorium yang aseptik atau suci hama. Teknologi ini memainkan peran vital dalam hal konservasi tumbuhan langka, produksi metabolit sekunder, dan perbanyakan massal tanaman atau “mass propagation” yang bernilai ekonomi tinggi dan perbanyakan tanaman yang berpotensi sebagai biofarmaka. Dengan terus meningkatnya “erosi genetik” terhadap sumber daya hayati akibat eksploitasi lahan yang berlebihan, degradasi habitat, dan perubahan iklim, KJT dapat menjadi alternatif untuk perbanyakan tanaman yang sustainable dan sangat berpotensi dalam menunjang kemajuan bioteknologi tanaman saat ini.
Studi review yang dilakukan oleh Shivani Negi dan koleganya ini menggunakan analisis bibliometrik berbasis data Scopus untuk menganalisis perkembangan literatur KJT secara global (internasional) mulai dari tahun 1933 hingga 2023. Data dianalisis menggunakan software VOSviewer dengan pendekatan pemetaan ilmiah dan analisis kinerja. Fokus utama adalah mengevaluasi jumlah publikasi, negara dan penulis paling produktif, tren kata kunci, serta kolaborasi internasional dalam bidang KJT.

Hasil dan Temuan Utama

Pertumbuhan Eksponensial Publikasi
Jumlah publikasi dalam bidang KJT menunjukkan peningkatan yang signifikan, khususnya sejak tahun 1975. Tahun 2022 menjadi puncak produktivitas dengan 165 publikasi, mengindikasikan meningkatnya ketertarikan terhadap teknologi ini seiring dengan kebutuhan konservasi dan peningkatan perkembangan bioteknologi tanaman.

Kontribusi Negara dan Kolaborasi Internasional
India menjadi negara dengan kontribusi terbanyak (462 publikasi), diikuti oleh Amerika Serikat (367), Tiongkok, Brasil, dan Jepang. Namun, AS mencatat rata-rata sitasi tertinggi per artikel (80,55), mencerminkan kualitas dan dampak yang tinggi dari penelitian mereka. Kolaborasi internasional paling banyak terjadi antara AS dan 38 negara lain, termasuk India dan Tiongkok. Semoga saja Peneliti Indonesia bisa segera menyusul dari ketertinggalan ini

Jurnal dan Artikel Paling Berpengaruh
Plant Cell, Tissue and Organ Culture menjadi jurnal dengan publikasi terbanyak, sedangkan artikel "Floral Dip" oleh Clough dan Bent (1998) menjadi yang paling banyak disitasi (22.049 sitasi). Tokoh sentral seperti Murashige dan Skoog juga menempati posisi teratas dalam analisa co-citation.

Tren Kata Kunci dan Fokus Penelitian
Enam klaster tematik diidentifikasi berdasarkan kata kunci yang sering muncul, seperti “plant tissue culture”, “micropropagation”, “somatic embryogenesis”, hingga integrasi teknologi seperti kecerdasan buatan atau AI dan juga penggunaan bioreaktor. Fokus utama meliputi:
  • Produksi metabolit sekunder (klaster 1)
  • Regenerasi dan konservasi spesies tanaman langka (klaster 2)
  • Embriogenesis somatik dan organogenesis (klaster 3)
  • Mikropropagasi dan variasi somaklonal (klaster 4)
  • Senyawa bioaktif dan aktivitas antioksidan (klaster 5)
  • Regulasi hormon tanaman dan aplikasi AI (klaster 6)
Hasil Studi literatur ini menunjukkan bahwa bahwa KJT telah berevolusi menjadi tools dalam perkembangan bioteknologi tanaman modern yang sangat esensial di bidang pertanian, hortikultura, dan konservasi tanaman. Peningkatan publikasi rata-rata sebesar 5,44% per tahun menunjukkan dinamika riset yang aktif dan relevan. Peran penting KJT juga terlihat dalam dunia riset dalam skup peningkatan kualitas genetik tanaman, produksi tanaman bebas penyakit, dan pengembangan varietas unggul.

Ditemukannya penulis dan jurnal yang paling berpengaruh memberikan acuan penting bagi peneliti baru dalam memilih referensi dan mitra kolaborasi. Selain itu, potensi pemanfaatan AI menandai fase baru dalam efisiensi dan otomatisasi proses kultur jaringan tanaman.

Dalam rentang hampir satu abad atau 90 tahun, riset KJT telah berkembang pesat secara kuantitatif dan kualitatif, dan mengakar kuat dalam ekosistem sains secara global. Hasil penelitian ini bukan hanya memberikan wawasan historis, tetapi juga peta jalan bagi penelitian masa depan dalam bidang Kultur Jaringan Tanaman. Dengan terus meningkatnya tantangan di bidang pertanian dan lingkungan, kultur jaringan tanaman diperkirakan akan memainkan peran yang semakin sentral dalam inovasi bioteknologi yang berkelanjutan.

Referensi Review Jurnal:



Artikel Selengkapnya...

Kondisi Meja Kerja, Cermin Pikiran atau Sekadar Stereotip Semata?

 


"Ada yang bilang kalau kerapihan meja kerja adalah refleksi dari kejernihan cara berpikir seseorang... "

Ungkapan ini kerap kita dengar, apalagi dalam konteks produktivitas dan manajemen waktu. Meja yang rapi sering diasosiasikan dengan pikiran yang sistematis, logis, dan efisien. Tapi benarkah demikian? Ataukah ini hanya stereotip semata?

"Ah…..Ndak juga. Meja kerja sangat rapi bisa jadi karena memang ndak pernah dipakai kerja,…..wkwkwkwk."

Sebuah sindiran yang mungkin asumsinya benar. Tak semua meja rapi adalah representasi dari kerja keras. Dalam beberapa kasus, meja justru bersih karena kosong aktivitas.

Silahkan lihat gambar di atas. Itu adalah potret meja kerja Albert Einstein, yang terlihat berantakan, penuh kertas, buku, dan catatan yang tampak acak-acakan. Tapi siapa yang bisa meragukan kedalaman berpikir dan kontribusi ilmiahnya terhadap dunia science? Bahkan ia sendiri pernah berkata:

"If a cluttered desk is a sign of a cluttered mind, of what, then, is an empty desk a sign of?"

Meja Semrawut, Pikiran Rumit? Belum Tentu.

Penelitian psikologi modern menunjukkan perspektif yang cukup menarik. Sebuah studi dari University of Minnesota oleh Kathleen Vohs (2013) menemukan bahwa lingkungan kerja yang berantakan justru dapat mendorong kreativitas. Partisipan yang bekerja di ruangan tak rapi justru menghasilkan ide-ide yang lebih inovatif dibanding mereka yang berada di lingkungan yang tertata rapi.

Lingkungan yang tidak terorganisir, menurut Vohs, mendorong otak untuk berpikir out of the box, tidak terbatas oleh kerangka berpikir yang kaku. Ini sejalan dengan karakter banyak ilmuwan besar dan seniman yang meja kerjanya jauh dari kata rapi seperti Einstein, Mark Twain, hingga Steve Jobs.

Sebaliknya, Meja Rapi = Fokus dan Disiplin

Namun, bukan berarti meja rapi tidak ada manfaatnya. Studi yang sama juga menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang bersih dan terorganisir cenderung membuat orang mampu membuat keputusan yang lebih hati-hati. Hal ini mengindikasikan bahwa keteraturan membantu dalam pengambilan keputusan yang sistematis dan rasional.

Jadi, Mana yang Lebih Baik?

Hmmm,….tentu tergantung perpektif masing-masing sesuai pada jenis pekerjaan dan gaya berpikir masing-masing individu. Untuk pekerjaan yang menuntut ketelitian dan terstruktur, seperti akuntan atau project manajemen, meja rapi mungkin lebih terlihat elegan di mata klien. Namun untuk pekerjaan yang bersifat kreatif, konseptual, dan ilmiah, seperti penulis, peneliti, atau seniman, meja berantakan kadang justru bisa menjadi “sumber inspirasi” untuk membantu menemukan ide baru.

Pada akhirnya, meja kerja adalah perpanjangan dari cara seseorang berpikir dan bekerja. Tidak ada satu standar yang benar untuk semua. Entah rapi atau berantakan, yang penting adalah meja itu berfungsi sebagai alat bantu, bukan sekadar pajangan untuk memenuhi ekspektasi seseorang.
Artikel Selengkapnya...

Mengapa Orang Kaya Lebih Mudah Diterima di Masyarakat?

Dalam dinamika sosial masyarakat modern, sering kali kita melihat fenomena bahwa orang kaya lebih mudah diterima, disukai, dan dihormati dalam lingkungan sosial dibandingkan dengan orang miskin. Realita ini bukan hanya soal persepsi, tetapi juga berkaitan dengan kemampuan ekonomi yang memengaruhi cara seseorang membangun dan menjaga relasi sosial.

Orang kaya memiliki kelebihan dalam akses dan sumber daya yang membuat mereka lebih mudah diterima di berbagai kalangan. Mereka mampu mentraktir teman, memberi hadiah, mengundang untuk makan malam di restoran, atau bahkan membiayai acara kebersamaan yang mempererat hubungan sosial. Tindakan-tindakan ini tidak hanya dinilai sebagai kebaikan, tetapi juga membentuk citra sebagai pribadi yang dermawan dan menyenangkan. Sebaliknya, orang miskin sering kali tak memiliki kemampuan serupa. Bukan berarti mereka tidak ingin berbagi atau menjalin relasi, namun keterbatasan finansial kerap membuat mereka tampak pasif atau bahkan terkesan “menumpang” dalam pergaulan.

Dalam urusan menjaga silaturahmi, orang kaya pun memiliki keunggulan. Mereka bisa dengan mudah membeli tiket pesawat dan hadir di acara pernikahan, reuni, atau syukuran kolega yang tinggal nun jauh disana. Mereka dapat membawa oleh-oleh, hadiah, bahkan ikut memberikan sumbangan dalam acara tersebut. Keberadaan mereka dianggap sebagai bentuk perhatian yang tinggi. Bandingkan dengan orang miskin yang harus berpikir dua kali, bahkan untuk sekadar membeli tiket untuk biaya transportasi. Kadang bukan tidak mau datang, namun karena tidak mampu.

Relasi sosial juga sering dilihat dari kemampuan untuk memberi dukungan dalam beberapa momen penting para kolega. Ketika teman atau kolega diwisuda, membuka usaha, atau naik jabatan, orang kaya bisa mengirimkan bucket bunga, bingkisan, atau bahkan karangan bunga. Ini menjadi bentuk simbolis dari penghargaan dan dukungan. Orang miskin mungkin hanya bisa memberi ucapan lewat pesan singkat via WA atau komen di media sosial, mungkin niatnya tulus, namun sering kali tak dianggap setara dalam ekspresi sosial di masyarakat.

Kemampuan mobilitas juga menjadi faktor penting. Orang kaya bisa menjemput teman dari bandara atau stasiun menggunakan mobil pribadi yang nyaman. Mereka bisa menjadi tuan rumah yang baik dalam berbagai kesempatan. Sementara orang miskin? Kalaupun menjemput, mungkin hanya bisa naik motor, atau bahkan sepeda yang walau bermakna, tetap saja dianggap “kurang pantas” dalam norma sosial masyarakat hedonis.

Inilah mengapa masyarakat kita cenderung lebih "menerima" keberadaan orang kaya. Bukan semata karena kekayaan itu sendiri, tapi karena kekayaan memberi alat dan peluang untuk memperkuat relasi sosial secara nyata. Dalam masyarakat yang sering kali menilai bentuk perhatian dari besaran nilai materi, orang kaya memang punya “amunisi” lebih.

Lalu, apakah artinya orang miskin tidak punya solusi? Tentu ada. Salah satunya adalah memperkuat kualitas diri dan kehadiran yang tulus. Kejujuran, empati, kerja keras, dan integritas masih memiliki nilai tinggi dalam relasi sosial yang sehat. Selain itu, membangun jejaring dan meningkatkan pendidikan serta keterampilan bisa menjadi jembatan untuk memperluas peluang, termasuk didalamnya peluang ekonomi dan relasi. Tidak harus kaya raya, tetapi cukup agar mampu menjalin hubungan sosial yang setara dan bermakna.

Pada akhirnya, masyarakat perlu belajar untuk menilai seseorang tidak hanya dari apa yang bisa ia berikan secara materi, tapi juga dari kualitas kepribadian dan ketulusan relasi. Namun, tak bisa dimungkiri: dalam realitas sosial yang ada hari ini, orang kaya memang lebih mudah diterima karena mereka punya lebih banyak cara untuk hadir, memberi, dan menunjukkan perhatian.
Artikel Selengkapnya...

Ketidakarifan Lokal: Menyikapi Budaya Jahiliyah dengan Kaidah Ushul Fiqh

 

Dalam lintasan sejarah Arab pra-Islam, khususnya bangsa Quraisy, tercatat sejumlah praktik budaya yang bertentangan secara fundamental dengan nilai-nilai moral, akal sehat, dan ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. 

Penyembahan terhadap berhala seperti Latta, Uzza, dan Manat, praktik meminum khamr secara masif, penguburan bayi perempuan hidup-hidup, pengundian nasib dengan anak panah, serta fanatisme suku yang membabi buta adalah potret kelam dari peradaban yang disebut sebagai budaya jahiliyah. Budaya-budaya tersebut bukan hanya tidak mencerminkan kearifan, tetapi sejatinya merupakan bentuk ketidakarifan lokal, yakni praktik budaya yang membawa kerusakan, kebodohan, dan ketertinggalan baik secara spiritual maupun sosial.

Dalam konteks kekinian, penting untuk membedakan secara tegas antara budaya lokal yang membawa kemaslahatan dengan budaya lokal yang justru menjerumuskan pada peyimpangan norma atau pelanggaran nilai-nilai agama. Gotong royong, musyawarah mufakat, serta pemakaian pakaian adat yang menutup aurat seperti sarung adalah contoh budaya lokal yang layak dihormati dan dilestarikan karena sejalan dengan prinsip-prinsip ma’ruf dalam Islam yakni segala sesuatu yang dikenal baik secara syariat maupun akal sehat.

Dalam Ushul Fiqh, terdapat kaidah penting yang menjadi pijakan dalam menyikapi berbagai bentuk ibadah dan muamalah, termasuk budaya lokal:

"Al-Ashlu fil ‘ibadah al-tahrim illa ma dalla dalil ‘ala mashru’iyyatihi, wal-ashlu fil mu’amalat al-ibahah illa ma dalla dalil ‘ala tahrimiha."

Artinya: “Hukum asal dalam ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkannya, dan hukum asal dalam muamalah adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya.”

Kaidah ini menjelaskan bahwa segala bentuk ibadah harus berdasarkan perintah yang jelas dari syariat Agama. Tidak bisa begitu saja dibuat dan diamalkan atas dasar tradisi atau kebiasaan. Sementara dalam urusan sosial dan budaya (muamalah), Islam memberikan keleluasaan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Agama. Oleh karena itu, budaya lokal seperti penyembahan berhala atau perjudian atas nama tradisi, adalah hal yang tidak dibenarkan walaupun mungkin dilabeli sebagai bentuk "kearifan lokal". Label tersebut menimbulkan “missleading” ketika digunakan untuk membenarkan praktik yang telah nyata-nyata bertentangan dengan nilai-nilai ke Islaman, tauhid, keadilan, dan kemanusiaan.

Maka, umat Islam perlu bersikap selektif dalam menyikapi budaya lokal. Tidak semua warisan nenek moyang layak untuk dijaga; yang harus dijaga adalah nilai-nilai yang membawa kemaslahatan, keadilan, dan tidak bertentangan dengan wahyu. Islam tidak memusuhi budaya, tetapi menempatkan budaya dalam kerangka syariat. Yakni budaya yang mendukung nilai-nilai agama adalah ma’ruf, sementara yang bertentangan dengannya adalah sesuatu yang munkar.

Dengan demikian, memahami budaya lokal melalui perspektif ushul fiqh membantu kita memilah mana yang layak dijaga sebagai bagian dari kearifan, dan mana yang harus ditinggalkan sebagai bagian dari ketidakarifan
Artikel Selengkapnya...

Benarkah Buku lebih Berdampak Nyata Daripada Jurnal Ilmiah?

Memang benar bahwa beberapa ilmuwan besar khususnya di bidang Humaniora dan Ilmu Sosial (HSS) lebih dikenal luas melalui karya-karya bukunya yang berdampak bagi masyarakat luas daripada publikasi jurnalnya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa dinamika akademik saat ini telah berkembang, dan publikasi di jurnal bereputasi termasuk jurnal terindex Scopus & WOS Q1-Q4 juga memainkan peran penting dalam pengakuan karya ilmiah dan penyebaran ilmu pengetahuan.

1. Buku dan jurnal memiliki fungsi yang berbeda namun saling melengkapi. Buku seringkali digunakan untuk menyampaikan argumen yang kompleks dan menyeluruh, sementara jurnal memungkinkan penyebaran temuan terkini atau ide gagasan dalam bentuk yang lebih ringkas dan sistematis serta dapat diuji secara peer-review.
2. Kualitas jurnal mencerminkan standar ilmiah. Untuk bisa menerbitkan jurnal bereputasi (Terindex Scopus maupun WOS Q1-Q4) maka perlu menjalani proses review yang sangat ketat. Artikel yang diterbitkan di dalamnya seringkali menjadi rujukan utama dalam pengembangan teori dan metodologi ilmiah, khususnya dalam konteks global. Karya ini juga menjadi tolok ukur objektif untuk menilai kualitas sebuah karya ilmiah.

3. Publikasi jurnal ilmiah memperluas jangkauan pengaruh. Seringkali buku memiliki jangkauan yang terbatas pada kalangan tertentu atau bahasa tertentu, sedangkan jurnal internasional yang bereputasi dapat menjangkau komunitas akademik secara global dan berkontribusi pada diskusi ilmiah para ilmuwan secara internasional.

4. Perubahan ekosistem akademik. Di banyak negara, termasuk Indonesia, sistem penilaian akademik kini menekankan pentingnya publikasi jurnal bereputasi untuk mendorong adanya transparansi, akuntabilitas, dan standarisasi kualitas karya tulis ilmiah. Hal ini bukan berarti mengabaikan pentingnya buku, namun hal ini dapat menciptakan equilibrium baru antara dua bentuk publikasi dengan format berbeda.

5. Banyak ilmuwan besar juga aktif menulis di jurnal. Jika kita menelusuri rekam jejak beberapa ilmuwan terkemuka saat ini, mereka tidak hanya menulis beberapa buku monumental, namun juga aktif mempublikasikan artikel di jurnal akademik sebagai bagian dari proses aktualisasi karya intelektual mereka.
Narasi yang menyatakan bahwa "ilmuwan hebat hanya akan dikenal lewat buku" kurang tepat dalam konteks akademik modern. Buku sangat penting, tetapi jurnal ilmiah juga krusial. Keduanya adalah medium intelektual yang valid dan perlu dipahami dalam konteksnya masing-masing.
Artikel Selengkapnya...
 
Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia