Dialog Singkat dengan Muhammad Sa’id As-Tsaqif

Satu gambar sejuta makna: sebuah disket tua dan sebuah memori card mungil berdiri berdampingan. Keduanya tergambar layaknya seorang ayah dan anak yang sedang bergandengan tangan. Di bawahnya tertulis kalimat yang sangat mendalam: “Build a world where your children are stronger than you ever were.” Sebuah harapan universal yang dititipkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Gambar itu mengingatkan saya pada sebuah dialog singkat yang terjadi beberapa tahun silam. Sebuah kenangan manis bersama anak laki-laki saya, Muhammad Sa’id As-Tsaqif. Keberadaan namanya adalah untain doa untuknya. Muhammad berarti orang yang terpuji, Sa’id berarti bahagia dan ceria, sementara As-Tsaqif merujuk pada seseorang yang cerdas, pandai, dan terdidik. Doa yang saya sematkan dalam nama itu adalah sebuah harapan panjang, agar dia tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya baik akhlaknya, tapi juga cerdas dan membahagiakan bagi sekelilingnya.

Pada suatu pagi, saya sempat berdialog singkat denganya yang saat itu baru berusia 2,5 tahun, dalam keisengan seorang ayah:
“Nak,...entah suatu saat nanti engkau menjadi Ulama' kah, menjadi ilmuwan kah, atau menjadi pengusaha yang sukses kah? Abi berharap,...suatu saat nanti, kamu bisa lebih hebat dari abi saat ini
Tanggapannya? Sebuah tawa kecil & polos: “Heh...??? heh... ??? Abi... endong...”

Seketika imajinasi saya terhenti oleh kepolosannya. Ia hanya ingin digendong. Ia belum memahami dunia yang ingin saya wariskan padanya. Tapi justru dari jawaban itu, saya belajar bahwa cinta, perhatian, dan kehadiran adalah hal pertama yang dibutuhkan anak-anak sebelum mereka bisa menggapai bintang.

Waktu berjalan begitu cepat. Kini, Sa’id sudah tumbuh lebih besar. Ia belajar mandiri di Pondok Tsanawiyah ICBB. Ia telah hafal lima juz Al-Qur'an, sebuah pencapaian yang jujur saja, tak mampu saya capai di usia yang sama. Saya tertegun, merasa takjub, dan di saat yang sama juga merasa malu pada diri sendiri. Ia telah menapak lebih jauh dari jejak yang dulu pernah saya buat.

Saya sadar bahwa mungkin bukan kita yang akan memperbaiki kondisi bangsa, menyembuhkan luka umat, atau mengembalikan kejayaan peradaban. Mungkin bukan kita. Tapi bisa jadi, merekalah, anak-anak kita, cucu-cucu kita, para junior kita dan para santri kecil yang hari ini belajar mengeja huruf dan menghafal ayat demi ayat yang akan menjadi jawabannya.

Saya hanyalah disket tua dalam gambar itu: besar, lambat, terbatas kapasitasnya. Tapi saya menggandeng erat Sa’id, sang memori card kecil yang lincah itu. Yang kapasitasnya jauh lebih besar, kecepatannya jauh melampaui saya, dan potensinya menembus batas zaman. Itulah makna warisan sejati: bukan harta, bukan jabatan, tapi visi dan nilai yang melampaui usia.

Kepada anakku, Muhammad Sa’id As-Tsaqif: My dearest son, you are my joy, and in you, I find my endless pride. Dan jika suatu hari nanti engkau menjadi lebih besar, lebih kuat, lebih saleh, dan lebih cerdas dari Abi, maka itulah kemenangan yang paling hakiki dalam hidup Abi.

Mari kita semua membangun dunia di mana anak-anak kita bisa tumbuh lebih kuat dari diri kita sendiri. Di mana kita menjadi tanah yang subur, agar mereka bisa menjadi pohon yang rindang. Di mana kita menjadi disket tua yang mampu menggandeng memori card kecil untuk masa depan.
Artikel Selengkapnya...

Innocence dan Kebaikan Hati Seorang Anak Adam

"Innocent People Are Not Stupid, They Just Think Everyone Has A Good Heart." 

Perkataan ini memuat makna yang mendalam tentang kepolosan dan cara kita memandang keluguan orang lain. Dalam realitas sosial, sering kali kepolosan disalahartikan sebagai kelemahan atau bahkan kebodohan. Padahal, kepolosan bukan berarti seseorang tidak cerdas atau tidak mampu membaca situasi. Kepolosan adalah sebuah pilihan sikap, pilihan untuk tetap memandang dunia dengan harapan dan keyakinan bahwa setiap orang pada dasarnya menyimpan kebaikan dalam dirinya.

Di zaman ini, di mana dunia digital mendominasi ruang interaksi kita, pesan ini menjadi sangat relevan. Tren media sosial akhir-akhir ini diwarnai maraknya kasus penipuan online, mulai dari investasi bodong, pinjaman online ilegal, hingga donasi palsu yang mengatasnamakan kemanusiaan. Ironisnya, korban dari praktik-praktik ini sering kali adalah orang-orang berhati baik yang ingin membantu atau berbagi. Mereka bukan tidak cerdas, mereka hanyalah percaya bahwa yang menghubungi mereka benar-benar tulus dan jujur.

Fenomena ini menguji nilai ketulusan hidup kita di dunia. Di satu sisi, Islam memerintahkan kita untuk selalu berprasangka baik. Dalam Al-Qur’an, Allah -Subhanahu wa ta'ala- berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain..." (QS. Al-Hujurat: 12)
Ayat ini menegaskan bahwa Islam mengajarkan kita agar tetap menjaga prasangka baik terhadap sesama. Kepolosan yang berangkat dari husnuzan adalah bentuk kebaikan hati dan kesucian jiwa. Selain itu, Rasulullah -Shallallahu ’alaihi wasallam- bersabda:
"Barangsiapa tidak menyayangi manusia, maka Allah tidak akan menyayanginya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini mengingatkan bahwa kasih sayang dan kepolosan dalam memandang sesama manusia adalah jalan meraih kasih sayang Allah -Subhanahu wa ta'ala- . Namun, di sisi lain, Islam juga mengajarkan agar kita berhati-hati dan tidak mudah tertipu. Dalam sebuah hadits, Rasulullah -Shallallahu ’alaihi wasallam- bersabda:
"Seorang mukmin tidak akan disengat dari lubang yang sama dua kali." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menegaskan pentingnya kewaspadaan, agar kepolosan tidak menjadi celah bagi orang lain untuk berbuat zalim kepada kita.

Ilustrasi ini menunjukkan betapa kepolosan dan kebaikan hati kini diuji di era yang serba terkoneksi namun penuh dengan “Jebakan”. Kepolosan hari ini tidak berarti seseorang tidak paham teknologi atau mudah diperdaya, tetapi justru mencerminkan keberanian moral untuk tetap berharap dan berbuat baik di tengah risiko ditipu atau dimanfaatkan.

Dalam masyarakat yang penuh kecurigaan, orang-orang polos adalah pengingat bahwa dunia ini tetap membutuhkan optimisme dan kasih sayang. Sayangnya, tren-tren negatif di ruang digital justru menantang nilai-nilai ini. Kita dihadapkan pada dilema: bagaimana tetap menjadi pribadi yang percaya akan kebaikan tanpa menjadi korban dari mereka yang beritikad buruk?

Di sinilah pentingnya menyeimbangkan kepolosan dengan kewaspadaan. Kepolosan bukan berarti menutup mata terhadap realita, tetapi mengajarkan kita untuk tetap melihat potensi baik orang lain, sambil melindungi diri dengan pengetahuan dan sikap kritis. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak orang yang sinis, tetapi orang-orang yang bijak dalam berprasangka baik.

Kepolosan adalah kekuatan, bukan kelemahan. Di tengah maraknya tren penipuan, hoaks, dan manipulasi di media sosial, biarlah kepolosan tetap menjadi cahaya kecil yang menuntun kita untuk saling percaya, saling menguatkan, tanpa harus menutup mata dari kenyataan bahwa tidak semua orang memiliki hati yang baik.
Artikel Selengkapnya...

Kegagalan Yang Membuatmu Rendah Hati Lebih Baik daripada Kesuksesan yang Menumbuhkan Arogansi

Dalam perjalanan kehidupan, kita dihadapkan pada dua realitas yang tidak terelakkan: kegagalan dan keberhasilan di dalam hidup. Ada sebuah kutipan dari seorang bijak"A mistake that makes you humble is better than an achievement that makes you arrogant", kutipan ini mencerminkan nilai yang mendalam tentang pendidikan moral dari sebuah pengalaman hidup. Tulisan ini akan mengulas bagaimana sebuah kegagalan membentuk karakter humble atau rendah hati, dan mengapa keberhasilan yang instan dapat memicu munculnya arogansi, serta pentingnya membangun sikap rendah hati sebagai fondasi kepribadian.

Kegagalan sebagai Guru Kehidupan

Kegagalan dalam perkembangan psikologi seseorang sering dipandang sebagai tahap yang sangat penting untuk sebuah proses pembelajaran. Jean Piaget, seorang psikolog terkemuka, menyatakan bahwa proses belajar anak — dan juga orang dewasa — lahir dari proses asimilasi dan akumulasi terhadap pengalaman hidup, termasuk juga kegagalan yang dialaminya (Piaget, 1972). Kegagalan akan memaksa individu untuk meninjau ulang pemahaman, mengoreksi diri, dan dapat beradaptasi dengan realitas kehidupan yang ada.

Dalam konteks ini, kegagalan yang membawa kesadaran diri yang mendalam justru membuka jalan bagi kerendahan hati. Seorang ilmuwan besar, Sir Isaac Newton, pernah menyatakan: “If I have seen further, it is by standing on the shoulders of giants”. Meski pencapaiannya karyanya monumental, ia menyadari bahwa setiap keberhasilan yang ia capai lahir dari kerja kolaboratif dan upaya yang kolektif, bukan semata kekuatan dirinya pribadi. Kesadaran ini sering tumbuh dari pengalaman jatuh-bangun, bukan dari kemenangan yang ia raih.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fisher dan Frey (2015) menyebutkan bahwa kesalahan dalam proses pembelajaran akan mendorong perkembangan “growth mindset” yakni pola pikir yang melihat kegagalan sebagai sebuah peluang perbaikan, dan bukan akhir dari segalanya. Orang dengan growth mindset cenderung lebih rendah hati, karena memahami betapa rentannya diri terhadap kesalahan yang akan terjadi di kelak kemudian hari. Allah-Subhanahu wa ta'ala- berfirman di dalam Al-Qur’an:
"Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong. Sungguh, engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan dapat menyamai tingginya gunung." (QS. Al-Isra: 37)
"Dan apa saja musibah yang menimpamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. Asy-Syura: 30)
Keberhasilan dan Arogansi: Bahaya yang Mengintai

Berbeda dengan kegagalan yang mendewasakan, keberhasilan instan dapat menimbulkan efek sebaliknya jika tidak disertai kesadaran diri. Dalam psikologi sosial, terdapat istilah hubris syndrome, yaitu kondisi di mana seseorang yang terus-menerus mengalami keberhasilan mulai menunjukkan sikap arogansi, merasa superior, dan enggan mendengarkan masukan orang lain (Owen & Davidson, 2009). Arogansi ini dapat merusak hubungan interpersonal, menghambat kolaborasi, bahkan menjerumuskan individu pada keputusan buruk karena sifat yang terlalu percaya diri.

Studi lain dari Anderson et al. (2012) menemukan bahwa orang yang memperoleh status atau keberhasilan sering kali menilai diri lebih kompeten daripada kenyataannya (overconfidence bias). Efek ini menjadi lebih parah ketika keberhasilan diterima tanpa tantangan berarti atau tidak dikaitkan dengan sebuah refleksi diri. Rasulullah bersabda dalam sebuah haditsnya:
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat biji sawi dari kesombongan." (HR. Muslim no. 91)
"Barangsiapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya. Dan barangsiapa sombong, maka Allah akan menghinakannya."(HR. Muslim no. 2588)
Kerendahan Hati: Pilar Kepemimpinan dan Kebijaksanaan

Kerendahan hati yang lahir dari kegagalan tidak hanya membangun karakter pribadi tetapi juga menjadi kualitas utama dalam kepemimpinan yang efektif. Jim Collins dalam bukunya Good to Great (2001) menguraikan bahwa pemimpin-pemimpin hebat adalah mereka yang memiliki kombinasi antara tekad kuat dan kerendahan hati. Mereka cenderung mengakui kesalahan, belajar dari bawahannya, dan tidak mendewakan pencapaian pribadi.

Kerendahan hati membuat seseorang terus membuka diri terhadap kritik, masukan, dan pembelajaran sepanjang hayat. Ini penting bukan hanya dalam kehidupan pribadi seseorang akan tetapi juga dalam hidup bermasyarakat. Individu yang rendah hati cenderung memperkuat kohesi sosial, sedangkan arogansi justru akan memecah belah. Adapun keutamaan sifat rendah hati ini, Allah-Subhanahu wa ta'ala-sebut di dalam Al-Qur’an:
"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan 'salam'." (QS. Al-Furqan: 63)
Memaknai Proses Bukan dari Sekadar Capaian Semata

Pada akhirnya, hal ini mengajarkan kita bahwa nilai sejati sebuah proses pengalaman tidak terletak pada sukses atau gagal secara lahiriah, melainkan pada bagaimana pengalaman itu membentuk sifat hati dan akhlak kita. Kegagalan yang mengajarkan kerendahan hati adalah anugerah tersembunyi yang menuntun kita pada kebijaksanaan. Sebaliknya, keberhasilan instan yang mengaburkan pandangan kita hingga menumbuhkan arogansi adalah godaan yang sering menjatuhkan.

Sebagai refleksi, setiap individu dihadapkan pada pilihan: Apakah akan menjadikan kegagalanya sebagai guru atau cukup dengan mengagungkan prestasinya hingga ia sendiri kehilangan arah? Dunia yang penuh tantangan hari ini menuntut kita untuk lebih mengedepankan karakter, di mana kerendahan hati adalah salah satu sifat yang sangat berharga.

Referensi:
  • Anderson, C., Brion, S., Moore, D. A., & Kennedy, J. A. (2012). A status-enhancement account of overconfidence. Journal of Personality and Social Psychology, 103(4), 718-735.
  • Collins, J. (2001). Good to Great: Why Some Companies Make the Leap... and Others Don't. Harper Business.
  • Fisher, D., & Frey, N. (2015). Better learning through structured teaching: A framework for the gradual release of responsibility. ASCD.
  • Owen, D., & Davidson, J. (2009). Hubris syndrome: An acquired personality disorder? A study of US Presidents and UK Prime Ministers over the last 100 years. Brain, 132(5), 1396-1406.
  • Piaget, J. (1972). The psychology of the child. Basic Books.
Artikel Selengkapnya...

Indonesia Negeri Paling Dermawan, Perlukah Tata Kelola Pengumpulan Donasi?

Baru-baru ini, Charities Aid Foundation (CAF) kembali menempatkan Indonesia di peringkat nomor satu dalam World Giving Index (WGI) 2024. Prestasi ini tentu membanggakan. Indonesia tercatat sebagai “negara paling dermawan di dunia”, mengungguli negara-negara maju dan kaya seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Emirat Arab, hingga Arab Saudi.

Namun, ketika euforia ini menyeruak, muncul juga pertanyaan kritis: kok bisa? Bukankah ekonomi Indonesia belum sekuat negara-negara Barat atau Timur Tengah? Apakah dermawan kita benar-benar setulus itu, atau ada sisi lain yang perlu dicermati?

Dermawan karena Partisipasi, Bukan Jumlah

Perlu diketahui, bahwa variable WGI tak mengukur seberapa besar total donasi yang terkumpul di sebuah negara. Indeks ini menilai dari tingkat partisipasi masyarakat dalam aksi memberi: membantu orang asing, berdonasi uang, dan menjadi relawan.

Di Indonesia, partisipasi itu sangat tinggi:
·         9 dari 10 orang dewasa pernah berdonasi.
·         Hampir 7 dari 10 orang membantu orang asing.
·         Sekitar 6 dari 10 orang terlibat dalam kegiatan sukarela.

Inilah wajah Indonesia yang penuh empati. Budaya gotong royong dan solidaritas memang telah mendarah daging dalam kehidupan kita.

Sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya berbagi, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 261)
Dan sabda Rasulullah -Shallallahu ’alaihi wasallam-:
"Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah yang memberi, dan tangan di bawah adalah yang meminta." (HR. Bukhari dan Muslim)
Celah Penyelewengan di Era Sosial Media

Namun, fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa kedermawanan tanpa sistem pengawasan yang kuat bisa menjadi ladang subur bagi penipuan berkedok donasi. Di banyak negara maju, setiap lembaga penggalang dana wajib terdaftar resmi, laporan keuangannya diaudit, dan diawasi ketat untuk mencegah penyalahgunaan. Di Indonesia, pengawasan semacam ini masih lemah. Siapa saja bisa dengan mudah menggalang dana, bahkan hanya bermodal media sosial.

Kasus pasangan selebgram muslim mualaf di Inggris beberapa tahun silam menjadi contoh nyata, bagaimana kedermawanan publik bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Pasangan ini tampil seolah pasangan muslim yang taat: sang wanita berhijab, sang pria bersorban dan berjenggot, dan keduanya rajin mempublikasikan aktivitas keagamaan mereka, mulai dari sholat jamaah bersama keluarga hingga kegiatan pengajian bersama. Dengan citra islami yang mereka publikasikan, mereka berhasil menggaet banyak pengikut dari kalangan muslim semi-liberal di Inggris.

Dari ketenaran itu, mereka menggalang donasi hingga ratusan ribu poundsterling, yang konon diperuntukkan untuk muslim Rohingya, korban banjir di India, dan lainnya. Namun, dugaan kehidupan ganda mereka terbongkar saat netizen menemukan foto-foto yang menunjukkan gaya hidup mewah mereka di “second account” Instagram mereka. Tak hanya itu, muncul pula dugaan penyalahgunaan dana donasi yang berbuntut pembekuan dana tersebut oleh pihak berwenang.

Pelajaran penting dari kasus ini: bukan atribut agamanya yang salah, bukan hijabnya, bukan sorban atau jenggotnya. Yang keliru adalah orang-orang yang menjadikan agama sebagai komoditas dagangan untuk meraih keuntungan pribadi. Sosial media menjadi wahana subur untuk itu. Karena itulah kita, sebagai masyarakat, perlu lebih waspada dan menggunakan akal sehat dalam setiap interaksi digital kita.

Di sinilah pentingnya kita mengingat peringatan Nabi -Shallallahu ’alaihi wasallam-:
"Barang siapa menipu, maka ia bukan termasuk golonganku." (HR. Muslim)
Sungguh celaka orang yang menjadikan agama sebagai komoditas untuk meraih keuntungan pribadi.

Saatnya Tata Kelola Donasi Lebih Baik

Prestasi Indonesia di WGI 2024 sepatutnya menjadi momen refleksi: budaya berbagi harus diimbangi dengan budaya akuntabilitas. Pemerintah bersama lembaga-lembaga seperti BAZNAS, Kemenag, OJK, dan aparat penegak hukum harus memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap aktivitas penggalangan dana. Laporan keuangan harus transparan, audit wajib dilakukan, dan masyarakat harus lebih kritis sebelum menyalurkan donasi.

Sesuai dengan perintah Allah -Subhanahu wa ta'ala-agar amanah dijaga dengan baik:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil..." (QS. An-Nisa: 58)
Jangan sampai, karena ulah segelintir oknum, kepercayaan masyarakat pada aksi sosial justru runtuh. Jangan pula semangat berbagi kita tercoreng hanya karena kita lengah membedakan mana derma sejati dan mana tipu daya berkedok amal.

Kedermawanan adalah aset moral bangsa. Agar tetap mulia, ia harus dilandasi kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab. Di era digital, di mana penggalangan dana begitu mudah dilakukan, mari kita saling mengingatkan untuk berbagi dengan hati bersih dan akal yang sehat.
Artikel Selengkapnya...

Halal Haram Investasi Saham: Menakar Etika dan Hukum dalam Perspektif Syariah

Investasi saham merupakan salah satu bentuk pengembangan harta yang semakin populer saat ini. Namun bagi seorang Muslim, pertanyaan besar yang sering mengemuka adalah: Apakah investasi saham itu halal? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara sederhana karena investasi saham melibatkan banyak aspek yang harus ditinjau dari perspektif syariah. Dalam pandangan Islam, kehalalan suatu bentuk muamalah -termasuk di dalamnya investasi-sangat ditentukan oleh objek, sumber, dan cara transaksi yang digunakan.

Dalam konteks ini, para ulama kontemporer telah menetapkan sejumlah syarat agar suatu investasi saham dapat dinyatakan halal, yang secara garis besar dapat dikategorikan dalam empat poin utama:

1. Emiten Bergerak di Sektor yang Halal dan Memproduksi Barang atau Jasa yang Halal

Hal pertama yang menjadi dasar kehalalan investasi saham adalah sektor usaha dari emiten tersebut. Investasi saham dianggap halal jika perusahaan tersebut bergerak di bidang usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, seperti: Tidak memproduksi atau menjual minuman keras. Tidak bergerak di bidang perjudian, pornografi, riba, atau produk haram lainnya

Allah Ø³ُبْØ­َانَ ٱللَّٰÙ‡ِ Ù‡ُÙˆَ تَعَالَÙ‰ berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu..." (QS. Al-Baqarah: 172)

Kata "thayyib" menunjukkan bahwa harta atau sumber pendapatan harus bersih dan halal.

2. Modal Perusahaan Bersumber dari Dana yang Halal

Sumber pendanaan perusahaan juga menjadi pertimbangan penting dalam hukum investasi saham. Perusahaan tidak boleh menjadikan utang berbasis riba sebagai sumber utama pendanaannya. Dalam hal ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama:

Syaikh Shaleh Al-Fauzan (anggota Haiah Kibaril Ulama Saudi Arabia) berpendapat bahwa perusahaan tidak boleh memiliki utang riba sama sekali, karena riba termasuk dosa besar yang secara tegas diharamkan dalam Islam. à Cari emiten syariah dengan debt to equity rationya (D/E) 0%

Sebagian ulama kontemporer lain (seperti anggota AAOIFI dan DSN-MUI) menggunakan analogi fiqih (qiyas) dengan hukum air:
"Jika air sebanyak dua qullah tidak berubah warna, rasa, atau baunya meskipun terkena najis, maka ia tetap suci."
Maka, jika porsi hutang ribawi dalam modal perusahaan sangat kecil dan tidak dominan (misalnya <5%), maka sahamnya masih boleh dimiliki.

Standar Syariah:
  • Arab Saudi (Tadawul Shariah Index): Debt-to-Equity Ratio maksimal 5%
  • Indonesia (Indeks Saham Syariah Indonesia / ISSI): Toleransi hutang berbasis bunga maksimal 45% dari total ekuitas
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah: 275)
3. Emiten Tidak Melakukan Corporate Action yang Mengandung Unsur Riba

Corporate action adalah kebijakan strategis perusahaan yang berdampak langsung pada nilai saham. Dalam Islam, corporate action yang mengandung unsur riba atau spekulasi haram tidak diperbolehkan, seperti:
  • Repo (Repurchase Agreement): Kontrak jual beli dengan janji membeli kembali di kemudian hari dengan harga lebih tinggi, mengandung unsur riba.
  • Margin trading: Membeli saham dengan dana pinjaman berbunga dari broker juga tergolong riba.
Namun, tidak semua corporate action haram. Stock split dan reverse stock split yang hanya memecah atau menggabungkan nilai nominal saham, selama tidak ada unsur riba atau manipulasi pasar, masih diperbolehkan, asalkan transparan dan tidak disertai praktik haram.
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah: 2)
4. Tidak Menggunakan Margin Sekuritas dalam Transaksi Saham

Penggunaan margin atau pinjaman dalam jual beli saham -di mana investor membeli saham menggunakan dana pinjaman dari sekuritas dengan bunga tertentu jelas mengandung unsur riba dan dilarang dalam Islam.

Hal ini berbeda dengan akad musyarakah atau mudharabah, di mana ada kerja sama bagi hasil yang sesuai prinsip syariah.
Rasulullah -Shallallahu ’alaihi wasallam-bersabda:
"Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberi riba, pencatatnya, dan dua saksinya." (HR. Muslim)
Investasi saham dalam Islam pada dasarnya mubah (boleh), namun menjadi haram bila melanggar prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, seorang Muslim yang ingin berinvestasi wajib memperhatikan aspek-aspek berikut:

Pastikan perusahaan bergerak di sektor yang halal. Tinjau struktur keuangan perusahaan, khususnya keberadaan utang berbasis bunga. Hindari perusahaan yang melakukan kebijakan yang mengandung riba. Gunakan mekanisme transaksi yang bebas dari riba, termasuk tidak menggunakan margin trading.

Investasi bukan sekadar mengincar keuntungan duniawi, tetapi juga harus membawa keberkahan dan keridhaan Allah. Dengan memahami kaidah syariah dalam berinvestasi, kita dapat menjadi investor yang tidak hanya cerdas secara finansial, tetapi juga saleh secara spiritual.

Referensi:
  • Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah: 172, 275
  • Surah Al-Maidah: 2
  • HR. Muslim, Hadis tentang riba
  • Fatwa DSN-MUI No. 135/DSN-MUI/VIII/2020 tentang Saham Syariah
  • Syaikh Shaleh Al-Fauzan, Syarh al-Mulakhkhas al-Fiqhi, dan ceramah-ceramahnya di laman resmi Haiah Kibaril Ulama
  • AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) Standards
Artikel Selengkapnya...

Ketidakarifan Lokal: Menyikapi Budaya Jahiliyah dengan Kaidah Ushul Fiqh

 

Dalam lintasan sejarah Arab pra-Islam, khususnya bangsa Quraisy, tercatat sejumlah praktik budaya yang bertentangan secara fundamental dengan nilai-nilai moral, akal sehat, dan ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ï·º. 

Penyembahan terhadap berhala seperti Latta, Uzza, dan Manat, praktik meminum khamr secara masif, penguburan bayi perempuan hidup-hidup, pengundian nasib dengan anak panah, serta fanatisme suku yang membabi buta adalah potret kelam dari peradaban yang disebut sebagai budaya jahiliyah. Budaya-budaya tersebut bukan hanya tidak mencerminkan kearifan, tetapi sejatinya merupakan bentuk ketidakarifan lokal, yakni praktik budaya yang membawa kerusakan, kebodohan, dan ketertinggalan baik secara spiritual maupun sosial.

Dalam konteks kekinian, penting untuk membedakan secara tegas antara budaya lokal yang membawa kemaslahatan dengan budaya lokal yang justru menjerumuskan pada peyimpangan norma atau pelanggaran nilai-nilai agama. Gotong royong, musyawarah mufakat, serta pemakaian pakaian adat yang menutup aurat seperti sarung adalah contoh budaya lokal yang layak dihormati dan dilestarikan karena sejalan dengan prinsip-prinsip ma’ruf dalam Islam yakni segala sesuatu yang dikenal baik secara syariat maupun akal sehat.

Dalam Ushul Fiqh, terdapat kaidah penting yang menjadi pijakan dalam menyikapi berbagai bentuk ibadah dan muamalah, termasuk budaya lokal:

"Al-Ashlu fil ‘ibadah al-tahrim illa ma dalla dalil ‘ala mashru’iyyatihi, wal-ashlu fil mu’amalat al-ibahah illa ma dalla dalil ‘ala tahrimiha."

Artinya: “Hukum asal dalam ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkannya, dan hukum asal dalam muamalah adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya.”

Kaidah ini menjelaskan bahwa segala bentuk ibadah harus berdasarkan perintah yang jelas dari syariat Agama. Tidak bisa begitu saja dibuat dan diamalkan atas dasar tradisi atau kebiasaan. Sementara dalam urusan sosial dan budaya (muamalah), Islam memberikan keleluasaan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Agama. Oleh karena itu, budaya lokal seperti penyembahan berhala atau perjudian atas nama tradisi, adalah hal yang tidak dibenarkan walaupun mungkin dilabeli sebagai bentuk "kearifan lokal". Label tersebut menimbulkan “missleading” ketika digunakan untuk membenarkan praktik yang telah nyata-nyata bertentangan dengan nilai-nilai ke Islaman, tauhid, keadilan, dan kemanusiaan.

Maka, umat Islam perlu bersikap selektif dalam menyikapi budaya lokal. Tidak semua warisan nenek moyang layak untuk dijaga; yang harus dijaga adalah nilai-nilai yang membawa kemaslahatan, keadilan, dan tidak bertentangan dengan wahyu. Islam tidak memusuhi budaya, tetapi menempatkan budaya dalam kerangka syariat. Yakni budaya yang mendukung nilai-nilai agama adalah ma’ruf, sementara yang bertentangan dengannya adalah sesuatu yang munkar.

Dengan demikian, memahami budaya lokal melalui perspektif ushul fiqh membantu kita memilah mana yang layak dijaga sebagai bagian dari kearifan, dan mana yang harus ditinggalkan sebagai bagian dari ketidakarifan
Artikel Selengkapnya...

Jangan Remehkan Hutang: Amanah Dunia, Beban Akhirat

 
Tahukah Anda bahwa ayat terpanjang dalam Al-Qur'an bukan berbicara tentang shalat, puasa, jihad, atau zakat? Ayat terpanjang itu justru membahas tentang hutang piutang. Ya, benar. Surat Al-Baqarah ayat 282 adalah ayat terpanjang dalam mushaf Al-Quran, dan secara luar biasa ia membahas detil demi detil transaksi hutang: tulislah, saksikanlah, jujurlah, amanahlah.

Ini bukan sekadar pesan ekonomi, ini adalah pesan keadilan sosial dan tanggung jawab moral. Allah yang Maha Mengetahui meletakkan urgensi persoalan hutang pada tempat yang sangat tinggi. Bukan tanpa sebab. Hutang adalah ujian akhlak, dan sering kali menjadi sumber keretakan hubungan persaudaraan, kerusakan masyarakat, bahkan akhirat seseorang.


Lebih mengejutkan lagi, Rasulullah ï·º menyampaikan bahwa orang yang terbunuh di medan jihad—yang darahnya tumpah demi agama—tidak serta-merta mendapatkan status syahid jika ia masih meninggalkan hutang yang belum diselesaikan. “Seluruh dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim)


Maka pertanyaannya: mengapa ada sebagian orang, bahkan tokoh agama yang kita pandang sebagai ustadz dan panutan umat, begitu meremehkan urusan hutang? Bahkan dengan entengnya berkata, "Itu hanya masalah duniawi, masalah hutang,...ngemplang, jadi tidak perlu untuk dibesar-besarkan"


Masalah duniawi? Jika memang demikian, mengapa Allah harus turunkan satu ayat terpanjang hanya untuk perkara duniawi? Mengapa Rasulullah sampai enggan menyolatkan jenazah orang yang masih menanggung hutang, jika tidak ada dimensi akhirat di dalamnya?


Di sinilah letak keprihatinan. Ketika orang awam tidak tahu, mungkin bisa dimaklumi. Tapi ketika seorang ustadz—yang setiap kata dan geraknya menjadi contoh, bahkan rujukan umat—meremehkan hal sebesar ini, maka itu adalah sebuah petaka dan krisis. Krisis keilmuan? Krisis kejujuran? Atau krisis akhlak?


Perkataan seperti itu bukan saja mencederai ajaran Islam, tapi juga bisa menjadi pembenaran bagi orang-orang yang memang punya kecenderungan untuk lari dari tanggung jawab. Orang yang memang berniat ngemplang, bisa dengan mudah berkata: “Ah, itu kan cuma masalah duniawi.”


Padahal dalam Islam, tanggung jawab dunia justru yang akan menentukan nasib akhirat. Apakah tidak takut bahwa ucapan yang menyepelekan bisa membuat umat terbiasa menggampangkan amanah?


Sudah saatnya kita kembali menempatkan nilai-nilai Al-Qur'an pada posisi tertingginya. Bukan hanya dalam ibadah, tapi juga dalam muamalah. Dan sudah seharusnya para tokoh agama berhati-hati dalam berbicara, karena satu kalimat bisa jadi pembenaran bagi ribuan kesalahan.


Islam mengajarkan kita kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan—termasuk dalam hal hutang piutang. Jangan sampai, hanya karena satu komentar tak bertanggung jawab, kita menjadi umat yang membenarkan kelalaian, bahkan pengkhianatan, dengan label "itu cuma masalah duniawi."

 

 

Artikel Selengkapnya...

Karena Menjadi Siapapun Dirimu,...Engkau akan Tetap Dimusuhi

Hidup damai, adem ayem tentrem tanpa musuh tentu menjadi dambaan setiap insan. Namun apa hendak dikata, ternyata Sunatullah berkehendak lain. Bukankah dunia ini, negri cobaan dan negri ujian? Tidak ada padanya kenikmatan hakiki sebagaimana pula tidak akan ada kedamaian abadi.

Maka coba renungkanlah,…


Manakala anda memutuskan untuk menjadi orang yang baik,…tentu anda akan dimusuhi oleh orang jahat


Manakala anda memutuskan bersikap anti terhadap narkoba,….tentu anda akan dimusuhi oleh para pecandu narkoba dan dimusuhi pula oleh para mafia/ organisasi kartel obat terlarang


Manakala anda memutuskan untuk bersikap anti terhadap rokok,…tentu anda akan dibenci dan dimusuhi oleh para pecandu rokok dan produsen rokok


Manakala anda memutuskan untuk menjadi bagian dari penggiat anti rusuah tentu anda akan dibenci dan dimusuhi oleh para koruptor


Dan itu,…adalah Sunatullah


Begitu pula dengan Agama ini,….


Manakala anda memutuskan untuk menjadi seorang ahli Tauhid,…tentu anda akan dibenci dan dimusuhi oleh ahli syirik


Manakala anda memutuskan untuk menjadi pecinta Sunnah,…tentu anda akan dibenci dan dimusuhi oleh Al-Mubtadi’ah


Manakala anda memutuskan untuk menjadi penyeru Al-Haq,…tentu anda akan dimusuhi dan dibenci oleh ahlul bathil.


Dan itu,…adalah Sunatullah yang tidak dapat kita elakkan. Menjadi “abu-abu” pun terkadang tak menyelamatkanmu. Bisa jadi,..anda justru akan dimusuhi oleh kedua belah pihak. Disini anda dibenci,…dan disana keberadaan anda tidak diakui.


Jika anda membaca Sirah perjalanan hidup para Nabi dan Rasul. Apakah anda menemukan kehidupan seorang Nabi dan Rasul yang adem, ayem tentrem tanpa musuh? Lihatlah keberadaan Nabi Nuh –Alaihisallam- dengan kaumnya, lihatlah Nabi Luth –Alaihisallam- dengan umatnya, lihatlah sosok Nabi Ibrahim –Alaihisallam- dimata Raja Namrud, lihatlah keberadaan Nabi Musa –Alaihisallam- dihadapan Fir’aun, Lihatlah Nabi Isa –Alaihisallam- bagaimana beliau disikapi oleh Bani Israel. Lihatlah Rasul kita Muhammad –Shalallahualaihiwassalam- bagaimana beliau diperlakukan oleh kaum kafir Quraisy.


Padahal mereka adalah para Nabi dan Rasul. Yang Akhlak mereka adalah sebaik-baik Akhlak. Meraka adalah orang-orang yang paling penyabar, paling santun dan paling hikmah di dalam dakwah ini. Tapi toh,….meskipun demikian, Meraka tetap saja dimusuhi.


Lantas,…. siapakah diri kita ini ,….?????


“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkan mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS. al-An’aam: 112)


Maka,..tentukanlah menjadi siapa dirimu. Karena menjadi siapapun kamu,…engkau akan tetap dimusuhi.

Artikel Selengkapnya...

Nasehat Tanpa Kata

Masih ada saudara-saudara kita,...yang keadaan mereka tidak lebih baik dari kondisi kita,...tapi entah mengapa,...mereka justru lebih banyak bersyukur kepada Allah Ta'alla dibanding kita


Masih ada saudara-saudara kita,..yang jauh lebih alim dan lebih berilmu dibanding kita,.....tetapi mereka justru lebih banyak diam dan sedikit berkomentar di sosial media


Masih ada saudara-saudara kita,...yang lebih kaya, lebih mapan dan lebih memiliki kedudukan dibanding kita,...tetapi mereka justru lebih tawadhu' dan lebih rendah hati dibanding kita

Tanpa sebuah kata, tiada pula ucapan, hanya dengan melihat mereka saja mereka sudah menasihati kita

Artikel Selengkapnya...

Nasehat Untuk Jomblowan Yang Cintanya Tertolak Oleh Seorang Akhwat

Fulan: Mas,..aku lagi patah hati nih, aku ditolak oleh seorang Akhwat,..apa nasehat mas buat saya?


Me : Ya,….cari Akhwat lain yang kira-kira mau sama antum. Udah,….selesai. Apa masalahnya?


Fulan: Mas gampang saja bilang kayak gitu. Mas ndak tahu perasaan saya sih. Saya cinta loh mas, cinta,…setengah mati. Saya ndak bisa pindah kelain hati mas, saya ndak bisa melupakan si “dia”. “dia” terlalu cantik untuk aku lupakan. Pokoknya aku akan setia menunggu mas sampai “dia” membuka pintu hatinya untukku, aku akan tetap setia menunggu


Me: Hmm,…menunggu seseorang yang tak mencintaimu dan tak mengharapkanmu itu ibarat antum nungguin kapal feri tapi nunggunya di stasiun. Terus kira-kira kapan “dia” mau dateng? Mbok uwis,..dunia ini luas kok. Masih banyak akhwat lain diluar sana, move on lah & jangan lupa berdoa supaya mendapat ganti yang lebih baik. Lebih baik lo yah,..bukan lebih cantik!


Fulan : Tapi,….kalau nanti sama akhwat lain juga ditolak bagaimana?


Me: Ya Ikhtiar lagi. Jangankan antum ya. Abu Bakar Ash-Sidiq, Umar bin Khatab hata Ali bin Abi Thalib –Radhiallahuanhum ajma’in- saja pernah ditolak oleh seorang akhwat. La antum ini siapa? Kita ini siapa? Ditolak ya,…biasa saja lah. Jangan terus minder lalu sakit hati.


Fulan : Kalau ditolak lagi dan lagi?


Me : Ya Ikhtiar lagi dan lagi to. Temenku pernah cerita. Dia punya temen yang pernah sampe 27 kali mengkhitbah akhwat. 26 kali ditolak dan yang ke 27 Alhamdulillah diterima & sekarang sudah jadi istrinya. MasyaAllah,..luar biasa ya Ikhtiarnya. La antum ini,…emang sudah berapa kali ditolak..? 1x, 2x, 3x??? cemen itu mah


Fulan : La mas sendiri emang sudah pernah ditolak berapa kali?


Me: Ada deh mau tau ajah.


Fulan : Tapi mas,…aku masih belum bisa melupakan si “dia” je. Bayang-bayang “dia” selalu saja menggelayut di pikiranku.


Me : Ya sudah,..Ikhlaskan saja. Anggaplah “dia” bukan jodohmu. Orang bilang cinta itu kan tidak harus memiliki.


Fulan : Bila cinta tak harus memiliki, lantas apakah ketika nanti aku memiliki aku tak harus cinta mas?


Me : Hmmm,…opo sih cinta kuwi? Kok kayane angel temen hidup mu gara-gara cinta. Mbok itu lihat fulan & fulanah, artis ibukota itu. Yang dulunya di pelaminan berjanji sehidup semati & sumpah setia sampai mati. Ternyatah,….baru setahun dua tahun terus cerai. Lalu setelah cerai mbaknya malah milih nikah lagi sama duda tua yang kayah rayah. Mbok nggak usah dibikin rumit, make life simple saja……, menikahlah dengan niat untuk Ibadah Lillahita’alla, wis ngono wae.


Fulan : Terus bagaimana cara mencintai yang simple itu mas?


Me : Cintailah dia karenaNya, karena keshalehannya. Jangan kamu cari wanita yang sesuai dengan seleramu tapi carilah yang pantas untuk menjadi Ibu buat anak-anakmu.


Dalam sebuah Hadist disebutkan: “Janganlah engkau mencintai seseorang dengan sangat, karena bisa jadi, orang yang paling engkau cintai itu suatu saat nanti menjadi orang yang paling engkau benci. Dan janganlah engkau membenci seseorang dengan sangat, karena bisa jadi orang yang paling engkau benci itu suatu saat nanti menjadi orang yang paling engkau cintai” (Dinukil secara makna dari HR. Tirmidzi)!


Jadi,..cintailah “dia” dengan sederhana, dan perjuangkanlah “dia” dengan cara yang sederhana pula. Bukankah kesederhanaan itu indah???


Fulan: Oh,..begitu ya mas?
Me    : Ya,..begitulah kira-kira


Fulan: Ok,..Na’am Jazakallahukhair mas atas nasehatnya. Oh ya mas, mau tanya. Btw, nasehat mas itu tadi dari baca-baca buku atau dari pengalaman pribadi mas?

Me    : No comment





Artikel Selengkapnya...

Menghapus Air Mata Cinta

 

Nasehat untuk saudaraku:

Fulan bin fulan di bumi Allah Ta’alla, An Abdillah Fil Ardhillah Al-Majhuli

 

“Aku Memohon Kepada Allah Yang Maha Pemurah, Rabb Pemilik Arsy Yang Agung, Semoga Allah Menjagamu di Dunia dan Di Akherat serta Menjadikanmu Mendapatkan Keberkahan dimanapun Engkau Berada dan Menjadikanmu Sebagai Hamba Yang Bersyukur Ketika Mendapat Nikmat, Bersabar Ketika Mendapat Cobaan serta Beristighfar Ketika Terjerumus Kedalam Dosa, Karena Sesunguhnya,.... Ketiga Hal Itulah Kunci Utama Kebahagiaan” (Al-Qawa’idul Arba’)

 

Sebuah kisah yang mengharu biru,…manakala engkau menceritakan kisah sedih itu kepadaku!…Wahai saudaraku,…seakan-akan di dunia ini tiada lagi seseorang yang lebih menderita selain dirimu!

 

Ya Akhi,.....tidak sepantasnyalah bagiku –sebagai saudara sesama muslim- justru “menari-nari” di atas kedukaan saudaranya! Karena demikianlah sejatinya akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah -Shalallahu Alaihi Wassalam-

 

“Tidaklah Sempurna Iman Seseorang Diantara Kalian Sehingga Ia Mencintai Saudaranya Sebagaimana Ia Mencintai Dirinya Sendiri” (HR. Bukhari Muslim)

 

“Seseorang Mukmin Dengan Mukmin Lainnya Ibarat Satu Tubuh! Jika Salah Satu Bagian Merasakan Sakit Maka Bagian Lainnya Ikut Pula Merasakan Sakit,…(HR. Ahmad)

 

Oleh karenanya,

 Jika sekiranya disana engkau merasakan duka,…disinipun aku merasakan luka

 Jika disana engkau merasakan pedih,…disinipun aku merasakan perih

 Karena sesungguhnya aku merasakan…..apa yang antum rasakan

 

Maka untuk Allah Azzawajalla, kemudian untuk memenuhi kewajibanku –sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, “hak seorang muslim atas muslim yang lainnya ada enam,…,…,…,…,…,jika ia meminta nasehat maka berilah ia nasehat- maka aku tulis risalah ini. Dan aku sengaja memposting artikel ini disini dan tidak mengirimkannya lewat email pribadimu agar maslahatnya dapat diambil oleh Ikhwah yang lainnya. Mudah-mudahan engkau tetap berkenan atasnya, dan semoga kehadirannya bisa menjadi pembalut luka dihatimu.

 

Maka bersabarlah ya…..ikhwah

Serta ambilah hikmah

dan berhati-hatilah

Karena sesungguhnya “mawar” itu berduri!

 

“Katakanlah : Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, serta sanak keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah tinggalmu yang kamu sukai, adalah lebih engkau cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (At-Taubah 24).

 

Virus hati yang bernama al-isyq (cinta), ternyata telah memakan banyak korban. Mungkin anda pernah mendengar seorang pemuda nekad bunuh diri disebabkan karena putus cinta, atau tertolak cintanya. Atau mungkin anda pernah mendengar kisah Qeis yang tergila-gila kepada Laila. Kisah cinta yang bermula ketika mereka menggembala domba sewaktu kecil hingga dewasa. Akhirnya sungguh tragis, Qeis benar-benar menjadi gila ketika Laila dipersunting oleh pria lain. Apakah anda pernah mengalami problema seperti ini? Atau malah justru sedang mengalaminya saat ini? Marilah kita simak nasehat yang Insya Allah bermanfaat, yang disampaikan oleh Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam dua karya besar beliau yakni kitab Zadul Ma’ad & Ighatsatul lahfan fi mashayidisy syaithan

 

Beliau berkata, “Gejolak cinta merupakan jenis penyakit hati yang memerlukan penanganan khusus disebabkan karena berbeda dengan jenis penyakit lain, baik dari segi bentuk, penyebabnya maupun terapinya. Jika telah menggerogoti kesucian hati manusia dan mengakar di dalam hati, maka sulit bagi para dokter mencarikan obat penawarnya dan penderitanya sangat sulit untuk disembuhkan.”

 

Kepedihan Para Pencinta Yang Mencintai Kekasih Karena Dunia

 

Jika engkau ingin tahu tentang siksaan pemburu dunia, maka renungkanlah keberadaan seseorang yang sedang didera rasa cinta; ia binasa karena orang yang dicintainya. Dan setiap kali ia mendekat dengan kekasihnya, sang kekasih menjauh daripadanya, tidak menanggapinya dan meninggalkannya. Maka dengan kekasihnya ia hidup tambah lebih merana, hampir saja ia memilih untuk mati. Kekasihnya jarang menepati janji, selalu tampil dingin, cepat berubah, mudah berkhianat, banyak bersikap mendua,…..ia tidak merasa aman dengan kekasihnya, baik atas diri dan jiwanya, padahal ia tidak memiliki kesabaran terhadapnya, tidak pula menemukan jalan buat kesenangan yang menghiburnya, dan tidak pula hubungan yang langgeng.

 

Ia adalah seorang pencinta yang belum mendapatkan apa yang dicarinya, sehingga ia hidup dengan penuh rasa sesak, iapun pergi dengan kedukaannya, dan belum mendapat apa yang ia cari, jiwanya belum beristirahat dari kelelahannya, lalu iapun keluar dengan tanpa bekal, menghadap dengan tanpa landasan.

 

Maksudnya, ini adalah penjelasan bahwa siapa yang mencintai selain Allah, sedang cintanya itu tidak karena Allah, dan tidak pula bisa membantu bagi ketaatan kepada Allah, maka ia akan diadzab di dunia dan di akhirat nanti. Sebagaimana dikatakan oleh penyair : 

“Engkau adalah korban pembunuhan oleh setiap orang yang engkau cintai, karena itu bercintalah semaumu, terserah siapa yang engkau pilih ?”

 Jadi, siapa yang mencintai sesuatu selain Allah Azza Wa Jalla, maka ia akan mendapat bahaya disebabkan oleh yang dicintainya itu, entah ia mendapatkan cintanya atau tidak.

 

Jika ia tidak mendapatkan cintanya itu, maka ia disiksa karena kehilangan apa yang dicintainya itu, sedang sakit yang ia derita sesuai dengan tingkat ketergantungan hatinya pada yang dicintainya itu.

 

Jika ia mendapatkan cintanya itu, maka ia sudah menderita sakit sebelum mendapatkannya, dan juga kesusahan saat mendapatkannya serta penyesalan saat kehilangan darinya. Sakit dan penderitaannya justru berkali lipat dari kenikmatan yang dirasakannya.

 

Sungguh, tak ada yang paling menderita di muka bumi ini, kecuali para pencinta

 meski ia mendapatkan cinta itu manis rasanya.

 Engkau lihat, ia selalu menangis dalam setiap keadaan, karena takut perpisahan atau karena rindu dendam.

 

Jika kekasihnya dekat,.....ia menangis karena takut perpisahan.

Jika kekasihnya jauh,......ia pun menangis karena didera kerinduan.

Air matanya mengalir saat bertemu.

Air matanya mengalir saat berpisah.

 

Ini adalah sesuatu yang diketahui umum, berdasarkan hikmah, penelitian, dan pengambilan pelajaran. Karena itu Nabi –Shalallahu Alaihi Wassalam- pernah bersabda : 

“Dunia ini terlaknat, semua yang ada di dalamnya terlaknat kecuali dzikrullah dan apa yang wala’ pada-Nya ( H.R. Tirmidzi dengan sanad hasan).

 

Al- Hasan juga pernah berkata: Pernah suatu kaum memuliakan dunia, lalu dunia menyalib mereka di pohon. Karena itu rendahkanlah dunia ini, karena ketenangan yang sesungguhnya diperoleh jika engkau menghinakan dunia.

 

Bagaimana virus ini bisa berjangkit ?

 

Penyakit al-isyq terjadi karena dua sebab:.

Pertama, karena menganggap indah apa-apa yang dicintainya itu.

Kedua, perasaan ingin memiliki apa yang dicintainya itu.

Jika salah satu dari dua faktor ini tidak ada, niscaya virus ini tidak akan berjangkit.

 

Penyakit al-isyq akan menimpa orang-orang yang hatinya kosong dari rasa mahabbah (cinta) kepada Allah, selalu berpaling dariNya dan dipenuhi kecintaan kepada selainNya. Hati yang penuh cinta kepada Allah dan rindu bertemu denganNya pasti akan kebal terhadap serangan virus ini.

  

Cinta dan Jenis – Jenis Nya

 

Cinta memiliki berbagai macam jenis dan tingkatan. Yang tertinggi dan paling mulia ialah mahabbatu fillah wa lillah (cinta karena Allah dan di dalam agama Allah). Yaitu cinta yang mengharuskan mencintai apa-apa yang dicintai Allah, dilakukan berlandaskan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

 

Cinta berikutnya adalah cinta yang terjalin karena adanya kesamaan dalam cara hidup, agama, madzab, ideologi, hubungan kekeluargaan, profesi, dan kesamaan dalam hal-hal lainnya.

 

Diantara jenis cinta lainnya, yakni cinta yang didasari karena motif ingin mendapatkan sesuatu dari yang dicintainya, baik karena kedudukan, harta, pengajaran, dan bimbingan atau karena kecantikan. Cinta yang didasari hal-hal seperti ini (al mahabbah al ‘ardiyah) akan hilang bersama hilangnya apa yang ingin didapatkan dari yang dicintainya itu. 

Yakinlah, bahwa setiap orang yang mencintaimu karena sesuatu, ia akan meninggalkanmu ketika ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan dari dirimu.”


 Terapi Penyakit Al Isyq

 

  Jika terdapat peluang bagi orang yang sedang kasmaran tersebut untuk meraih cinta orang yang dikasihinya dengan ketentuan syariat dan suratan takdirnya, maka terapi yang paling utama adalah menikah. Rasulullah bersabda :

 

“Aku tidak pernah melihat ada dua orang saling mengasihi selain melalui jalur pernikahan” ( H.R. Ibnu Majah )

 

(Karena percintaan yang jauh dari nur Islam: maka awal dari cinta itu adalah kebahagiaan, pertengahannya adalah derita dan akhir dari semua itu adalah kebinasaan.)

 

   Jika  terapi pertama tidak dapat dilakukan akibat tertutupnya peluang menuju orang yang dikasihinya itu karena ketentuan syar’i dan takdir, maka hendaknya ia berusaha untuk melupakannya karena apa-apa yang diimpikannya mustahil terjadi, sebab menggantungkan kepada sesuatu yang mustahil dijangkaunya ibarat pungguk merindukan bulan dan merupakan tindakan orang-orang yang tidak berakal.

 

   Apabila kemungkinan untuk mendapatkan apa yang dicintainya terhalang karena larangan syari’at, maka terapinya yaitu dengan menganggap bahwa yang dicintainya itu bukan ditakdirkan untuk menjadi miliknya.

 

  Jika ternyata jiwanya selalu menyuruh kepada kemungkaran masih tetap menuntut, hendaklah ia mau meninggalkannya karena dua hal,

 

Pertama, karena takut kepada Allah yaitu dengan menumbuhkan perasaan bahwa ada hal yang lebih layak dicintai, lebih bermanfaat, lebih baik dan lebih kekal.

 

Kedua, keyakinan bahwa berbagai kemungkinan yang menyakitkan akan ditemuinya jika gagal melupakan yang dikasihinya.

 

  Jika hawa nafsunya masih tetap bersikeras, maka hendaknya ia berfikir tentang dampak negatif dan kerusakan yang akan ditimbulkannya dan maslahat yang gagal diraihnya.

 

 Jika terapi ini tidak mempan maka hendaknya ia selalu mengingat sisi-sisi buruk kekasihnya. Jika ia mau mencari kejelekan yang ada pada kekasihnya, niscaya dia akan mendapatkannya lebih dominan daripada keindahannya.

 

   Jika terapi ini masih  saja tidak mempan baginya, maka terapi terakhir yaitu mengadu dan memohon dengan jujur kepada Allah dan berusaha untuk tetap sabar dan tawakal untuk menerima takdir-Nya.

 

Karena jika ia bersabar maka ia akan mendapatkan pahala dari sisi  Allah Ta’alla, tetapi bila ia marah dan hatinya menjadi galau maka ia sudah kehilangan kekasihnya, kehilangan pula pahala dari Allah –Subhanahuwata’alla-.  .

 

 Penutup

 

Demikianlah kiat-kiat untuk menyembuhkan penyakit Al-Ishiq. Namun ibarat pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati. maka bagi Ikhwah yang belum terjangkiti virus ini, maka lebih baik menghindar. Bagaimana cara menghindarinya? Tidak lain yaitu dengan taskiyatun nafs.

 

Semoga pembahasan ini dapat bermanfaat, amin.

 

***

 

Noted, Mutiara Hikmah;

 

“Cinta itu tumbuh, bukan karena kecantikan ataupun karena keelokan rupa, cinta itu tumbuh karena adanya kesesuaian jiwa” (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)

 

Para ulama salaf pernah menyatakan: 

Mencintai karena Allah Ta’alla –yang hakiki- adalah jika kecintaan tersebut tidak bertambah karena sikap baik seseorang kepada kita, sebagaimana kecintaan tersebut tidak berkurang karena sikap buruk seseorang atas kita

 “Janganlah engkau mencintai seseorang dengan sangat, karena bisa jadi, orang yang paling engkau cintai itu suatu saat nanti menjadi orang yang paling engkau benci. Dan janganlah engkau membenci seseorang dengan sangat, karena bisa jadi orang yang paling engkau benci itu suatu saat nanti menjadi orang yang paling engkau cintai” (Dinukil secara makna dari HR. Tirmidzi)

 

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Al-Baqarah 216)

Artikel Selengkapnya...
 
Copyright (c) 2025 |Dr. Rudiyanto, SP., M.Si.|Associate Researcher at Research Center for Applied Botany BRIN, Indonesia